TintaSiyasi.com -- Melacak akar Islamofobia global, Direktur Forum On Islamic World Studies Ustaz Farid Wadjdji mengungkapkan bahwa seorang politisi Muslim harus memiliki kesadaran politik.
“Seorang politisi Muslim harus memiliki kesadaran politik. Yakni kesadaran tentang perkara-perkara apa yang membahayakan umat dan perkara-perkara apa yang menyelamatkan umat,” bebernya dalam acara Melacak Akar Islamofobia Global bertajuk Menjadi Politisi Islam, Senin (28/03/2022) di kanal YouTube Peradaban Islam ID.
Ustaz Farid menambahkan, termasuk kesadaran-kesadaran terhadap setiap manuver-manuver sampai pada tingkat manuver-manuver yang dilakukan pada musuh-musuh Islam, yang bisa mencelakakan umat Islam, yang bisa merusak akidah umat Islam, yang bisa menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam. “Inilah hakikatnya yang disebut dengan kesadaran politik,” tegasnya.
“Kesadaran politik ini harus terwujud pada level lokal, nasional, ataupun internasional. Bagi politisi Muslim sangat dibutuhkan kesadaran politik ini,” terangnya.
Ustaz Farid mengungkapkan, kesadaran politik itu memiliki dua syarat. Pertama, memiliki cara pandang global dan kedua, memiliki cara pandang yang khas.
“Seorang Muslim baru memiliki kesadaran politik yang tinggi jika cara pandangnya global. Ia tidak hanya melihat pada satu aspek saja. Tetapi, ia melihat pada seluruh aspek,” terangnya.
Ia memaparkan bahwa seorang Muslim harus memahami serangan-serangan terhadap umat Islam atau ancaman-ancaman terhahap umat Islam, bahwa sifatnya tidaklah lokal, tidaklah regional, melainkan bersifat global.
“Contoh, belakangan muncul isu pernikahan beda agama di sebuah gereja di Semarang. Demikian juga staf presiden menikah beda agama. Kemudian ini menjadi isu,” sebutnya.
Ia menghimbau ketika seorang Muslim melihat peristiwa tersebut, tidak bisa melihat dari sudut pandang yang sifatnya lokal saja, ataukah melihat dari perspektif regional saja. “Tetapi, kita harus melihat dari perspektif secara global,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, bahwa apa yang terjadi dengan pernikahan beda agama sesungguhnya bukan sekadar masalah fiqih, apakah boleh menikah dengan yang beda agama atau tidak.
“Sebenarnya kalau masalah fiqih sudah clear, sudah jelas di kalangan ulama menegaskan bahwa haram seorang Muslimah menikah dengan seorang pria nonMuslim,” tuturnya.
Namun, ia mempersoalkan bahwa persoalan liberalisasi sesungguhnya bukan persoalan lokal, tetapi persoalan global.
Liberalisasi
Direktur Forum On Islamic Word Studies tersebut mengatakan, liberalisasi di Indonesia dan negeri-negeri Islam lainnya menjadi perkara penting untuk mengokohkan penjajahan.
Ia mengungkapkan, di Indonesia liberalisasi sudah lama berjalan. Misal, liberalisasi ekonomi sudah berjalan pascareformasi.
“Muncul berbagai undang-undang yang sangat liberal. Misal, Undang-Undang Migas, kelistrikan, dan terakhir Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja. Semuanya itu untuk mengokohkan liberalisasi ekonomi di Indonesia,” ungkapnya.
Demikian juga ia katakan, telah terjadi liberalisasi politik. Sistem politik yang semakin sekuler, yang alergi terhadap hal-hal syariah Islam.
“Jika ada aspirasi syariah Islam kemudian dibangun stigma negatif, yakni dicap radikal, teroris, dan sebagainya. Jadi, liberalisasi politik yang mengokohkan sistem demokrasi ini sudah berjalan,” bebernya.
Menurutnya, yang lebih penting lagi adalah liberalisasi agama, sehingga muncul pernikahan beda agama, munculnya fenomena kemusyrikan, yang seolah-olah direstui oleh negara. “Ini merupakan proyek liberalisasi global,” pungkasnya.[] Lanhy Hafa
0 Comments