Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Apakah Masjid di Perkantoran Pemerintah Memenuhi Definisi Masjid dalam Fiqih Islam? Begini Penjelasannya


TintaSiyasi.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si. menjabarkan apakah masjid di perkantoran pemerintah memenuhi definisi masjid dalam fiqih Islam di Telegram Ustadz Shiddiq Al Jawi.

“Apakah masjid di perkantoran pemerintah memenuhi definisi masjid dalam fiqih Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, perlu diketahui lebih dulu pengertian masjid menurut fiqih Islam,” tuturnya, Ahad (15/05/2022).

Kiai Shiddiq mengutip kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah tentang definisi masjid. “Masjid adalah tempat yang disiapkan untuk shalat lima waktu (berjamaah) secara permanen dan diwakafkan untuk keperluan itu. Sebuah tempat menjadi masjid, dengan adanya izin umum kepada masyarakat untuk shalat di tempat tersebut, baik dengan pernyataan eksplisit bahwa tempat itu adalah wakaf lillahi taala maupun dengan pernyataan implisit. Demikian menurut jumhur ulama, berbeda dengan ulama mazhab Syafi'i (yang mensyaratkan pernyataan eksplisit),” bebernya.

“Dari penjelasan definisi masjid tersebut, ada tiga kriteria sebuah tempat disebut masjid menurut hukum Islam. Pertama, tempat itu digunakan untuk shalat lima waktu secara permanen. Kedua, masyarakat umum sudah diizinkan untuk menggunakan tempat tersebut untuk shalat lima waktu. Ketiga, tempat tersebut berstatus tanah wakaf, yaitu bukan lagi milik individu atau perorangan, melainkan menjadi milik umum (milkiyyah 'ammah),” urainya.

Ia menegaskan, jika suatu tempat telah memenuhi tiga syarat tersebut, maka tempat itu sudah dapat disebut masjid menurut fiqih Islam, dan konsekuensinya pada tempat itu diberlakukan hukum-hukum syarak yang terkait masjid.

“Di antara hukum-hukum syarak itu, bahwa sah hukumnya tempat itu menjadi tempat iktikaf, sah dilakukan shalat tahiyatul masjid di dalamnya, haram hukumnya berdiam di dalamnya bagi orang junub atau wanita yang haid dan nifas, ada larangan berjual beli dan mengumumkan barang hilang di dalamnya, disyariatkan memakmurkan masjid untuk tempat itu, dan sebagainya,” sebutnya.

Sebaliknya, jika suatu tempat tidak memenuhi satu atau lebih dari tiga kriteria tersebut, maka tempat itu berarti tidak memenuhi masjid dalam fiqih Islam.

Dicontohkan lebih lanjut, misalnya, suatu tempat di sekolah yang digunakan untuk shalat jamaah tetapi tidak shalat lima waktu. Misalnya hanya digunakan untuk shalat jamaah Zuhur dan Asar saja, ketika ada murid-murid yang bersekolah. “Tempat seperti ini bukan masjid menurut fiqih Islam, karena tidak memenuhi kriteria pertama masjid, yaitu digunakan untuk shalat lima waktu secara permanen,” ujarnya.

“Contoh lain, suatu tempat yang khusus digunakan untuk shalat lima waktu berjamaah, tetapi tempat itu merupakan tempat milik pribadi seseorang, yang menjadi bagian dari rumah pribadi dia. Tempat seperti ini juga bukan masjid menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria kedua masjid, yaitu masyarakat umum diizinkan untuk shalat lima waktu di tempat tersebut,” ungkapnya.

Dicontohkannya lagi, suatu tempat di perkantoran, baik kantor pemerintah maupun kantor swasta, atau tempat tertentu di mall atau super market, biasanya di basemen, yang khusus digunakan shalat lima waktu, tetapi tempat ini tidak diwakafkan dan statusnya masih menjadi hak milik kantor atau mall tersebut. “Tempat-tempat seperti ini juga tidak memenuhi kriteria ketiga masjid,” lugasnya.

Lanjut dijelaskannya, menurut fiqih Islam, karena tidak memenuhi kriteria ketiga masjid, yaitu tempat tersebut tidak berstatus tanah wakaf, atau dengan kata lain, tempat itu masih menjadi milik pribadi atau milik negara, belum menjadi milik umum (milkiyah 'aammah) yang dipersyaratkan untuk masjid.

“Contoh-contoh tempat yang kami berikan di atas, tidak memenuhi definisi masjid dalam fiqih Islam. Konsekuensi hukum syaraknya, antara lain, tidak sah iktikaf di tempat-tempat tersebut, karena iktikaf itu disyariatkan di masjid, yang memenuhi kriteria-kriteria syariahnya dalam fiqih Islam,” terangnya. 

Kiai Shiddiq mengutp firman Allah ﷻ  di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 187,

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ

Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kamu), sedangkan kamu tengah beriktikaf dalam masjid. 

“Sebaliknya, bisa jadi suatu tempat tidak disebut masjid oleh masyarakat, dan hanya disebut musala, tetapi jika memenuhi tiga kriteria masjid secara syariah seperti dijelaskan di atas, maka tempat itu dihukumi masjid menurut fiqih Islam,” katanya lebih lanjut.

Kiai Shiddiq menambahkan bahwa tidak disyaratkan shalat Jumat agar suatu tempat menjadi masjid. Yang disyaratkan hanyalah shalat lima waktu secara berjamaah dan permanen. 

“Shalat Jumat itu sendiri, juga tidak disyaratkan wajib dilakukan di masjid, menurut jumhur ulama selain mazhab Maliki, tetapi dapat dilakukan di tempat terbuka atau tanah kosong (al-fadha'), misalnya pelataran kantor atau basemen mal. Boleh juga shalat Jumat dilakukan di tempat-tempat sewaan (berarti bukan tempat yang diwakafkan), misalnya di lapangan futsal dan yang semisalnya,” paparnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan, shalat Jumat di tempat-tempat yang bukan masjid itu, hukumnya sah dan boleh, dikarenakan tidak disyaratkan shalat Jumat harus dilakukan di masjid.

“Penulis kitab Hasyiyah Jamal 'Ala Syarah Al Manhaj, Syekh Jamal Al-Ujaili menjelaskan, ‘Melaksanakan shalat Jumat di masjid bukanlah syarat sah (untuk shalat Jumat).’,” kutipnya memungkasi penjelasan.[] Reni Tri Yuli Setiawati
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments