TintaSiyasi.com -- Merespons viralnya permintaan penghapusan 300 ayat Al-Qur'an, Pengamat Politik Islam Dr. Ryan, M.Ag. mengatakan, dalam dimensi syariah penista Al-Qur'an layak dihukum mati.
"Dalam dimensi syariah, penista Al-Qur'an layak dihukum mati," ungkapnya dalam Kajian Siyasi: Ada Apa di Balik Permintaan Penghapusan 300 Ayat Al-Qur'an di YouTube Ngaji Shubuh episode 690, Senin, (21/02/2022).
Ia mengungkapkan, seorang yang murtad bernama Pendeta Saipudin Abraham meminta 300 ayat Al-Qur'an dihapus. “Dia adalah seorang Muslim, lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Terlahir dari keluarga Muslim, ayahnya guru agama, pamannya tokoh penting di organisasi Islam di Bima. Kemudian, di tahun 2006 dia pindah ke agama Kristen, dan mengganti namanya menjadi Abraham bin Moses.
"Abraham menyampaikan sejumlah siaran di YouTube yang intinya justru bertentangan dengan Islam. Tahun 2017 pernah ditangkap atas kasus ujaran kebencian menghina Nabi Muhammad Shalallahu alayhi Wassalam dengan mengatakan Muhammad melanggar hak Al-Qur'an dan dia mengklaim bahwa hanya dirinyalah kiai yang hapal Al-Qur'an," paparnya.
Lanjut ia katakan, Saipudin divonis 4 tahun di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Sedangkan, kini dia pun sedang dalam proses pelaporan kasus terbarunya.
"Saipudin mengajukan penghapusan ayat melalui Kementerian Agama. Kemudian Kemenag melalui Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag mengatakan bahwa Menteri Agama Yaqut tidak mengenal pendeta tersebut," ucapnya.
Ia mengungkapkan, Mahfud MD kemudian merespons hal tersebut karena sudah membuat gaduh dan meminta kepolisian segera menyelidiki YouTube dan menutup akunnya. "Karena kabarnya, sampai hari ini masih beredar. Sebetulnya, dari sini Mahfud MD sudah memberikan rambu-rambu yang mengatakan bahwa pernyataan Abraham sudah memprovokasi, menyesatkan, dan mengadu domba," ungkapnya.
"Dalam Penetapan Presiden No. 2 tahun 1962 tentang penodaan agama dengan ancaman hukuman 5 tahun. Sehingga, dari sini kerangka hukumnya sudah mulai kelihatan dari aturan tersebut," jelasnya.
Ia menambahkan, dari Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Amirsyah Tambunan menjelaskan bahwa tindakan pendeta tersebut terkategori sebagai penodaan dan penistaan agama.
"Jadi, dalam keputusan ijtimak Komisi Fatwa MUI ke 7 tahun 2021 bahwa penodaan agama tidak terbatas pada poster, karikatur, gambar, dan sejenisnya. Dari pernyataan konten, ujaran kebencian, video yang di-publish ke media cetak dan media sosial, media elektronik, serta pernyataan di muka umum dan media," tambahnya.
Ia mengutip pendapat Pakar Hukum Prof. Suteki, (20/03/2022), yang menyatakan kasus penistaan agama adalah serious crime (kejahatan serius) dan sudah memenuhi alat bukti. "Pertama, pesantren sumber radikalisme; kedua, penghapusan 300 ayat Al-Qur'an. Kerangka hukumnya PNPS (UU) No 1/1965, UU IT KUHP Pasal 156 dan 156 A," bebernya.
"Sebenarnya, dalam kerangka hukum sudah selesai tinggal dieksekusi saja. Apalagi jika bicara dalam dimensi syariah, pertama, hukuman mati bagi penista Al-Qur'an dan penghina Nabi Saw. Kedua, pelaksanaan negara (khilafah). Dalam konteks ini tidak lagi ada keraguan dalam memproses," katanya.
Ia menjelaskan, bagi Muslim atau nonMuslim, jika melakukan penghinaan terhadap Al-Qur'an, kalau Muslim, ia telah murtad dan jika dalam 3 hari tidak kembali kepada Islam, maka ia layak mendapat hukuman mati. "Begitupun nonMuslim, sama hukumannya, yaitu mati berdasarkan kesamaan kedudukan Muslim dan nonMuslim dalam negara Islam, yaitu khilafah," jelasnya.
Kemudian, Rian menambahkan dengan mengutip sebuah hadis riwayat Imam Bukhari
من بدل دينه فاقتلوه
Barang siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.
"Tetapi, yang berhak menentukan hukuman bagi penista agama bukan individu atau kelompok, melainkan imam atau khalifah, maupun wakilnya dalam negara khilafah. Setelah imam melakukan proses pembuktian di peradilan dan melakukan istifadah atau meminta terpidana bertaubat. Tetapi, jika tidak mau bertaubat, maka hukumannya mati," pungkasnya.[] Nurmilati
0 Comments