Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

RUU TPKS Disahkan Bukti Pemerintah Berpihak pada Liberalisme


TintaSiyasi.com -- Merespons atas pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada 12 April 2022, Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara menyatakan keprihatinannya dan menganggap itu bentuk sikap pemerintah yang berpihak pada liberalisme dan sekularisme.

“Saya sangat prihatin dan ini adalah bentuk sikap pemerintah yang jelas-jelas menunjukkan keberpihakan pada nilai-nilai liberalisme dan sekularisme,” tuturnya kepada Tintasiyasi.com, Selasa (19/2/2022).

Sebab, menurutnya, tampak jelas penolakan dari banyak tokoh dan aktivis Muslim yang menyoal substansi sexual consente (seks dengan persetujuan) sejak kontroversi Permendikbud no 30. Karena itu, lanjutnya, sangat ironis ketika substansi sexual consente tersebut justru diadopsi dalam UU TPKS. “Ironisnya substansi ini (sexual consente) justru malah diadopsi dalam UU TPKS yang baru saja disahkan,” ungkapnya.

Fika menilai, pengadopsian tersebut menjadikan UU TPKS justru membuka pintu kebebasan. Sebab, sama saja akan mengizinkan seks bebas dan penyimpangan seksual lainnya selama ada persetujuan (consent) dari pelaku seksual. Menurutnya, itu artinya zina, LGBT dan sejenisnya akan dibiarkan setelah RUU tersebut sah.

Lebih lanjut ia menerangkan bahwa kekerasan seksual sudah menjadi persoalan yang bersifat sistemis. Karena itu perlu penanganan yang mendasar dari akarnya. Alih-alih menyelesaikan, menurut Fika UU TPKS justru membuka pintu kebebasan dan kerusakan baru di tengah masyarakat.

“Kekerasan seksual perlu ditangani dari akarnya karena sudah bersifat sistemis. Sementara UU TPKS ini justru saya melihatnya sebagai bentuk kebebasan individu. Alih-alih menyelesaikan, keberadaan aturan ini malah justru akan membuka pintu kebebasan dan kerusakan baru di tengah masyarakat,” terangnya.

Ia menambahkan, proses pembuatan kebijakan perlu dilihat sebagai sebuah proses sistemik. Yaitu bahwa policy (kebijakan) lahir dari proses politik oleh pihak polity (unsur pemerintahan) yang sangat diwarnai ideologi, tata nilai dan kepentingan. Karena itu menurutnya, pemberantasan kekerasan perlu perubahan yang sistemis, bukan parsial seperti halnya UU TPKS.

“Begitupula UU TPKS, ia adalah produk kebijakan dari sistem tertentu, dengan institusi pemerintahan tertentu yang sangat diwarnai ideologi, tata nilai dan kepentingan mereka. Jadi memberantas kekerasan seksual, perlu melalui upaya perubahan yang lebih sistemik, bukan sekedar perubahan cabang atau parsial,” pungkasnya.[] Tyas
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments