Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jika Pencitraan Berlebihan, maka Reaksi Menolak juga Tinggi


TintaSiyasi.com -- Analis senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Agus Kiswanto, S.T., M.T. mengatakan, jika pencitraan berlebihan, seolah-olah semakin dicitrakan bagus, maka gaya reaksi menolak juga sangat tinggi.

"Yang tidak diantisipasi itu adalah reaksi kelebihan dosis. Semakin dicitrakan bagus, maka semakin juga ada gaya reaksi yang menolak juga sangat tinggi sekali. Ini yang enggak diantisipasi dengan teknologi 4.0," kata Agus dalam Insight Pusat Kajian dan Analisis Data: Rona-Rona Survey Kepuasan: Rakyat Tak Percaya Rezim Ini? Senin (7/3/2022) di YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.

"Reaksi lambat ini bisa melahirkan tsunami emosional, ketika terjadi akan berdampak sosial yang luar biasa," tegas Agus. Menggambarkan kondisi masyarakat ketika semakin banyak pencitraan yang tidak sesuai dengan realita. "Sekarang bukan masalah kebenaran tetapi masalah keberanian," penegasan Agus. 

Ia berharap agar masyarakat berani untuk mengambil sikap atas peristiwa politik yang ada. Ia melihat populasi warganet yang cukup banyak, maka ke depannya lembaga survei bisa menghadirkan data dari warganet yang lebih objektif.

"Kemudian ia menyampaikan bahwa terkait dengan fakta dan data, orang bisa melakukan citizen journalism secara real time. Sekarang ini 4.0 jadi citizen journalism. Jadi tidak bisa ditutup-tutupi," tegasnya lagi

Ia menambahkan, pencitraan dulu itu dari atas ke bawah yang sekarang tidak seperti itu lagi. “Di sini terkait dengan reaksi. Ada aksi ada reaksi,” bebernya. Jadi, kalau orang dicitrakan sangat berlebihan aktualisasinya itu ternyata tidak sesuai, maka justru dorongan reaksinya itu semakin tinggi sekali. Ini alamnya," ujarnya.

Ia melanjutkan bahwa kondisi buruk itu bila semakin dipoles dengan semakin tebal lipstiknya, bedaknya, bedak pencitraan, pasti akan deras juga untuk melunturkan. “Jadi, ini adalah era teknologi 4.0 terkait dengan citizen journalism," lanjutnya.

Ia mengingatkan untuk tidak mendelegitimasi peran publik. “Jangan kita itu mendelegitimasi peran publik di sini terkait dengan kontra informasi yang sangat juga dahsyat ini," tuturnya.

Terkait dengan perencanaan program, lanjutnya, pelaksanaan program kemudian ada evaluasi program, informasi digital itu sangat luar biasa terbuka. “Dan kalau kita searching, kita googling itu mesin akan menunjukkan mana yang baik mana yang buruk," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa digital informasi sulit untuk bisa menyaring dan menangguhkan. “Tapi kalau sudah terkait dengan digital informasi enggak bisa. Itu kanal-kanalnya sangat banyak sekali," tambahnya.

Ia membeberkan hubungan kalkulasi pabrikasi politik dan opini dalam meningkatkan elektabilitas jelang pemilu.

"Mengemas kalkulasi pabrikasi politik, itu memang mengemas kalkulasi pabrikasi opini," jelasnya 

 "Jadi, siapa yang akan menguasai itulah yang akan melakukan legitimasi terkait dengan apa yang diinginkan," imbuhnya.

Ia mengatakan bahwa tahun ketiga ini memang tahun marketing. Menurutnya, mereka yang ingin berkuasa kembali sedang berupaya menaikkan citranya di hadapan publik. “Tahun marketing itu tahun yang harusnya diaktualisasikan, dipoles. Kalau bahasa saya itu ada pabrikasi, ada transmisi ada distribusi yang itu terkait dengan apa yang diinginkan," ujarnya.

Lanjutnya, tahun ketiga adalah tahun yg sangat menentukan. “Dan memang tahun ketiga ini secara hitung-hitungan kalkulasi politik ini adalah tahun yg sangat menentukan,” tambahnya.

Menurutnya, para penguasa memiliki minimal target menang itu 51 persen dari 270 juta rakyat. Menurutnya, harus di atas angka tersebut karena ada gradasi penurunan.

“Jadi menang secara real. Namun, kalau secara opini, berarti harus di atas 70 persen. Kenapa demikian karena pasti ada gradasi penurunan dari citra yang 70 persen menjadi citra yang sesungguhnya," ujarnya.

Menurutnya riset atau penelitian yang terkait dengan survei ada beberapa metodologi yang tentunya akan dikedepankan, ada latar belakang untuk dilakukan survei. “Pasti ada latar belakang, ada suatu masalah yang akan diselesaikan atau rumusan masalahnya itu terkait dengan apa sehingga muncullah di situ terkait dengan kronologinya itu," terangnya.

Lanjutnya, kemudian dirumuskan hipotesisnya itu seperti apa, kalau kita lihat ada kuantitas, ada kualitas sering kali yang dipakai acuan untuk menaikkan elektabilitas si A, si B, si C. “Katakanlah yang sekarang ini adalah Presiden Jokowi untuk dilakukan pabrikasi opini ini lebih baik, maka otomatis kuantitatif ini akan dilakukan," terangnya.

Ia menganggap, yang jadi masalah adalah pengembangan instrumen dan pengujian instrumennya seperti apa. “Sehingga sebelum memunculkan simpulan data dan saran itu seperti sekarang itu, saya mendengarkan uraian dari Pak Suswanta itu kok 70 persen terus? itu apakah memang angkanya tidak ada yang di bawah 70 persen?” ujarnya.

Ia pun menanyakan uji samplingnya. “Yang enggak diungkap ini uji samplingnya seperti apa. Terkait dengan apa yang sudah dikumpulkan oleh para surveyer. Tetapi yang jadi tanda tanya besar dari sekian banyak surveyer itu beda-beda. Beda-beda lembaga surveyer-nya. Kenapa bisa memunculkan yang sama ini kan tanda tanya besar,” tanyanya.

Ia juga menyampaikan kurang keobjektifan. “Ini ada kurang keobjektifan terkait dengan apa yang ada sekarang ini," tuturnya.

Menurutnya, terkait dengan respons masyarakat memang agak lambat. “Tapi ingat, lambat ini layaknya tsunami emosional. Lambat emang, lambat. Tetapi kalau ada kesempatan itu berbahaya sekali," terangnya.

Ia menjelaskan bahwa apabila emosi itu terkumpul akan sangat berbahaya. Karena indikator-indikator ini  sangat kental sekali. Ia memberikan contoh terkait dengan minyak goreng yang hilang, sebenarnya produksi tetap ada, tetapi kelangkaan minyak goreng ada.

“Sembilan bahan pokok. Bukan sembilan semuanya, tetapi indikator-indikatornya itu menyentuh kepada segmentasi yang spektrum dampaknya itu sangat luas sekali,” ujarnya.

Ia menjelaskan, kenaikan harga kalau segmentasi menengah ke bawah itu sangat luar biasa berdampak. “Ini yang harus diantisipasi. Namanya tsunami emosional. Tsunami emosional pada saat itu tidak terkendali, maka akan jadi dampak sosial yang sangat lebih besar lagi," pungkasnya.[] HN/Ika Mawarningtyas



Baca Juga

Post a Comment

0 Comments