TintaSiyasi.com -- Merespons fatwa kontroversial Mufti Republik Mesir Dr. Syauqi ‘Alam seputar bunga bank yang dirilis media masa di Timur Tengah, Ahad (27/03/2022), Ahli Fiqih Islam Kiai Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si. menyatakan bantahannya terhadap pendapat yang membolehkan bunga bank.
“Tidak semua investasi halal dan penjaminan atas modal justru merusak akad investasi,” bantahnya, Rabu (30/03/2022) kepada TintaSiyasi.
Kiai Shiddiq mengutip fatwa Dr. Syauqi ‘Alam di kanal TV An Nahar Mesir, (27/03/2022),
أَنَّهُ لَا حُرْمَةَ فِي الْإِيدَاعِ وَلَا شُبْهَةَ ، لِأَنّ الْمُعَامَلَات البنكية اسْتِثْمَارٌ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ ، وَهُو اخْتَلَف عَمَّا كَانَ قديمًا ، وَهَذَا الْأَمْرُ حَكَمَهُ قَانُونٌ شَدِيدُ الْوُضُوحِ ، التَّعَامُلَ مَعَ البَنْك لَيْسَ لَهُ عَلاَقَةٌ بِالْقَرْض وَإِنَّمَا اسْتِثْمَار
Tidak ada keharaman atau syubhat dalam menabung di bank, karena transaksi bank adalah investasi (istitsmar) dana masyarakat, yang berbeda dengan apa yang ada dulu. Investasi ini diatur dengan undang-undang yang sangat jelas, yang tak ada hubungannya dengan pinjaman (qardh), karena yang ada hanyalah investasi (istitsmar).
“Dr. Syauqi ‘Alam menambahkan,
أَنَّ التَّعَامُلَ مَعَ الشَّرِكَات الخاضعة لقوانين الدَّوْلَة ، يُمْكِن لِلْمُتَضَرِّر اللُّجوء لِلْقانون واستعادة حَقِّه ، أَمَّا التَّعَامُلَ مَعَ الْأَفْرَاد بِزِيَادَةٍ فِي فَوَائِدِ الْقَرْض ، فَإِنَّهُ عَيْنُ الرِّبَا ، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَخْرُجَ الْقَرْض فِيمَا بَيْنَ الأفْرَادِ
‘Bertransaksi dengan perusahaan yang tunduk pada hukum negara, akan memungkinkan pihak yang dirugikan untuk menempuh jalur hukum dan meminta kembali haknya. Adapun transaksi antar individu dengan tambahan bunga pinjaman, nah itulah riba, dan sebaiknya pinjaman (qardh) tidak dilakukan antar individu.’,” imbuhnya.
Argumentasi Dr. Syauqi ‘Alam menghalalkan bunga bank karena bunga bank merupakan bagian dari investasi (istitsmar) dana masyarakat. “Ini argumen beliau yang rapuh, أنَّهُ لَا حُرْمَةَ فِي الْإِيدَاعِ وَلَا شُبْهَةَ ، لِأَنّ الْمُعَامَلَات البنكية اسْتِثْمَارٌ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ, ‘Tidak ada keharaman atau syubhat dalam menabung di bank, karena transaksi bank adalah investasi (istitsmar) dana masyarakat,” kutipnya.
Ia mengatakan, seakan-akan berbagai macam transaksi dalam investasi (istitsmar) itu halal semua, atau otomatis halal. Faktanya tidak demikian. Investasi (istitsmar) itu sendiri merupakan semua kegiatan untuk mengembangkan harta (tanmiyatul maal), yang dapat saja hukumnya halal dan dapat juga haram.
“Tidak semua investasi halal hukumnya secara syariah, meskipun mungkin ada invetasi yang haram menurut syariah, tetapi mendapat legalitas negara. Contohnya kalau di Indonesia adalah pinjaman online (pinjol). Ada yang legal dan ilegal menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), padahal semuanya haram menurut syarak,” jelasnya.
Ia memperkuat argumennya dengan menyitat pendapat Prof. Dr. Ali As Salus di dalam kitab Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah Al Mu’ashirah halaman 226 yang mengkritik orang yang membuat kategori investasi (istitsmar) sebagai satu jenis saja dan semuanya dihukumi halal.
“Kata Prof. Dr. Ali As Salus,
لَيْس الْاِسْتِثْمَارُ نَوْعًا وَاحِدًا ، وَعَقْدَا وَاحِدًا ، لَهُ أَدِلَّتُهُ وَصِيَغُهُ وَآثآرُهُ وَشُرُوْطُهُ وَهَكَذَا ، كَالْقَرْضِ وَالدَّيْنِ وَالْوَدِيْعَةِ ، ….إنَّمَا هُوَ أَنْوَاعٌ ، يُنْظَرُ إلَى كُلِّ نَوْعٍ بِحَدِّةِ
‘Investasi (istitsmar) itu tidak satu jenis saja, atau satu akad saja. Investasi itu banyak macamnya, masing-masing ada dalil-dalilnya, redaksi-redaksi akadnya, akibat-akibat hukumnya, syarat-syaratnya, dan seterusnya. Misalnya, ada akad qardh (pinjaman), utang piutang, atau titipan. Jadi ada macam-macam akad investasi. Masing-masing jenis harus dipahami secara tersendiri.’,” kutipnya.
“Itulah kekeliruan fatal Dr. Syauqi ‘Alam, menghalalkan bunga bank karena menganggap investasi (istitsmar) itu kategorinya hanya satu jenis saja, dan semua investasi otomatis dianggap halal,” tegasnya.
Kiai Shiddiq memaparkan bahwa fakta investasi itu bermacam-macam bidang usahanya. Ada investasi di bidang produksi khamar (minuman keras), peternakan babi, prostitusi, pornografi, perjudian, dan di bidang narkoba.
“Lalu, apakah semua bidang investasi itu halal hanya karena semuanya merupakan investasi? Tidak bukan?,” tanya retoris.
Selanjutnya, terkait fatwa Dr. Syauqi ‘Alam yang menghalalkan bunga bank, karena ada penjaminan oleh bank untuk tabungan yang disetor oleh nasabah, padahal adanya penjaminan tersebut justru merusak akad yang ada.
“Perhatikan argumennya,
أَنَّ التَّعَامُلَ مَعَ الشَّرِكَات الخاضعة لقوانين الدَّوْلَة ، يُمْكِنُ لِلْمُتَضَرِّرِ اللُّجُوْءُ لِلْقانون واستعادةُ حَقِّه ، أَمَّا التَّعَامُلَ مَعَ الْأَفْرَادِ بِزِيَادَةٍ فِي فَوَائِدِ الْقَرْضِ ، فَإِنَّهُ عَيْنُ الرِّبَا ، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَخْرُجَ الْقَرْض فِيمَا بَيْنَ الأفْرَادِ
‘Sesungguhnya bertransaksi dengan perusahaan yang tunduk pada hukum negara, akan memungkinkan pihak yang dirugikan untuk menempuh jalur hukum dan meminta kembali haknya.’,” sitatnya.
Dalam dunia perbankan, peluang pengembalian tabungan, dimungkinan karena ada penjaminan dari pihak bank. Adanya penjaminan (الضَّمّانُ) tersebut, maka setoran uang dari nasabah akan berubah sifatnya.
“Setoran yang semula dihukumi sebagai modal (ra`sul maal) dalam akad syirkah (kerjasama usaha antar nasabah dengan bank), akan berubah menjadi pinjaman (qardh), karena ada penjaminan,” ujarnya.
Seharusnya, dalam akad syirkah, tidak boleh ada penjaminan yang diberikan oleh pihak pengelola modal (bank), yakni jika terjadi kerugian, maka modal dijamin oleh bank akan dikembalikan kepada nasabah. Hal tersebut tidak boleh secara syariah.
