Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Begini Sorotan LBH Pelita Umat soal UU TPKS



TintaSiyasi.com -- Dinilai regulasi di sistem sekuler hanya tambal sulam, Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H.,M.H. menyoroti dua pasal dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

“Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) itu ada dua saja yang saya soroti,” tuturnya dalam Indepth Talk Spesial Ramadhan dengan tema Pengesahan UU TPKS Bagaimana Sikap Kita? di kanal YouTube Institut Musliman Negarawan, Sabtu (23/4/2022).

Pertama, menurut Chandra yaitu pemaksaan perkawinan, menurutnya di pasal 10 menjelaskan bahwa pemaksaan perkawinan dapat di pidana penjara sekitar 9 tahun.

“Nah, pemaksaan perkawinan itu biasanya akan menyasar kepada orang tua, kenapa karena orang tua biasanya punya pilihan tertentu terhadap calon kriteria suami dari anaknya atau kriteria istri dari anaknya,” ujarnya.

Menurutnya, itu akan membuat orang tua berpikir ulang ketika akan memaksakan perkawinan terhadap calon menantu yang kemudian tidak di sukai anaknya itu. Lebih lanjut menurutnya, si anak dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum atas orang tuanya, karena atas dasar bahwa dia tidak di setujui oleh orang tuanya menghendaki menikah.

“Oleh karena itu, ini menjadi perhatian betul bagi orang tua agar kemudian dapat terhindar dari pidana ini, maka setiap pilihan anaknya disetujui siapa calon suami atau calon istri dari anaknya, karena anak kapan saja melaporkan orang tua atas tindak pidana,” ujarnya.

Yang kedua, menurut Chandra adalah pemaksaan kekerasan seksual berupa fisik, menurutnya para suami dapat di penjara selama 12 tahun menggunakan pasal 6.

“Pasal 6 itu begini: Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang di tunjukkan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,” jelasnya.

Lebih lanjut menurut Chandra, di pasal itu ada kejahatan yang dimaksud kategori marital rape. “Apa itu marital rape? Marital rape artinya pemerkosaan yang terjadi di dalam rumah tangga, terbayang ya suami istri itu dianggap seorang suami dianggap melakukan pemerkosaan terhadap istrinya,” ujarnya.

Menurutnya, dalam masyarakat sekuler regulasi yang dibuat itu hanyalah tambal sulam. 

“Untuk perempuan itu paling banyak ada UU KDRT, ada perlindungan perempuan dan anak, tapi ternyata dari semua regulasi itu, tidak bisa melindungi perempuan dalam konteks secara keseluruhan, kenapa begitu karena akar masalahnya dalam sistem sekuler masyarakat sekuler seperti ini akhirnya kemudian perlindungan terhadap perempuan tidak maksimal,” bebernya.

Sekularisme

Aktivis Muslimah Luthfi Aqrobah mengatakan sekularisme tidak hilang dari UU itu dan mengisyaratkan bahwa darurat kekerasan seksual terhadap perempuan harus dihentikan. 

“Sebenarnya sekularisme tidak hilang dari UU ini. Maka, akhirnya kita sepakat bahwa semakin banyaknya angka kekerasan terhadap perempuan, ini mengisyaratkan bahwa darurat kekerasan seksual terhadap perempuan harus dihentikan,” tambahnya.

Ia menjelaskan, asas yang mendasari UU tersebut adalah kebebasan yang lebih mengedepankan hawa nafsu, bukan  mengedepankan wahyu atau aturan yang bersumber dari agama. 

“Kita melihat isi dari UU TPKS ini, bahkan  sejak masih RUU TPKS kita harus bersikap kritis. Kritis di dalam melihat isi dari UU tersebut banyak di dalamnya mengandung nilai-nilai secara subtansi bertentangan dengan Islam,” bebernya. 

