TintaSiyasi.com -- Ulama Aswaja K.H. Rochmat S. Labib mengatakan, kebaikan atau kebajikan dasarnya bukan adat istiadat (kearifan lokal). “Kebaikan atau kebajikan itu dasarnya bukan adat istiadat,” ungkapnya pada rubrik Kajian Tafsir Al-Wa’i: Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 189 di YouTube Khilafah Channel Reborn, Rabu (30/03/2022).
Kiai Labib, sapaan akrabnya, menerangkan, tafsir surah Al-Baqarah ayat 189 tersebut dalam rangka membedah tema ‘Antara Ketakwaan dan Kearifan Lokal (Adat Istiadat)’.
"Saat ini dipopulerkan istilah keren untuk menyebut adat istiadat, yaitu kearifan lokal. Sampai-sampai, adat istiadat yang bertentangan dengan syariat Islam pun disebut kearifan lokal. Bahkan, orang yang tidak setuju dengan kearifan lokal, dilabeli dengan predikat radikal," terangnya.
Penulis buku Tafsir Al-Wa’ie itu memaparkan bahwa hal tersebut biasa diketemukan, misalnya pada kriteria BNPT, yang menyebutkan empat ciri penceramah radikal, salah satunya adalah anti terhadap kearifan lokal.
Ia lalu membacakan Al-Qur'an surah Al- Baqarah ayat 189 yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.’.”
“Kalau kita membaca, dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 189 itu sebenarnya ada dua topik. Pertama, tentang al-ahillah (bulan sabit); kedua, tentang al-birr wa at-taqwa (kebajikan dan ketakwaan),” terangnya.
Adat Istiadat
Kiai Labib menjelaskan, banyak ayat Al-Qur’an yang membahas tentang pandangan Islam terhadap adat istiadat. Salah satunya adalah Al-Baqarah ayat 189, yaitu di bagian akhir ayat. “Dan bukanlah kebajikan itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
“Makna yang terkandung dalam ayat tersebut menjadi jelas jika kita lihat sabab nuzul dari ayat ini. Dari Al Baihaqi, diceritakan orang Anshar (Madinah) itu apabila mereka haji, mereka tidak masuk melewati pintu rumahnya, namun dari arah belakangnya. Ternyata ada laki-laki mereka, masuk lewat pintunya. Lalu ia merasa bersalah atas hal itu, lalu turun ayat ini,” jelasnya.
Kiai Labib menguraikan bahwa ayat tersebut menceritakan ada adat istiadat yang berlaku, yang diterima dari nenek moyang mereka, lalu mereka ambil sebagai sesuatu yang harus diamalkan, harus diterapkan.
“Ayat ini yang paling penting adalah, memberikan patokan. Bukanlah kebajikan itu memasuki rumah tidak melalui pintunya. Itu bukan kebajikan, meski diterima dari nenek moyang mereka, diturunkan secara adat istiadat dan segala macam,” urainya.
Ia menjelaskan bahwa orang Madinah dulu sebelum mengenal Islam, memiliki adat istiadat, semacam keyakinan, sesuatu yang ditabukan oleh mereka. Bahkan setiap bangsa, atau setiap suku, kadang-kadang memiliki sesuatu yang dianggap tabu ketentuannya. Orang Arab misalnya, banyak memiliki perkara-perkara yang dianggap tabu menurut adat istiadat mereka.
“Misalnya mereka mengharamkan beberapa jenis unta tertentu, karena itu untuk berhala mereka. Ada juga mereka punya adat istiadat yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung mereka. Lalu, nama anak angkat itu disebut dengan nama bapaknya, seperti Zaid bin Haritsah dulu disebut Zaid bin Muhammad, misalnya. Itu adalah ketentuan-ketentuan, adat istiadat yang berlaku di masa jahiliyah,” ungkapnya.
Menurutnya, biasanya perkara-perkara seperti itu sulit untuk menghapusnya. Karena hal tersebut diterima secara massal dari nenek moyangnya. “Yang menanamkan bukan hanya orang satu, tapi banyak. Kalau di kampung, yang menanamkan bukan hanya bapaknya, tapi semua orang kampung menanamkan hal yang sama kepada anak cucu mereka. Kalau satu wilayah, satu negeri, itu makin banyak, makin kuat. Adat istiadat itu kalau dipegang berat sekali. Ini yang terjadi pada masa itu,” ujarnya.
Kebajikan
Menurut Kiai Labib, kebajikan adalah bagi orang yang bertakwa. Takwa itu maknanya sangat jelas. Meski ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama, tetapi inti ketakwaan itu, yakni menjalankan semua yang diperintahkan Allah subhanahu wa taala, dan menjauhi semua yang dilarang Allah subhanahu wa taala atas dasar syariat, dan dorongan untuk mendapatkan pahala, ridha, dan surga Allah Subhanahu wa Taala.
“Kalau ketakwaan itu dasarnya adalah syariat, berarti yang disebut al-birr (kebajikan) itu adalah birr menurut Islam, baik dalam perkara aqidah maupun amal,” terangnya.
Dalam ayat yang lain, yaitu Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 177 Allah Subhanahu wa Taala menyebutkan, kebajikan itu ada yang dalam bentuk akidah (keimanan), ada yang dalam bentuk amal.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Kiai Labib menegaskan, ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa al-birr adalah apa yang disebutkan Allah atau yang dinyatakan, dikategorikan sebagai kebajikan. Baik itu dalam perkara akidah maupun syariah. Oleh karena itu, dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 189, ada garis tegas bahwa kebajikan itu bukanlah yang diangap baik oleh manusia, apakah manusia sekarang, maupun manusia yang telah lalu.
"Kadang-kadang generasi bawah menganggap apa-apa yang ditinggalkan, apa yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, itu selalu baik. Lalu, menyebutnya sebagai adiluhung, kearifan lokal, dan sebagainya.
Menurutnya, dalam Al-Qur'an cukup banyak ayat yang memberitakan sikap seperti itu, yakni berpegang kepada ketentuan yang diwariskan nenek moyang (adat istiadat). Banyaknya ayat yang memberitakan sikap seperti itu, menunjukkan memang begitu lekatnya perkara tersebut. Misalnya, dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 170, yang artinya: “Apabila dikatakan kepada mereka ikuti apa yang Allah turunkan, mereka mengatakan, namun kami mengikuti apa yang kami dapatkan dari bapak-bapak kami.”
Hal yang tidak jauh berbeda ditunjukkan dalam Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 104. “Ketika dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab, 'Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.' Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?"
Hal yang sama juga terdapat dalam Al-Qur'an surah Al-A’raf ayat 28, dan beberapa ayat yang lain. “Itu menunjukkan bahwa ini perkara berat, muncul tidak hanya pada waktu tertentu, tempat tertentu. Sampai-sampai disebutkan berulangkali tentang pedoman yang salah tersebut. Ayat ini memberikan satu pedoman yang tegas, jelas dan tidak ada pemahaman ganda, bahwa al-birr bukanlah apa yang mereka dapatkan dari nenek-nenek moyang mereka, tetapi bagi orang yang bertakwa,” pungkasnya.[] Binti Muzayyanah
0 Comments