Kiai Shiddiq menuturkan pendapat ahli keuangan syariah, “Dr. Sami Suwailim pernah ditanya, ‘Bagimanakah hukumnya jika ada lembaga keuangan yang menerima setoran modal dari investor, lalu mengelola modal investor, dan lembaga keuangan itu memberikan jaminan terhadap modal tersebut?” Dr Sami Suwailim menjawab,
إذَا كَانَ الضَّامِنُ هُوَ نَفْسُ الْمُؤَسَّسَةِ الَّتِي تَتَوَلَّى إدَارَةَ الاسْتِثْمَارِ ، فَهَذَا التَّعَامُل مُحَرَّمٌ وَلَا يَجُوزُ ، وَذَلِكَ أَنَّ الْمُؤَسَّسَةَ تَقْبِضُ الْمَالَ مِنْ الْمُسْتَثْمِر وَتَضَمَّنَهُ لَهُ ، مَع الْتِزَامِهَا بِإِدَارَة الْمَالِ ، وَإِضَافَة مَا قَدْ يَتَحَقَّقُ مِنْ رِبْحٍ إلَى رَصِيْدِ الْمُسْتَثْمِرِ بِحَسَبِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ . وَقَبْضُ الْمَالِ ، مَعَ ضَمَانِهِ لِصَاحِبِهِ : فِي حَقِيقَتِهِ قَرْضٌ .
‘Jika penjamin adalah lembaga yang sama yang mengelola investasi, maka transaksi ini diharamkan dan tidak diperbolehkan. Hal ini karena lembaga tersebut menerima modal dari investor dan menjamin modal itu bagi investor, dengan perjanjian bahwa lembaga akan mengelola modal tersebut dan berhak mendapat keuntungan sesuai kesepakatan dengan pihak investor. Padahal ketika lembaga tersebut menerima setoran modal, seraya memberikan penjaminan modal itu kepada investor, maka hakikatnya akad itu adalah pinjaman (qardh).” kutipnya.
“Jika dana yang disetor itu statusnya sudah berubah dari modal menjadi pinjaman (qardh), karena ada penjaminan dari pihak pengelola modal (bank), maka konsekuensi hukum selanjutnya, keuntungan yang diperoleh dari pinjaman itu tentu bukanlah laba (profit), melainkan riba. Jadi, yang seharusnya adalah investor harus siap menanggung kerugian,” bebernya.
Hal itu sesuai sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, الخَرَاجُ بِالضَّمَانِ, bahwa keuntungan itu diimbangi dengan kesiapan menanggung risiko kerugian yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan ungkapan no gain without risk.
“M. Mushthofa Az Zuhaili di dalam kitab Al Qawaid Al Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi Al Mazhahib Al Arba’ah, 1/543 menyebutkan kaidah fiqih, الغُرْمُ بالغُنْمِ, ‘Kesiapan menanggung kerugian diimbangi dengan hak memperoleh keuntungan.’,” tandasnya.
Investasi Halal
“Tidak semua investasi itu halal hukumnya. Investasi itu ada yang halal, ada yang haram. Terdapat setidaknya 4 (empat) kriteria untuk investasi yang halal,” ujarnya.
Pertama, bidang usaha investasi itu haruslah halal. “Tidak boleh bidang usahanya haram, seperti simpan pinjam ribawi, produksi miras, prostitusi, narkoba, dan sebagainya,” urainya.
Kedua, mengamalkan akad syirkah (kerjasama bisnis), atau akad-akad syar’i lainnya, dengan memenuhi segala rukun-rukun dan syarat-syaratnya. “Ketiga, tidak ada penjaminan modal oleh pihak pengelola modal. Investor harus siap menanggung kerugian,” lugasnya.
“Keempat, bagi hasilnya dinyatakan dalam bentuk persentase dari laba (profit sharing), bukan dinyatakan dalam persentase dari modal, atau dalam bentuk lump sum (jumlah nominal tertentu yang fixed),” pungkasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Comments