Ia meragukan UU TPKS bisa  menyelesaikan persoalan kekerasan seksual di masyarakat, karena berasaskan pada sesuatu yang bermasalah. “Bahwa sekulerisme jelas bermasalah, karena sebagai seoarang Muslim kita meyakini bahwa aturan yang seharusnya mengikat kita dalam kehidupan tidak hanya level individu, tapi juga sampai  level masyarakat, bernegara diatur oleh Islam. Bahwa hanya dengan aturan Islam saja sudah bisa membawa kepada kemaslahatan. Tidak hanya bagi Muslim, tapi juga bagi non Muslim,” tegasnya. 

Ia meminta, agar kita  melakukan apa yang disebut dengan pergolakan atau perang pemikiran. Diawali dengan melakukan kritik terhadap pemikiran-pemikiran yang keliru yang membakar, serangan yang keras. Kemudian menjelaskan bagaimana pemikiran Islam  dan hukum-hukumnya kalau  diterapkan sistem Islam. 

Kemudian, memiliki sikap kritis  dengan menggunakan sudut pandang Islam agar tidak mudah termakan narasi-narasi mainstream. Ia menggambarkan bagaimana orang-orang yang kemudian kalangan yang awal-awalnya  kontra kemudian lama-lama  jadi pro. Ketika kemudian yang dikedapankan itu, data-data  terkait dengan semakin meningkatnya kasus kekerasan perempuan, khususnya kekerasan seksual terhadap perempuan. 

“Kalau sekarang tantangan pemikiran itu yang harus kita kritik, kemudian kita sampaikan bagaimana satu sisi pandangan Islam didalam mengatur kehidupan itu banyak. Mulai dari tadi kita bicara  akidah yang keliru,seperti sekularisme, sosialisme, dan seterusnya,” imbuhnya. 

Luthfi menambahkan, kemudian yang harus dilakukan bagaimana di level individu, Islam memerintahkan kepada  laki-laki dan perempuan menjadi orang-orang yang bertaqwa. Kemudian dalam aspek pergaulan kewajiban menundukkan pandangan, kewajiban menutup aurat, keharaman untuk berkhalwat dan seterusnya. 

“Maka, inilah kemudian yang harus kita pahami bahwa memang lahirnya UU ini yang diseharusnya bisa diharapkan menyelesaikan persoalan kekerasan seksual  dan menghapuskan kekerasan seksual, yang ada justru kemudian rawan yaitu untuk memunculkan permasalahan-permasalahan baru,” terangnya. 

“Nah, sehingga kalaupun kemudian, ini di terapkan dan ada banyak eforia harapan-harapan tadi. Itu sulit tercapai penghapusan kekerasan seksual. Seperti misalnya UU yang lain perlindungan anak, UU KDRT, sekian tahun atau yang paling dekat UU KDRT itu sudah hampir belasan tahun diterapkan, apakah kekerasan dalam rumah tangga itu  menurun? Bahkan, kemaren dilaporkan disaat pendemi semakin meningkat. Jadi disaat keluarga itu  kumpul bukannya itu kemudian membuat keharmonisan keluarga semakin kuat, malah dipalaporkan semakin meningkat,” katanya.

Permukaan

Ketika sejumlah elemen perempuan memberikan apresiasi dan penghargaan tinggi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Aktivis Milenial Sayyidah Nisa, S.Si. justru menilai mereka itu hanya melihat isu dari permukaan. 

“Banyak yang melihat dari isu permukaan. Dan memang ini yang disuarakan oleh pihak-pihak yang pro,” tuturnya.

Nisa menilai, masalah perlindungan terhadap korban dan tingginya kasus kekerasan seksual hanyalah isu-isu permukaan yang sengaja diangkat oleh pihak yang pro pengesahan agar UU TPKS tersebut mudah diterima masyarakat. 

Menurut Nisa, pejuang RUU TPKS tidak melihat kebebasan sebagai akar masalah adanya pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami perempuan. Menurutnya, argumen tentang masalah perlindungan korban yang digulirkan pihak yang pro pengesahan hanya dilihat dari perspektif gender. 

“Mereka cuma melihat itu karena enggak ada consent, perempuan enggak punya otonomi tubuh,” ujarnya. 

Lebih lanjut Nisa menjelaskan, dengan anggapan UU TPKS dapat berfungsi mencegah kekerasan seksual dan melindungi korban, pengusung UU tersebut menilai siapa saja yang kontra dan menolak pengesahan tidak berpihak kepada korban dan melindungi predator seksual. 

“Salah satu judgement yang dikasih oleh orang-orang yang pro undang-undang ini kepada orang-orang yang kontra, ‘Atau kalian ini melindungi predator seksual?’,” terangnya. 

Nisa menambahkan, pihak yang menganggap UU TPKS sebagai solusi juga telah mendefinisikan kekerasan seksual sebagai aktivitas yang dengan paksaan, sementara zina bukan termasuk kekerasan seksual dan tidak ada hubungan dengan itu. Karenanya, pihak pro tersebut  mempersilakan yang hendak mempermasalahkan zina untuk memperjuangkan undang-undang yang lain atau pasal yang lain. Namun, menurut Nisa, realitasnya hal itu pun mereka tolak sehingga pada dasarnya mereka tak ingin ada yang menolak UU TPKS tersebut. 

“Akhirnya kan ada yang memperjuangkan perluasan pasal zina di KUHP. Tapi itu kan juga ditolak sama orang-orang yang memperjuangkan RUU TPKS. Jadi, misalnya ada kaum Muslim yang memperjuangkan pasal yang lain, ternyata ditolak sama mereka. Jadi, mereka sebenarnya enggak mau aja ada yang menolak,” ujar Nisa. 

Nisa menyayangkan, argumen-argumen tersebut bukan hanya bergulir pada kaum feminis, namun telah diadopsi juga oleh kalangan Muslimin yang terpedaya argumen feminis di balik isu HAM dan kemanusiaan. “Mereka dengan isu-isu ham dan kemanusiaan kemudian menjadi argumen. Sayangnya kemudian argumen argumen itu nggak hanya pada mereka yang feminis. Jadi karena melihat banyaknya pemerkosaan, pelecehan dan sebagainya, mereka menganggap ini sebagai solusi, sebagai perlindungan ke korban,” keluhnya. 

Padahal menurutnya, argumen-argumen yang dilontarkan kaum feminis, yaitu pihak yang ada di balik pengusung RUU TPKS tersebut, pada dasarnya sulit diterima kaum Muslimin. “(Argumen) ini sebenarnya hal yang sulit diterima bagi kaum Muslim karena asasnya bukan Islam,” tuturnya. 

Nisa menerangkan, menurut Islam, consent tidak berlaku sebelum pernikahan dan semua hal yang mengarah ke sana akan mengantarkan kepada pelecehan. Lanjutnya, Muslimin melihat adanya sexual concent membuat UU tersebut cenderung tidak menyentuh seks bebas yang menjadi akar permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual. 

Nisa menilai, banyaknya pihak yang pro pengesahan UU TPKS saat ini, termasuk pihak yang sebelumnya kontra menjadi kalem tersebut karena adanya kampanye kaum feminis. 

“Jadi sangat dipengaruhi oleh kekonsistenan kampanye feminis dan orang-orang yang sepaham dengan mereka untuk menyuarakan consent, menyuarakan gender, dan membakukannya dalam sebuah peraturan di negara sehingga punya payung hukum juga untuk mengedukasi tentang consent dan gender. Itu juga yang mereka usahakan. Biar ada edukasi di sekolahan, edukasi di kampus untuk permasalahan ini dengan perspektif mereka,” pungkasnya.[] Aslan La Asamu, Sri Nova Sagita, Tyas
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments