Pengamat Politik: Diduga Ada Malaadministrasi pada Penambangan Wadas

TintaSiyasi.com -- Menyoal penambangan Wadas, Pengamat Politik Islam Dr. Riyan, M.Ag. mengungkapkan adanya dugaan malaadministrasi penambangan di Wadas. "Penambangan di Desa Wadas diduga ada malaadministrasi," ungkapnya dalam Kajian Siyasi: Ada Apa di Balik Prahara Desa Wadas? di YouTube Ngaji Shubuh episode 656, Senin (14/02/2022).

Ia mengatakan, jika ditelisik ke belakang, sekitar tahun 2020, sebuah media memberitakan penambangan batu andesit di Purworejo diadukan ke Ombudsman. Intinya, para warga mengadukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo karena mengeluarkan surat perpanjangan izin penambangan.

"Selain itu, yang pernah diadukan adalah Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) selaku pemrakarsa dari bendungan, kemudian PT Pembangunan Perumahan YKP (PTPP YKP) sebagai pemenang paket tiga, dan PT Wiratama sebagai subkontrak dari PTPP YKP," lanjutnya.

Riyan menerangkan bahwa menurut warga yang diwakili oleh Pak Rohman, dalam penambangan tersebut ada malaadministrasi pertambangan. "Namanya penambangan, seharusnya tunduk pada Undang-Undang Pertambangan nomor 3 Tahun 2020. Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 539-29 Tahun 2020 tentang perpanjangan atas penempatan lokasi pengadaan tanah bagi pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo," terangnya.

Ia menyayangkan, jika mengacu pada proyek strategis, yaitu Proyek Strategis Nasional, seharusnya yang digunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 tentang tanah untuk kepentingan umum, dan hal tersebut dianggap tidak realistis karena pasal 10 dari undang-undang tersebut tidak menyebut bahwa tanah yang digunakan untuk kepentingan umum.

"Intinya, jika mau melakukan penambangan, harusnya mengikuti Undang-Undang Pertambangan, jangan menggunakan Undang-Undang Tanah untuk kepentingan umum. Jadi, ceritanya mau mengambil tanah di suatu lahan, padahal di tanah tersebut mengandung batu-batuan," ungkapnya.

Dijelaskannya, intinya adalah pertambangan, bukan sekadar mengambil tanah. "Jika hanya mengambil satu atau dua truk, baru bisa dikatakan bukan penambangan," tuturnya.

Ia mengatakan, pada konteks tersebut, masyarakat yang didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH), mengetahui tentang wilayah izin usaha pertambangan dan Izin Usaha Penambangan (IUP) karena memang penambangan tersebut belum berjalan pada saat tahun 2020.

"Maka, dari sinilah kemudian warga menolak penambangan tersebut. Sebab, jika dilihat dari sisi hukumnya, warga mengacu kepada Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Purworejo yang menyebutkan bahwa Kecamatan Bener sebetulnya peruntukannya untuk perkebunan, bukan pertambangan," paparnya.

Ia menambahkan, Desa Wadas terkategori wilayah rawan bencana alam, seperti longsor. Bayangkan jika nanti dijadikan daerah pertambangan, apalagi teknis pengambilannya dengan metode blasting, yaitu peledakan dengan dinamit yang dalam beberapa informasi, kedalaman ledakan mencapai 40 meter. Selain itu, metode tersebut berpotensi hilangnya mata air, menyebabkan banjir, sedimentasi, dan tanah longsor.

Menurutnya, luas Desa Wadas kurang lebih 400 hektar, dan lahan yang dibebaskan rencananya seluas 114 hektar, meski datanya ada perubahan. Sedangkan lahan yang akan ditambang sekitar 64 hektar. Data tersebut sesuai dengan yang ada di documentary dengan judul Wadas Waras.

"Maksud dari Wadas Waras adalah penduduk Desa Wadas ini berusaha menjaga kewarasan agar jangan sampai kemudian mereka menjadi objek pembangunan yang justru sebenarnya tidak mengarah kepada mereka," tuntasnya.[] Nurmilati

Baca Juga