TintaSiyasi.com -- Jelang 2024 tiga partai, Partai Amanat Nasional (PAN), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berencana berkoalisi, menanggapi hal itu, Analis Politik dan Media Hanif Kristianto mempertanyakan, "Menjadi pertanyaan penting. Apakah koalisi demi kepentingan rakyat? Atau hanya sekadar manuver politik? Atau sekadar untuk panas di awal demi mengusung sosok yang layak jadi presiden?" katanya kepada TintaSiyasi.com, Sabtu, 14 Mei 2022.
Ia melihat, rakyat sekadar jadi stempel untuk meraih kekuasaan kelompok partai. "Sebab esensi demokrasi menjadikan rakyat sekadar legitimasi. Rakyat sendiri bermakna bermacam-macam. Terkadang rakyat dimaknai sekelompok yang bersama partai. Bukan mayoritas rakyat yang seharusnya diurusi," bebernya.
Menurut aktivis yang aktif di Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) ini, semua bisa berubah. Kalaulah demi kepentingan rakyat, tampaknya masih jauh. Selama ini, ia melihat, rakyat sekadar menerima hasil tanpa bisa mewarnai dan keputusan politik tetap pada ketua partai.
Hanif mengatakan, dua tahun menjelang pemilu 2024, pimpinan partai politik mulai melakukan komunikasi. "Salah satunya membangun koalisi. Bukan hal asing dalam politik demokrasi, selain koalisi dikenal juga oposisi. Koalisi merupakan cara untuk mengumpulkan energi dan kekuatan pengaruh di antara partai politik," katanya.
Menurut Hanif, Gagasan yang dibentuk oleh ketiga ketua partai, yakni, tiga partai (PAN, PPP, Golkar) menjadi Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) adalah penjajakan awal ini untuk memanaskan mesin politik menuju 2024. "Seperti diketahui, tri parti juga bagian dari koalisi dalam pemerintahan Jokowi," imbuhnya.
Menggenggam Kekuasaan
Ia menjelaskan, politik demokrasi meniscayakan koalisi demi kepentingan. "Kepentingan utama ialah berada dalam tahta. Menggenggam kekuasaan dan berkuasa mutlak inilah yang menjadi tujuan partai berkoalisi," katanya.
Maka, makna tri partai berkoalisi antara lain ia sampaikan sebagai berikut. Pertama, semenjak Indonesia menganut multi-partai. Tidak ada partai besar yang mendominasi. Jika dahulu dikenal PPP, Golkar, dan PDI. Kini partai berpolar dan banyak. Kebanyakan orang-orangnya pun jebolan dari Golkar. Koalisi menjadi jalan tengah untuk mengemukkan kekuatan.
Kedua, kepentingan koalisi hanya sementara. Perubahan politik itu dinamis. Suatu saat partai politik memerankan koalisi. Suatu saat memerankan oposisi. Penjajakan awal koalisi ini masih belum bisa dinilai sebagai langkah bersama. Masih penjajakan sementara.
Ketiga, koalisi menjadi sinyal bagi partai lain untuk bisa bergabung atau tinggal sendirian. KIB jika dianggap menguntungkan, khusunya bagi partai yang power-nya middle up akan menjadi daya tarik. Sementara bagi partai politik yang memiliki pengaruh grass root tak menarik. Karena dengan kekuataanya sendiri bisa berdikari.
Seiring koalisi, menurut dia, partai politik jangan sampai melupakan tugas utamanya. "Edukasi politik dan pengurusan rakyat tak boleh ditinggalkan. Seringnya partai politik demokrasi dibentuk sekadar kendaraan mencapai tahta kekuasaan. Bukan dalam mendidik rakyat untuk cerdas dan ikut membangun bangsa dan negera menjadi lebih baik," katanya.
Seharusnya, partai politik itu dibentuk untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, katanya. "Adapun ketika duduk di kekuasaan untuk menjalankan perintah dari Allah SWT. Bukan sebaliknya, tatkala duduk di kursi kuasa lupa akan tugas utamanya," jelasnya.
Sadar
Hanif ajak rakyat untuk menyadari, politik demokrasi kerap menyandera pelakunya. Baik individu politisi maupun partai politiknya. Menurut dia, upaya koalisi ataupun oposisi sesungguhnya akan memalingkan tugas utamanya.
"Inilah mengapa, politik demokrasi sangat jauh berbeda dengan politik Islam. Politik Islam yang bermakna mengurusi urusan umat dengan penerapan syariah kaffah. Ini bukan demi kepentingan umat Islam, tapi demi kepentingan seluruh alam. Pelaksanaan politik Islam inilah yang menjadi daya tawar kepada umat saat ini," bebernya.
Menurutnya, rakyat yang terus tersandera dan terinjak tak mampu bergerak. "Demokrasi kian menjadi utopia dan mustahil menjadikan aspirasi rakyat berada di atas segalanya, jelasnya. Apa mau rakyat dikibuli lagi atas nama koalisi dan oposisi? Jika tidak, maka rakyat harus mau merubah mindset dan pilihan politiknya," tandasnya.[] Ika Mawarningtyas
0 Comments