TintaSiyasi.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si. menyatakan kepada TintaSiyasi bahwa menimbun barang atau ihtikar mutlak hukumnya haram.
“Ihtikar (menimbun barang) secara mutlak hukumnya haram, baik barang dagangannya berupa bahan makanan pokok (al-quut), seperti beras, atau barang dagangan lainnya seperti BBM,” tegasnya, Jumat (25/03/2022).
Kiai Shiddiq menambahkan, intinya larangan ihtikar meliputi seluruh barang dagangan, baik makanan pokok untuk manusia (quut al-adamiy), makanan pokok untuk hewan (quut ad-dawaab), maupun bukan bukan makanan pokok, baik berupa kebutuhan primer (sandang, pangan, papan); sekunder (TV, HP, kendaraan); atau tersier (mewah atau lux), jam tangan mahal.
“Keharamannya didasarkan pada hadis-hadis Nabi ﷺ yang melarang secara tegas (nahi jazm) terhadap aktivitas ihtikar. Hadis-hadis tersebut mempunyai pengertian yang umum (mencakup segala barang dagangan), dan bersifat mutlak (tanpa ada batasan untuk barang dagangan tertentu),” bebernya.
Menurut ilmu Ushul Fiqih, nas yang umum dan mutlak tetap dalam keumuman dan kemutlakannya, selama tidak terdapat nas yang menjadi takhsis (pengecualian) atau taqyiid (pembatas).
“Dalil-dalil yang mengharamkan ihtikar antara lain, عن سعيد بن المسيب عن معمر بن عبد الله العدوى أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا يحتكر إلا خاطئ, dari Said bin Al-Musayyab ra. dari Mu’ammar bin Abdillah Al Aduwwi, bahwa Nabi ﷺ bersabda, ‘Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang bersalah (berdosa).’,” sitatnya dari hadis riwayat Muslim nomor 1605, Ahmad (6/400), Abu Dawud nomor 3447.
Kiai Shiddiq pun menambahkan syarah Imam Syaukani hadis di atas yang terdapat di dalam kitab Nailul Authar, juz 5 halaman 267, “والتصريح بأن المحتكر خاطئ كاف فى إفادة عدم الجواز لأن الخاطئ المذنب العاصي , ungkapan yang jelas bahwa orang yang menimbun adalah orang yang bersalah, cukuplah untuk menunjukkan tidak bolehnya ihtikar, karena orang bersalah itu maksudnya adalah orang yang berdosa yang berbuat maksiat.”
“Imam Shan’ani mensyarah (menjelaskan) hadis di atas, di dalam kitab Subulus Salam, juz 3 halaman 44, الخاطئ هو العاصي اآلثم ، وفى الباب أحاديث دالة على تحريم االحتكار , ‘Kata ‘orang yang bersalah’ (al-khaathi`) artinya adalah orang yang berbuat maksiat, yang berdosa. Dan dalam bab ini terdapat hadis-hadis yang menunjukkan keharaman ihtikar,” kutipnya.
Dalil lainnya dinukil dari hadis riwayat Thabrani; Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz 5 halaman 266,
, عن معقل بن يسار قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من دخل فى شيء من أسعار المسلمين ليغليه عليهم كان حقا على الله أن يقعده بعظم من النار يوم القيامة Dari Ma’qil bin Yasaar dia berkata, ”Rasulullah ﷺ telah bersabda, ’Barangsiapa mencampuri urusan harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan harganya atas mereka, maka sungguh Allah akan menempatkan dia di suatu tempat di neraka pada Hari Kiamat nanti.”
“Doktor Ahmad Irfah, dalam kitabnya Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah halaman 8, menjelaskan hadis tersebut : دل هذا الحديث على معاقبة من يقدم على ذلك بمكان فى النار ، وال يكون ذلك إال الرتكابه المحرم ‘Hadis ini menunjukkan hukuman bagi orang yang melakukan hal itu [mencampuri persoalan harga kaum muslimin] yaitu akan diletakkan di suatu tempat di neraka. Hal ini tentu tidaklah terjadi kecuali karena dia melakukan sesuatu yang diharamkan.’,” kutipnya.
“Berdasarkan nas-nas hadis ini, jelaslah bahwa keharaman ihtikar bersifat mutlak (tanpa batasan pada komoditas tertentu) dan umum (meliputi segala komodits). Inilah pendapat rajih (kuat), di antara tiga pendapat yang ada di kalangan ulama. Inilah pendapat ulama Malikiyyah, Zhahiriyyah, Imam Abu Yusuf dari mazhab Abu Hanifah, Imam Syaukani, Imam Shan’ani, dan Imam Taqiyuddin An Nabhani,” tandasnya.
Pengertian Ihtikar
Kiai Shiddiq menerangkan, ihtikar adalah mengumpulkan barang dagangan dengan maksud menunggu harganya naik supaya barang dagangan itu dapat dijual dengan harga mahal dalam keadaan menyulitkan masyarakat untuk membelinya.
“Menurut pengertian bahasa (etimologi), ihtikar االحتكار berakar dari kata jadian (mashdar) al-hakru الحَكر atau al-hukru الحُكرُ yang berarti : جمع الطعام ونحوه وإمساكه وحرمان الناس منه , ‘Mengumpulkan makanan atau semisalnya dan menahannya serta mencegah masyarakat darinya.’,” kutipnya dari Ahmad Irfah di Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah halaman 18.
Sedangkan ihtikar menurut pengertian syariah Islam (terminologi), ia menjelaskan, “Menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani di dalam kitab An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam halaman 198, ihtikar adalah mengumpulkan barang dagangan dengan maksud menunggu harganya naik supaya barang dagangan itu dapat dijual dengan harga mahal dalam keadaan menyulitkan masyarakat untuk membelinya.”
“Dari definisi tersebut, yang disebut ihtikar haruslah memenuhi tiga syarat. Pertama, ada aktivitas mengumpulkan barang dagangan; kedua, tujuan aktivitas itu adalah menunggu harganya naik, supaya dapat dijual dengan harga mahal; ketiga, aktivitas itu dilakukan dalam keadaan menyulitkan masyarakat untuk membelinya,” pungkasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Comments