TintaSiyasi.com -- Karena Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas bak bebek lumpuh, Pengamat Politik Ekonomi Salamuddin Daeng minta Menteri Keuangan Sri Mulyani tanggung jawab.
"SKK Migas bak bebek lumpuh, mengapa Sri Mulyani tidak menegurnya? Oleh karenanya, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan mestinya bertanggung jawab terhadap menurunnya penerimaan negara dari migas," tutur Daeng kepada TintaSiyasi.com, Sabtu (21/05/2022).
Ia mengatakan, seharusnya Sri Mulyani mengerti masalah tersebut dan mengerjakan tugasnya untuk menaikkan produksi minyak nasional. "Jangan berpangku tangan menunggu hasil dan hanya mengandalkan penerimaan negara dengan memungut pajak dari rakyat dan mengabaikan urusan strategis, yakni mengurus migas dan sumber daya alam," tegasnya.
Menurut dia, lembaga itu dibentuk oleh presiden, maka presiden bisa membubarkannya dan Sri Mulyani bisa meminta presiden Jokowi untuk membubarkan lembaga ini. "Kalau memang SKK migas sudah lumpuh, mengapa tidak dibubarkan saja?" tanyanya.
Jika tidak membubarkannya, maka Daeng minta Sri Mulyani tegur SKK Migas agar tak makan gaji buta. "Caranya Menteri Keuangan harus menegur SKK Migas agar jangan makan gaji buta dan meminta SKK Migas melakukan langkah yang berarti dalam mengurus hulu migas nasional," pintanya.
Salah satu indikator utama sehat atau tidaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menurut Daeng adalah terpenuhinya target produksi minyak dan gas (migas) nasional. "Jika target produksi migas tidak tercapai maka APBN Indonesia makin terpuruk. Dampaknya stabilitas ekonomi memburuk dan ketahanan nasional terancam," bebernya.
Gigit Jari
Daeng sesalkan mengapa ketika semua negara penghasil migas panen raya, Indonesia justru gigit jari. "Semua negara penghasil migas panen raya, sementara Indonesia gigit jari. Sumbangan sekor migas kepada APBN makin tidak signifikan," imbuhnya.
Sejak kekuasaan regulasi pengawasan hulu migas diserahkan pada Satuan Kerja Khusus Migas (SKK), Daeng menilai, produksi minyak nasional sekarang mencapai titik terendah. "Sekarang keadaan produksi migas tidak menunjukkan akan pulih karena tidak ada strategi untuk memulihkannya. Meskipun SKK membuat target yang bombastis, yakni satu juta barel produksi minyak sehari, namun faktanya dalam beberapa tahun terakhir produksi tak pernah naik hanya sekitar 600-700 ribu barel sehari," sesalnya.
Ada atau tidak ada SKK Migas, Daeng melihat, produksi tetap segitu saja. "Bahkan ada pandangan yang mengatakan bahwa keberadaan SKK migas justru menjadi biang kerok dari terpuruknya lifting migas nasional. Regulasi yang tidak pasti, tumpang tindih peraturan dan kelembagaan migas yang kacau tidak dapat diatasi oleh SKK migas. Investasi sektor migas menghadapi keadaan yang tidak nyaman di Indonesia," bebernya.
Menurut Daeng, sekarang Indonesia memiliki momentum untuk menikmati hasil migas. "Kenaikan harga minyak hingga menembus 115-120 dolar per barel dan gas mencapai 8 dolar per MMBTU (Million British Thermal Unit) merupakan kesempatan Indonesia mendapatkan uang besar satu hasil migas. Namun karena produksi migas yang makin menurun mengakibatkan kesempatan itu hilang begitu saja," paparnya.
Selain itu, Daeng ungkapkan, penerimaan negara dari migas atau bagi hasil migas melalui skema cost recovery dan grossplit merupakan sumber anggaran negara dalam melakukan subsidi BBM. "Lebih jauh subsidi migas adalah alat untuk mengendalikan inflasi agar tidak menimbulkan gejolak ekonomi," tandasnya.[] Ika Mawarningtyas
0 Comments