TintaSiyasi.com - Menyikapi tantangan bagi penulis yang kerap dihantui oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam mengeluarkan pendapatnya, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. beberkan tip menulis aman.
"Bagi para penulis harus memahami beberapa tip berikut agar terhindar dari UU ITE. Jangan sampai penulis ceroboh dalam menyampaikan statement ataupun tulisan," beber Bung Chandra, sapaan akrabnya, dalam acara Tinta Intens ke-8: Menulis Jurnalistik Bernas dan Aman UU ITE yang disiarkan daring di TintaSiyasi Channel, Ahad (20/03/2022).
"Pertama, penulis harus memposisikan dirinya pada dua posisi, yaitu sebagai penulis dan seorang pembaca. Hal ini sangat penting agar penulis tidak merasa dirinya paling benar," ujarnya.
Kedua, dalam menulis jangan tergesa-gesa ingin cepat di publikasikan. “Penulis yang ingin tulisannya segera dipublikasikan adalah penulis yang tidak bisa memposisikan dirinya sebagai penulis sekaligus pembaca. Padahal, tulisan itu masih butuh dibaca ulang, diedit, dan dicek dulu tata bahasanya,” bebernya.
"Nah, dalam dunia media sosial sekarang, untuk menerbitkan cukup gampang. Tinggal upload di media sosial, langsung di baca orang," imbuhnya.
Ketiga, pelajari teknis mengambil angle yang akan dikritisi. "Ketika akan menyikapi berita, apakah kita akan mengkritisi orangnya, tindakannya, ataukah orang tersebut sebagai pejabat publik,” urainya.
“Ketika akan menyikapi berita atau isu, baca dulu, kemudian cari sumber beritanya," imbuhnya.
Keempat, hindari menulis dalam keadaan marah ataupun galau, karena potensi problem tulisannya besar. “Kecuali tulisan novel, yang justru membutuhkan perpaduan antara rasa marah, rasa galau, atau rasa apapun dari penulisnya pada saat ia menulis,” jelasnya.
"Kelima, gunakan diksi atau pilihan kata yang tepat. Seperti diksi yang tidak menghina, tidak mengejek, tidak menyudutkan, tidak memprovokasi, dan tidak mengajak kepada kemaksiatan atau kejahatan," bebernya.
Dia memberikan contoh penjelas terkait pemilihan diksi yang kurang tepat yang akhirnya mendatangkan masalah. "Tadinya mau mengkritisi ibu kota negara, karena pilihan diksinya kurang tepat, akhirnya opini teralihkan," jelasnya.
“Bagi yang susah untuk mengontrol diksi, maka sebaiknya ditulis. Tidak apa-apa berbicara sambil membaca,” sarannya.
Keenam, Bung Chandra membedah Pasal 27 ayat 3 terkait dengan pencemaran nama baik dan kehormatan. “Hal ini sering didapati pada lampiran foto atau video dalam tulisan yang kemudian menimbulkan masalah,” ujarnya.
"Saya sering melampirkan foto saya, video saya, itu bukan bermaksud narsis. Tetapi, untuk menghindari keberatan dari pihak yang dituliskan," bebernya.
Begitu juga dengan caption terhadap suatu berita, menurutnya juga bisa menyebabkan masalah pada suatu tulisan. Karena jika link beritanya sudah dihapus oleh pihak yang menerbitkannya karena tidak benar misalnya, maka bisa menimbulkan masalah.
“Pencemaran nama baik juga bisa melalui kalimat yang merendahkan, menghina, atau personifikasi. Kecuali itu sudah menjadi kebiasaan baik bagi orang yang berbicara maupun pihak audience-nya," tandasnya.
Ia mencontoh, pelawak misalnya, karena tugas pelawak dianggap bagaimana membuat sesuatu yang tidak lucu menjadi lucu, sehingga orang terhibur. Kedua pihak saling setuju dan sepakat.
“Pada Pasal 28 ayat 1, ujarnya, terkait berita hoaks. Berita hoaks atau berita bohong itu intinya tidak terjadi, tetapi dibuat seolah-olah terjadi. Nah, itu berbohong," jelasnya.
Ia mencontohkan terkait peristiwa pemboman. Jika ada penulis yang menuliskan bahwa itu bom palsu, maka akan menimbulkan masalah bagi penulis. "Kenapa anda tahu, jangan-jangan anda pelaku, jangan-jangan anda yang merencanakan," katanya.
“Jadi hati-hati dalam mengeluarkan analisis. Penting juga dalam pemilihan angle yang tepat. Jangan mencari suatu angle yang tidak kita ketahui," jelasnya.
Contohnya, terang Bung Chandra, terkait masalah bom. Angle yang tepat misalnya mengungkap apakah terorisme ini adalah bagian dari war on terrorism yang dikeluarkan oleh Amerika. “Sebagai seorang jurnalis dan aktivis, harus bisa mengambil angle yang tepat apa isu di balik ini,” sarannya.
“Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA. Makna ujaran kebencian yaitu menghina, menghasut, menuduh, menfitnah, menjelek-jelekan, dan memprovokasi. Terlebih agama orang lain,” urainya.
Ia memberikan tip bagamana membedah agama Islam yang akan bersinggungan dengan agama lain. “Dibacakan dalilnya berdasarkan agama dengan mengutip dalil dari kitab Al-Qur’an,” anjurnya.
"Kutip dulu ayatnya, baru kemudian ditafsirkan. Tafsirnya berdasarkan kutipan pendapat orang-orang yang memang memiliki kapasitas di bidang itu," pungkasnya.[] Heni Trinawati
0 Comments