Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Khilafah bukan Khayalan, Aceh Bagian dari Kekhilafahan


TintaSiyasi.com -- Dalam mengupas Film Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN) bagian Aceh, Guru Sejarah Rizka Andriani, S.S. mengungkapkan bahwa khilafah bukan khayalan dan Aceh bagian dari kekhilafahan. 

"Khilafah itu bukan khayalan dan Aceh adalah bagian dari kekhilafahan," ungkapnya dalam acara Diskusi Publik bertajuk Jejak Kemuliaan Aceh: Refleksi Politik Aceh dan Khilafah Utsmani, Minggu (20/02/2022) di Hotel Meuligoe Aceh. 

Rizka mengatakan bahwa khilafah pernah tegak di muka bumi selama 1342 tahun, hanya saja kaum Muslim tidak sadar akan hal tersebut. Sepanjang sejarah di masa kekhilafahan, Aceh selalu tunduk kepada sistem pemerintahan khilafah, baik secara kebudayaan, politik, dan intelektualnya berkiblat kepada Islam. 

"Dari sejak Islam muncul, Aceh tetap berkiblat kepada Islam dan tetap menjadikan sistem politiknya adalah politik Islam, secara kebudayaan dan intelektualnya Aceh itu tunduk kepada apa yang disebut kekhilafahan baik itu Khilafah Muawiyah, maupun Abbasiyah dan yang terakhir Utsmaniyah," tuturnya. 

Ia menyebutkan, pengakuan Aceh terhadap khilafah dibuktikan dengan adanya peninggalan stempel bertuliskan angka 9 yang menunjukkan khalifah bagi umat Islam ada di Istanbul. 

"Kemudian pengakuan Aceh terhadap Khilafah Turki Utsmani. Pada saat itu yang paling dekat adalah cap sikureung (cap sembilan), di tengah-tengah stempel itu mengatakan, khalifah kaum Muslim berkedudukan di Rum atau Istanbul yang kita kenal hari ini," jelasnya. 

Ia menerangkan, keterkaitan Aceh dengan kekhilafahan Turki juga dapat dilihat dari jejak peninggalan sejarah museum yang menjadi basecamp militer bagi generasi Muslim di Aceh. 

"Di Banda Aceh itu ada semacam museum Turki yang dulunya merupakan tempat di mana Aceh berkonsultasi dengan duta yang dikirim dari Turki dan di situ juga merupakan sebuah basecamp militer yang mendidik putra-putri kaum Muslim yang ada di Aceh untuk menjadi seorang syuhada," terangnya. 

Dari paparannya tersebut ia mencontohkan, perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh sebagai laksamana perempuan nomor satu di dunia. "Salah satu contoh Keumalahayati yang sampai saat ini belum ada yang dapat menggantikan posisi Laksamana Malahayati sebagai Laksamana perempuan nomor satu di dunia," bebernya. 

Ia menegaskan, masyarakat Aceh dulunya sejahtera karena syariat yang diterapkan, dan Sultan sangat memahami tanggung jawabnya sebagai penguasa bagi rakyat di wilayahnya. 

"Kalau hari ini Aceh morat-marit, Aceh disebut termiskin di Sumatera, tetapi kalau berbicara Aceh masa lalu itu sejahtera. Misalnya sultan buat kenduri, maka seluruh wilayah Aceh baik dari mukim 11 dan semua mukim yang ada ikut merasakan kenduri itu. Kenapa, karena sultan memahami bahwa seluruh masyarakat menjadi tanggung jawab penguasa, dan itu karena kuatnya syariat yang diterapkannya," pungkasnya.[] Najwa Alifah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments