TintaSiyasi.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si. menyatakan kritiknya terhadap pendapat yang membatasi keharaman ihtikar atau menimbun barang yang disampaikan kepada TintaSiyasi, Jumat (25/03/2022). “Ada dua pendapat yang marjuuh (lemah) yang membatasi keharaman ihtikar,” tuturnya.
“Dr. Ahmad Irfah di dalam Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, halaman 13 menyebutkan dua pendapat tersebut,” tuturnya
Pertama, pendapat ulama Syafi’iyyah dan jumhur ulama Hanabilah, yang mengatakan bahwa keharaman ihtikar hanya khusus untuk makanan pokok saja (al-aqwaat). Kedua, satu pendapat dari ulama mazhab Hanabilah, yang mengatakan bahwa keharaman ihtikar hanya khusus untuk makanan pokok manusia saja (quut al-adamiy).
“Kelemahan dua pendapat lainnya tersebut dikarenakan, pertama, hadis yang mereka jadikan dasar merupakan hadis daif (lemah). Kelemahan hadis diterangkan oleh Dr. Ahmad Irfah dalam kitabnya Al Ihtikar Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah 12; kedua, pemahaman (dirayah) terhadap hadis itu juga tidak tepat, andaikata hadis itu shahih. Kekeliruan pemahaman hadis diterangkan oleh Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, halaman 197-199,” urainya.
Kiai Shiddiq menyebutkan hadis riwayat Ibnu Majah nomor 2115 yang dijadikan sandaran antara lain, عن عمر بن الخطاب رضى الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالجذام والإفلاس , Dari Umar bin Khaththab RA dia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ’Barangsiapa menimbun atas kaum muslimin makanan mereka, maka Allah akan memukulnya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan.”
“Kata Imam Syaukani, ‘Dalam hadis Umar di atas ada periwayat hadis bernama Al Haitsam bin Rafi’ , di mana Abu Dawud berkata, ‘Al Haitsam bin Rafi’ meriwayatkan hadis munkar (menyalahi periwayat yang tsiqah).’ Imam Adz Dzahabi berkata, ‘Inilah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, di dalam sanadnya ada periwayat bernama Yahya Al Makki, seorang yang majhuul (tak diketahui identitasnya).” kutipnya dari Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz 5 halaman 266.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, menurut Imam An Nabhani di dalam kitab An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam halaman 198, hadis dengan kata tha’aam (makanan) tidak dapat diamalkan mafhum mukhalafah-nya (pengertian sebaliknya). Artinya, jika ihtikar terhadap makanan dilarang, tidak berarti ihtikar untuk selain makanan dibolehkan. Mafhum mukhalafah-nya tidak dapat diamalkan karena kata tha’aam adalah isim jamid (nama untuk sesuatu tertentu), bukan shifat atau na’at yang mempunyai mafhum mukhalafah.
“Secara teknis, mafhum mukhalafah ini disebut dengan mafhum laqab, yaitu mafhum dari isim jamid li musamma mu’ayyan (isim jamid sebagai nama utk sesuatu tertentu). Misalnya ada ungkapan bahasa Arab : akrim Umar (artinya : muliakan Umar !) Mafhum mukhalafah-nya (mafhum laqab), adalah ‘Jangan muliakan selain Umar!’ Mafhum laqab seperti ini tidak dapat dibenarkan. Demikian pula kata tha’aam dalam hadis-hadis tentang ihtikar, merupakan isim jamid yang tidak dapat ditarik mafhum mukhalafah-nya,” pungkasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Comments