TintaSiyasi.com -- Pengamat Peradaban Prof. Dr. -Ing. Fahmi Amhar berbicara demokrasi sudah berubah menjadi oligarki, ketika yang punya kemampuan di dalam adalah orang-orang yang memiliki modal yang kuat.
"Ketika yang punya kemampuan di dalam itu adalah orang-orang yang memiliki modal yang kuat atau orang-orang yang punya posisi politik yang kuat atau yang bisa menggabungkan keduanya. Maka, sebenarnya kita tidak lagi bicara demokrasi asli. Tetapi, kita bicara yang namanya demokrasi oligarki,” katanya di YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data dalam FGD ke-44 PKAD: IKN dan Wadas Tanda Bobroknya Demokrasi Liberal dan Menguatnya Diskursus Khilafah, Sabtu (19/02/2022)
"Dalam pelaksanaannya demokrasi itu sangat dipengaruhi oleh siapa yang menjadi pemimpin di dalamnya. Siapa yang punya hak bicara di dalamnya," imbuhnya.
Ia menuturkan, oligarki itu pada umumnya terbentuk dari orang-orang yang punya kekuatan politik, para penguasa dan orang-orang yang punya modal atau para pengusaha. Ia melihat, mereka bersinergi karena dengan dua kekuatan tersebut. "Seperti, orang biasa membiayai berdirinya partai, membiayai operasional dari sebuah partai, pembentukan opini di media sosial bahkan di media mainstream. Juga bisa membeli koran dan TV. Orang bisa membayar beberapa intelektual, beberapa ulama, bahkan untuk bicara sesuatu untuk memberikan fatwa-fatwa atau keterangan," bebernya.
“Ini adalah satu hal keniscayaan, ketika dalam demokrasi itu sebuah proses katanya dilakukan secara bersama-sama, tetapi pada kenyataanya tidak mungkin bersama-sama,” tegasnya.
Ia membandingkan, dilematisnya demokrasi di negeri-negeri Muslim. Dilematisnya, yakni, di negeri Muslim yang ada saat ini, satu sisi negeri-negeri yang otoriter, sangat tidak ada demokrasi di sana. Misalkan, di Saudi Arabia, di Suriah, di negara-negara Arab banyak tidak demokrasi, biasanya buruk.
“Mereka yang otoriter itu mengklaim, mereka Tuhan di dunia. Mereka merasa paling tahu agama dan tidak membuka ruang publik untuk berdiskusi pada pengambilan keputusan. Seperti di Arab Saudi sekarang yang dibuka liberalismenya, boleh konser musik, boleh ada alkohol dan sebagainya. Tetapi, pengambilan keputusan tidak didiskusikan dengan masyarakat, bahkan juga dengan para ulama," terangnya.
Kemudian, ia memaparkan keadaan negeri yang pakai demokrasi juga sangat buruk yang ditimbulkan oligarki. “Kenapa demikian, karena ini menunjukkan bahwa ini ada yang salah. Yaitu, ketika mereka percaya bahwa demokrasi itu pasti membawa kebaikan. Jadi, kita harus ingat bahwa di negeri yang tampaknya demokrasi tidak membawa kezaliman, seperti di Jepang, di Swiss, di Finlandia, di New Zealand, di negeri yang aman tentram damai tidak ada gejolak disana,” bebernya.
Sebab, ia menjelaskan orang Islam yang tinggal di sana juga merasa tidak punya masalah. Sebenarnya di sana punya masalah juga, misalnya di negeri-negeri itu orang khawatir bahwa beberapa dekade mendatang mereka akan punya masalah pada terlalu banyaknya lansia dan terlalu sedikitnya orang di usia produktif. Angka kelahiran menyusut, di Jepang, di Finlandia itu orang sudah khawatir. Mungkin satu abad lagi sudah tidak ada orang Jepang. Demikian juga orang-orang Finlandia mungkin sudah habis.
“Itu karena orang-orang mereka itu sudah malas untuk punya anak, bahkan malas berkeluarga. Kenapa kok malas, karena merasa mereka sudah punya tabungan yang cukup dan negara memberikan jaminan sosial yang aman semua punya pensiun, jadi untuk apa punya anak,” imbuhnya.
“Anak nanti kan diharapkan nanti sudah pensiun. Negara sudang ngasih pensiun untuk apa punya anak. Kemudian juga anaknya sendiri merasa sekolah dijamin oleh negara untuk apa berterima kasih pada orang tua. Yang membiayai negara, bukan orang tuanya. Itu persoalannya yang laten di sana itu,” tambahnya.
Ia menegaskan lagi, demokrasi berbeda dengan dengan Islam. Kalau Islam ada syariat-syariat yang memang sudah disiapkan bahwa menikah itu sunah. Bahwa tarbiyatul aulad dan birrul walidaini suatu amal shalih yang luar biasa dan sebagai itu, sudah bisa ditawar. Karena tadi, karena ada hal-hal yang disakralkan.
“Jadi, kalau demokrasi itu tidak boleh bawa-bawa agama. Islam justru harus menerapkan Islam. Kalau enggak boleh bawa agama, yang umat agama lain silahkan. Kalau tidak harus bawa Islam, itu suatu hal yang berbeda,” pungkasnya.[]Sri Nova Sagita
0 Comments