TintaSiyasi.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. M. Shiddiq Al Jawi tegas menyatakan bahwa pacaran itu hukumnya haram dalam Kajian Ngave di kanal Majelis Gaul.
“Setelah mengkaji manath (fakta hukum) dari definisi pacaran dan aktivitas-aktivitasnya, jelas bahwa pacaran itu haram hukumnya,” tegasnya, Selasa (19/04/2022).
Kiai Shiddiq menjelaskan, “Pacaran dapat didefinisikan sebagai hubungan khusus (ekslusif) antara laki-laki dan perempuan yang tak terikat pernikahan, baik untuk sekadar bersenang-senang (just having fun), maupun untuk saling mengenal atau mencari kecocokan menuju pernikahan.”
“Dalam pacaran biasanya terdapat aktivitas-aktivitas sebagai berikut. Pertama, berkomunikasi, baik secara langsung maupun melalui alat komunikasi (SMS, telepon, dll), misalnya saling perkenalan, curhat, diskusi, janjian kencan, saling merayu, dan sebagainya,” sebutnya.
Kedua, aktivitas berdua-duaan, yaitu interaksi khusus secara menyendiri tanpa kehadiran orang ketiga, baik dalam kehidupan khusus, misalnya di kamar kos, maupun dalam kehidupan umum, misalnya di restoran, gedung bioskop, dan sebagainya. Aktivitas ini sering disebut ‘kencan’ (dating).
Ketiga, aktivitas fisik sebagai ungkapan rasa cinta, seperti berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dan sebagainya. “Keempat, hubungan seksual seperti lazimnya yang dilakukan suami istri yang sah,” tandasnya.
“Demikianlah sekilas manath (fakta yang menjadi objek hukum) dari apa yang disebut “pacaran” itu. Kaidah ushul fiqih menyebutkan الحُكْمُ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ, ‘Pemberian status hukum syara untuk suatu fakta, merupakan cabang (langkah berikutnya) setelah pemahaman fakta terhadap fakta itu.’,” tandasnya.
Kiai Shiddiq membeberkan, baik pacaran untuk sekadar bersenang-senang, maupun untuk mencari kecocokan menjelang pernikahan. Ada lima dalil keharaman pacaran.
Pertama, adanya ayat yang mengharamkan zina dan juga segala mukadimah zina (aktivitas yang mendekati zina), seperti berpelukan dan berciuman.
“Firman Allah ﷻ, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا, ‘Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.’,” kutipnya surah Al-Isra’ [17] ayat 32.
Dalam ayat tersebut Allah ﷻ telah melarang segala perbuatan yang mendekati zina dan tentunya juga melarang zinanya itu sendiri. “Di dalam Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, halaman 503), menurut Imam Ibnu Katsir yang dimaksud mendekati zina adalah segala aktivitas yang menjadi suatu sebab atau pendorong terjadinya zina (asbaab wa dawaa’i az-zina),” bayannya.
Kedua, adanya hadis yang mengharamkan segala bentuk percumbuan seperti berciuman walaupun tidak sampai berzina.
“Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam hadis nomor 5113, bahwa seorang laki-laki telah mencium seorang perempuan tapi tidak sampai berzina, kemudian dia menghadap Nabi ﷺ. Lalu Nabi ﷺ pun mengajak laki-laki itu untuk shalat guna menghapus dosanya,” ujarnya.
Ia menyitat pendapat Syeikh Wahbah Zuhaili di dalam kitab At Tafsir Al Munir Juz XII halaman 179, “Kemudian turunlah firman Allah ﷻ surah Huud ayat 114 yang berbunyi, ‘اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ, ‘Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.’,” jelasnya.
Ketiga, terdapat dalil-dalil hadis yang mengharamkan khalwat, yakni berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan di tempat sepi.
“Sabda Nabi ﷺ, لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلَّا وَمعهَا ذُو مَحْرَمٍ, ‘Janganlah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai mahramnya.’,” sebutnya hadis riwayat Imam Bukhari nomor 4935 dan Imam Muslim nomor 1341.
Keempat, terdapat dalil-dalil hadis yang mengharamkan ikhtilath, yaitu campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i (keperluan yang dibenarkan syariah), seperti ngobrol berdua di mobil, ngobrol berdua di rumah, makan berdua di restoran, jalan-jalan berdua di mall, dan sebagainya.
“Dalil haramnya ikhtilath ditunjukkan oleh hadis-hadis Nabi ﷺ yang mewajibkan terpisahnya (infishal) komunitas laki-laki dan komunitas perempuan, dan yang menunjukkan haramnya campur baur (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan kecuali ada hajat syar’i, seperti saat tawaf di sekeliling Ka’bah, atau saat berjual-beli, atau saat sewa menyewa, saat berobat, dan sebaginya,” imbuhnya.
“Nabi ﷺ telah memisahkan jemaah pria dan jemaah wanita di masjid ketika shalat jemaah, yaitu saf-saf pria berada di depan, sedangkan saf-saf wanita berada di belakang saf-saf pria,” urainya berdasar hadis riwayat Imam Bukhari nomor 373.
Selain itu, Kiai Shiddiq memaparkan berdasar hadis riwayat Imam Bukhari nomor 828, Nabi ﷺ juga telah memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat berjamaah di masjid, baru kemudian para laki-laki.
Kelima, terdapat dalil-dalil yang mengharamkan umat Islam untuk meniru cara hidup kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), di antaranya adalah pacaran.
“Pacaran sesungguhnya bukanlah bagian cara hidup umat Islam yang dibimbing oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi merupakan bagian cara hidup kaum kafir, khususnya masyarakat Barat, yang umumnya beragama Yahudi dan Nashrani,” urainya.
Berdasar hadis Abu Dawud nomor 4029; Nasa`i, As Sunan Al Kubra, nomor 9560; Ibnu Majah, nomor 3607; Ahmad nomor 5664), Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka.
“Rasulullah ﷺ bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَن قَبْلَكُمْ شِبْرًا بشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بذِرَاعٍ، حتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ، قُلْنَا: يا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قالَ: فَمَنْ
‘Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, kalian pasti akan mengikuti mereka.’ Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?’ Rasulullah menjawab, ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’,” pungkasnya mengutip hadis riwayat Imam Bukhari nomor 3456.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Comments