TintaSiyasi.com -- Menanggapi narasi radikalisme yang dituduhkan kepada ibu-ibu istri anggota TNI-Polri yang menolak pemindahan ibu kota negara (IKN), Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. mengatakan, narasi radikalisme digunakan rezim untuk membunuh karakter warga negara yang memiliki perbedaan pendapat dengannya.
"Kalau kita perhatikan, narasi radikalisme ini memang dibangun rezim ini untuk 'membunuh' karakter warga negara yang memiliki perbedaan pendapat dengan rezim penguasa, lebih tepatnya pemerintah," tutur Prof. Suteki, sapaan akrabnya, kepada TintaSiyasi.com, Kamis (3/3/2022).
Ia mempertanyakan, "Apakah benar dalam bingkai demokrasi seorang anggota TNI-Polri bahkan istri-istrinya tidak boleh beda pendapat, berdiskusi sekalipun di GWA (grup WhatsApp)? Apakah ini negara komunis yang hanya mementingkan otoritarianisme-diktatur dalam penyelenggaraan negara, termasuk dalam pembangunan tubuh TNI-Polri?"
Ia mengingatkan, sebagai negara hukum, pembangunan dan pengembangan TNI-Polri juga harus berdasarkan hukum, khususnya UU TNI misalnya. Dalam UU TNI, yakni UU No. 34 Tahun 2004 ditegaskan bahwa politik hukum UU ini adalah juga unsur demokrasi. Pada bagian konsiderans UU ini disebutkan: "Bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel."
Ia mengatakan, mulai dari KASAL, Kapolri, Anggota DPR RI dan politisi yang pada prinsipnya mendukung pernyataan Jokowi dan memastikan mendukung langkah pemerintah memindahkan IKN ke Kalimantan Timur dengan istilah "tegak lurus" dengan kebijakan pemerintah itu.
"Sampai di sini, segala pernyataan Presiden dan pimpinan kelembagaan negara ini saya setuju. Namun, ketika menghubungkan soal perbedaan pendapat di tubuh TNI-Polri terkait dengan pemindahan ibu kota dihubungkan dengan radikalisme dan anti demokrasi saya tidak sepaket dan sepakat dalam hal ini," jelas Prof. Suteki.
Ia menegaskan, dengan pengalaman tahun 2018-2019, kayaknya tahun 2020 dan seterusnya kehidupan alam demokrasi masih suram. Ia melihat, di bidang politik, rezim akan tetap mengangkat isu radikalisme.
"Ternyata benar bukan, hingga detik ini, tahun 2022, isu radikalisme tetap menjadi kambing hitam. Serangannya akan semakin gencar! Hal itu yang secara tegas saya katakan di hadapan sekitar 200 peserta yang memenuhi ruangan diskusi di Jakarta tahun 2019. Isu radikalisme ini akan terus ‘digoreng’ karena ketentuan tentang radikalisme itu hingga kini belum jelas. Sehingga isu ini bisa disebut obscure (kabur) dan lentur," bebernya.
Ia mengamati, ASN, TNI-Polri dan juga ‘kampus’, ulama menjadi sasaran tembak isu radikalisme yang lebih empuk. Hal itu, ia katakan, bukan hanya karena ia sebagai korban persekusi rezim, tetapi juga berdasar pada pernyataan Peneliti Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Ward Berenschot.
"Secara tegas saya katakan bahwa rumusan tentang radikalisme itu masih obscure dan juga lentur akhirnya nanti akan dipakai secara legal dan konstitusional untuk menggiring bahkan sampai menggebuk orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah," pungkasnya.[] Ika Mawarningtyas
0 Comments