Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Prof. Suteki Sebut Saifuddin Dapat Dijerat Pasal Ujaran Kebencian dan Penistaan Agama


TintaSiyasi.com -- Pendeta Saifuddin minta tiga ratus ayat Al-Qur'an dihapus, Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menyebut ia dapat dijerat pasal ujaran kebencian dan penistaan agama.  

"Dalam kasus ini, Saifuddin dapat dijerat dengan Pasal 28 UU ITE tentang ujaran kebencian, hate speech berunsur SARA dan Pasal 156a KUHP tentang penistaan agama," ulasnya dalam Diskusi Media Umat Online: 300 Ayat Al-Qur'an Ingin Dihapus, Ngajak Perang? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (20/03/2022). 

Sudah terang pula menurut Prof. Suteki bahwa jenis delik penistaan agama bukan delik aduan, sehingga polisi sudah dapat bergerak tanpa harus menunggu adanya laporan dari masyarakat. 

Ia menjelaskan, ujaran kebencian terhadap kitab suci adalah salah satu bentuk penghinaan dan penistaan terhadap agama secara umum. 

"Bahkan sekali pun ini bukan negara Islam, perbuatan itu tidak layak dilakukan di negeri yang rakyatnya mengaku ber-Pancasila ini," ujarnya.  

Guru Besar Fakultas Hukum Undip tersebut memandang, menista Al-Qur'an sebagai sampah itu sungguh terlalu, apalagi Al-Qur'an adalah pedoman hidup umat Islam yang jumlahnya mencapai jutaan (87 persen) rakyat di negeri ini. 

"Jika terjadi penodaan agama seperti ini pun, aparat keamanan harus segera sigap menyelesaikan perkara ini sebelum ekses peristiwa ini membesar tak terkendali. Penegakan hukum secara adil harus segera dilaksanakan," pesannya. 

Lebih lanjut, Prof. Suteki menegaskan, hakim ketika nanti akan memutus perkara itu tidak harus berdasarkan aturan dan prosedur teknis saja, melainkan wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat. 

"Hal ini diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jadi rasa keadilan yang dialami oleh masyarakat setempat juga boleh dijadikan sebagai pertimbangan hukum (legal reasoning) hakim dalam proses memutus perkara," jelasnya. 

Menurutnya, hakim dalam kasus ini tidak hanya mempertimbangkan alat bukti apalagi barang bukti, tetapi lebih pada alat bukti lain berupa keterangan ahli yang betul-betul berkompeten dan independen. 

"Adapun tentang unsur ada tidaknya penodaan agama, secara objektif juga bukan dikembalikan pada pelaku yakni perbuatan Saifuddin, tetapi dikembalikan pada fatwa keagamaan yang selanjutnya akan dibuktikan di muka pengadilan," urainya.

Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menurutnya adalah institusi yang memiliki otoritas penuh menentukan ada tidaknya unsur menista agama. Bukan dikembalikan pada pengakuan atau pernyataan Saifuddin yang dengan ringan menuntut supaya tiga ratus ayat Al-Qur'an dihapus karena dinilainya sebagai biang intoleransi dan radikalisme di tanah air Indonesia.

"Prinsip kita umat Islam, jangankan kok tiga ratus ayat yang dihapus, satu ayat pun sudah cukup alasan untuk berperang! Lebih baik segera hentikan langkah Saifuddin secara hukum ataukah akan menunggu reaksi keras umat Islam dengan melakukan masiroh kubro?" tandasnya.[] Puspita Satyawati
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments