Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sekularisme Bertentangan dengan Akidah Islam

TintaSiyasi.com -- Ulama Aswaja K. H. Rokhmat S. Labib menjelaskan bahwa akidah sekularisme bertentangan dengan akidah Islam.

"Akidah kapitalisme yakni sekularisme, bagaimana menurut Islam? Sangat bertentangan sekali," ujar Kiai Labib, sapaan akrabnya, dalam acara Ekspo Rajab 1443 Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam season Kelas Eksekutif Bedah Kapitalisme: Kritik Akidah Kapitalisme, Kamis (24/02/2022) di EkspoRajab.com.

Ia menguraikan tiga alasan akidah sekularisme sangat bertentangan dengan akidah Islam.

"Pertama, Allah SWT menciptakan manusia, memerintahkan manusia untuk taat dan beribadah kepada-Nya, serta akan menghisab dan memberikan balasan kepada manusia di akhirat atas perbuatan mereka selama didunia," jelasnya.

Labib mengutip QS. Al-Mu'minun 23: Ayat 115, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ

Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?

Penjelasan para ulama, lanjut dia, untuk ayat tersebut, para ulama menetapkan adanya Allah swt yang menciptakan, abasan maksudnya itu adalah kalimat tanya. Tetapi memberikan makna pengingkaran, bahwa Allah menciptakan manusia itu tidak sia-sia.

"Berarti apa ini, Allah SWT menciptakan manusia sekaligus Allah menetapkan akan ada aturan yang memberikan perintah, memberikan larangan. Sekaligus ada akhirat yang dikaitkan dengan kehidupan dunia," ujarnya.

Laa turjaun tidak dikembalikan, Ulama Aswaja menjelaskan, maknanya kamu akan dikembalikan dan akan dibalas atas amal kamu.

"Membalasnya didasarkan hukum-hukum perintah dan larangan Allah yang diturunkan kepada manusia selama ini," tandasnya.

Selanjutnya apakah manusia dibiarkan sia-sia, Kiai mengutip Q. S. Al-Qiyamah 75 : Ayat 36, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اَيَحْسَبُ الْاِ نْسَا نُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًى 

Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?

"Kamu tidak ditinggalkan di kuburanmu jadi tanah selesai. Tidak! Tetapi kamu diperintahkan dan dilarang di dunia, kemudian dibangkitkan tunduk kepada Allah SWT di dalam kehidupan akhirat," cetusnya.

Kedua, lanjut dia, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam negara.

Jadi ketika disebutkan Allah SWT menurunkan aturan kepada manusia. Maka pertanyaannya adalah sebatas apa peraturan itu?

"Allah menurunkan aturan Islam ini menjelaskan segala sesuatu," tegasnya.

Kiai mengutip QS. An-Nahl: Ayat 89, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَيَوْمَ نَـبْعَثُ فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ شَهِيْدًا عَلَيْهِمْ مِّنْ اَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيْدًا عَلٰى هٰۤؤُلَآ ءِ ۗ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْـكِتٰبَ تِبْيَا نًا لِّـكُلِّ شَيْءٍ وَّ هُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ

Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim).

"Para muffasir mengatakan tibyan maknanya bayan, ada tambahan 'ta' disini maknanya benar-benar menjelaskan," bebernya.

Menurut Ibnu Mas'ud, urai Kiai Labib, likulli syaiin adalah segala sesuatu.

"Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kami di dalam Al-Qur'an ini segala ilmu dan segala sesuatu semua yang halal dan haram," sambung Kiai.

Kiai Labib memaparkan, dengan skema, tentang realisasi ayat tersebut.

"Ada hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya, dengan sesama manusia," urai dia.

Ia melanjutkan, hubungan manusia dengan Tuhan ada akidah, ibadah. Dengan dirinya ada makanan, minuman, pakaian dan akhlaq. Dengan sesamanya ada uqubat (sanksi) dan muamalah yaitu sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan pria dan wanita, sistem politik, pengaturan pendidikan, politik luar negeri dan militer.

"Sementara uqubat di sana ada hudud, jinayat, tazir dan mukhalafat," imbuhnya.

Ulama Aswaja menegaskan bahwa penjelasan rincian diatas sudah banyak dibahas di berbagai kitab-kitab fiqih.

"Misalnya dalam perkara akidah, sudah ada dalam kitab-kitab fiqih. Yaitu pada kitab-kitab tauhid bab tentang akidah. Tentang syariah mulai dari sisi ibadah, mulai dari shalat. Shalat itu dengan wudu, wudu dengan air, maka ada bahasan-bahasan thaharah," terangnya.

Kiai juga menyinggung tentang makanan dan minuman. Ada yang halal, ada yang haram. Demikian juga tentang pakaian ada halal dan haram, kemudian ada pakaian sutra.

"Pada muamalah ada nidhamul hukmi, dalam istilah fiqih biasa disebut al-imamah atau al-imarah bahkan disebut al-khilafah," tandasnya.

Begitu juga, lanjut Labib, Nidhamul iqtisodi, di dalam fiqih ada bahassn al-ba'i as syirkah, riba, dan segala macamnya yang berkaitan dengan harta.

"Nidhamul ijtima'i, dalam bab fiqih ada bab nikah, talak, rujuk dan seterusnya," ujarnya.

Ia juga menyinggung tentang politik luar negeri dalam bab fiqih ada bab jihad.

"Lengkap semua termasuk juga tentang uqubat atau sanksi," terang dia.

Menurutnya, kondisi sekarang hukum-hukum tersebut semuanya, mulai dari akidah ibadah dan seterusnya dilakukan oleh individu.

"Sementara nidhamul hukmi, nidhamul iqtisody, nidhamul ijtimai, nidhamul ta'lim, sebagian kecil hukum tersebut bisa dikerjakan oleh individu tetapi sebagian besar hanya bisa ditegakkan oleh penguasa," tegasnya.

Labib mencontohkan hukuman cambuk bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, dan segala macamnya itu tidak boleh dilakukan oleh individu. Tetapi harus dilakukan oleh penguasa.

Menurutnya, Islam itu mengatur seluruh aspek kehidupan dan tidak mungkin bisa ditegakkan kecuali ada negara.

"Maka bedanya dengab kapitalisme sekularisme apa?" Tanya dia.

Ulama Aswaja menjawab pertanyaannya, sekularisme itu faslu dien an al-hayah, faslu dien an al-daulah, yaitu memisahkan agama dari kehidupan dan memisahkan agama dari negara.

"Maka islam justru Al-Islam dien al-kamila, Islam adalah agama yang sempurna. Mengatur seluruh aspek kehidupan dan negara adalah bagian dari Islam," ungkapnya.

Ada banyak ayat, sambung dia, yang menunjukkan kepada manusia untuk mengambil Islam secara keseluruhan tidak boleh sebagian-sebagian.

Ia mengutip QS. Al-Baqarah : 208 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
 
Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.

"Ibnu jarir at-thabari menafsirkan ayat ini, kerjakan oleh kamu seluruh syariat Islam, syariat islam itu keseluruhan tidak sebagian-sebagian. Tidak boleh diambil ibadahnya, minus muamalatnya, apalagi uqubatnya. Enggak ini harus diambil secara kafah keseluruhan," papar Kiai.

Jadi, menurut Kiai Labib, penerapan syariah itu menuntut (thalab), mengharuskan adanya negara.

Selanjutnya ia menyampaikan kaidah fiqih, sesuatu yang tidak sempurna kewajiban dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu menjadi wajib.

"Maka dalam pandangan Islam justru negara enggak boleh dipisahkan dari agama. Tugas negara justru melaksanakan hukum-hukum Allah SWT," tandasnya.

Dia mengutip ibarah dari Syaikh Abdurahman Al-Jaziri. "Para imam sepakat bahwa imamah itu wajib dan harus ada dari kaum Muslim adanya imam. Tujuan adanya imam atau pemimpin itu apa?Yakni menegakkan syiar-syiar agama. Jadi, tugas negara menegakkan syiar-syiar agama," ujarnya.

Menurutnya, salah satu syiar agama adalah adzan. "Justru negara harus menegakkan bukan malah membatasi atau melarang azan," tandasnya.

Kiai bahkan menegaskan apabila ada pemimpin tapi tidak menegakkan syiar Islam maka tidak berguna kepemimpinannya. Yaitu, belum sesuai dengan fungsi yang ditugaskan.

"Ketiga, mengingkari sebagian hukum yang qath'i itu menjatuhkan kepada kekufuran," lanjut Labib.

Ulama Aswaja menerangkan tafsir dari Q. S Al-Maidah ayat 44,45, 47. Mengingkari sebagian ayat bisa jatuh pada kekufuran. Begitu juga pada Q. S. An- Nisa ayat 150 dan 151.

"Sebenarnya kalau disebutkan ulaaika humu al-kafirun itu cukup. Tapi masih dikasih haqqan untuk memberikan ta'qib, menghilangkan bahwa apa yang terlintas dalam benak mereka bahwa sesungguhnya mereka beriman," ungkapnya.

Namun menurut Kiai, realitasnya mereka hanya beriman sebagian.

"Jadi dengan kata haqqan itu menunjukkan secara pasti bahwa mereka bukan orang yg beriman sama sekali," tutupnya.[] Heni Trinawati

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments