TintaSiyasi.com -- Sejarawan Institut Literasi Khilafah dan indonesia (ILKI) Septian A.W. menyatakan bahwa tidak mungkin tidak ada jejak khilafah di Nusantara, sebagaimana halnya tidak mungkin tidak ada jejak Belanda di Nusantara
“Ini perspektif baku, tidak bisa diperdebatkan. Tidak mungkin tidak ada jejak khilafah di Nusantara, sebagaimana halnya tidak mungkin tidak ada jejak Belanda di Nusantara,” ungkapnya dalam Kelas Rajab Online: Keruntuhan Khilafah dalam Sejarah Indonesia, melalui platform Zoom, Kamis (03/03/2022).
Ia menyayangkan sejarah khilafah diperlakukan beda dengan sejarah Belanda yang diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Padahal, masing-masing memiliki bukti peninggalan tersendiri di Nusantara.
“Jejak Belanda di Nusantara itu ada bangunannya, ada kisahnya yang kemudian menjadi materi pendidikan sejarah di sekolah-sekolah. Tetapi, yang sangat ironis, bagaimana dengan jejak khilafah di Nusantara? Padahal sama-sama ada,” herannya.
Maka dari itu, Septian menyimpulkan bahwa sejarah tersebut bukanlah tidak ada, namun tidak pernah diceritakan. “Berarti bukan karena tidak ada, tetapi tidak pernah dinarasikan dan diceritakan kepada masyarakat,” tegasnya.
Septian mengungkap bagaimana hubungan Aceh terhadap Khilafah Utsmani yang menyatakan ketundukan kepada khalifah, serta meminta dukungan militer melawan Portugis.
“Pada abad ke-16, Aceh membangun hubungan dengan Utsmani dan bahkan menyatakan ketundukan kepada khalifah, serta meminta dukungan militer dalam perang melawan Portugis,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan kekuatan Khilafah Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II tahun 1876-1909. Dimana pada era kepemimpinan beliau, Utsmani memberlakukan kebijakan politik Pan Islamisme yang memperkuat kekuatan, persatuan, dan solidaritas umat Islam.
“Dengan adanya Sultan Abdul Hamid II, umat Islam di Nusantara seolah-olah memiliki harapan adanya pemimpin Muslim di luar sana yang mendukung mereka keluar dari penjajahan Belanda,” tuturnya.
Ia juga menceritakan hubungan lain umat Islam di Indonesia dengan khilafah. Misalnya, respons umat Islam ketika mendegar kabar runtuhnya khilafah yang menjadi pembahasan di Kongres Al-Islam.
“Saat itu, dinamika politik yang terjadi di Turki sampai pada runtuhnya khilafah tetap menjadi sorotan umat Islam di Indonesia. Mereka membahasnya dalam Kongres Al-Islam,” ujarnya.
“Jadi, kalau kita lihat salinan arsip Kongres Al-Islam, itu sering membahas tentang internal umat Islam, komunisme, dan tentang khilafah. Tiga isu ini sering dibahas umat Islam di tahun 1920-an,” pungkasnya.[] Nurichsan
0 Comments