Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Begini Prof. Suteki Memaknai Bangunan Hukum


TintaSiyasi.com -- Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki S.H., M,Hum. mengungkapkan bahwa bangungan hukum terdiri dari empat aspek. "Kalau kita bicara tentang hukum, saya memaknainya sebagai sebuah bangunan hukum yang terdiri dari empat aspek," ujarnya dalam acara Ekspo Rajab 1443 H bertajuk Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam, Ahad (27/02/2022) secara daring di ExpoRajab.com.

Pertama, adalah aspek ideologis. Kedua, adalah aspek peraturan hukum. Ketiga, adalah struktur masyarakatnya, dan keempat, menyangkut aspek fisik, terkait juga tentang kelembagaannya,” bebernya.

"Nah, ketika misalnya kita mengubah, kalau saya lihat dari empat aspek ini, maka yang utama adalah persoalan ideologi dulu," katanya.

Ia menjelaskan, begitu ideologi sebagai domain tertinggi tersebut berubah, maka otomatis akan mengubah segala hal yang telah disebut diatas, yaitu persoalan peraturannya, strukturnya, masyarakat lainnya, termasuk aspek fisik kelembagaan.

"Taruhlah kita mengubah dari Islam ke kapitalisme ataupun pun sosialisme, ini nanti akan mempengaruhi persoalan peraturan dan kita pahami Islam sebagai mabda yang more than, yaitu melebihi dari ideologi yang dibikin oleh manusia," jelasnya.

Ia melanjutkan, peraturan semula syariah oriented, otomatis kemudian mengarah kepada persoalan sekular oriented . "Jadi, sudah mengarah pada hukum-hukum atau peraturan yang sifatnya sekuler, yaitu yang memisahkan antara kehidupan duniawi dengan kehidupan ukhrawi, itu dipisah betul," lanjutnya

Menurutnya, bahkan akan memisahkan urusan pemerintahan dengan agama. "Orang sering mengatakan, 'Loh, kita kan bukan negara agama.' Tetapi, kita ini Indonesia sebagai religious nation state. Kalau kita ngomong Pancasila yang sudah 24 tahun, hampir seperempat abad saya mengajar itu dan sekarang dilarang karena dianggap radikal tadi," ucapnya.

"Sila pertama jelas, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, itu kalau dalam bahasa hukum ada namanya leicester atau bintang pemandu. Nah, tadi kan ada namanya yang dipilih oleh ideologi Islam kemudian masuk ke hukum, itu sebagai sebagai leicester atau bintang pemandu," imbuhnya.

Ia memaparkan, ketika hukum Islam sudah berubah menjadi hukum yang sekuler, apalagi ditambah dengan demokrasi, maka hukum tersebut tidak lain hanya konsensus (kesepakatan). "Apalagi kalau kita mengenal namanya numeric demokrasi atau number. Jadi, demokrasi kita berupa angka-angka. Sehingga hukum yang dibikin apa, yang awalnya syariah oriented, berubah menjadi orientasi pada kesepakatan, kepentingan-kepentingan," paparnya.

Ia mengungkapkan bahwa siapa yang memiliki kepentingan besar kemudian didukung oleh sumber daya yang cukup kuat, maka hukum tersebut akan tunduk di bawah kekuasaannya. "Ya, kalau sekarang ngomong ada oligarki begitu ya, ada peng-peng, pengusaha dan penguasa itu sudah menyatu," ungkapnya.

Ia membeberkan, tentang persoalan struktur sosial juga berubah, dari ummatan wahidah menjadi nation state. "Ummatan wahidah yang saya maknai umat yang satu. Katanya menjadi satu tubuh, tetapi kalau kita lihat sekarang menjadi nation state. Jangankan antar negara yang satu dengan yang lain, kelompok yang ada dalam Islam antara HTI, FPI, Persis, NU, Muhammadiyah itu beda-beda, benderanya saja beda," bebernya.

Kemudian ia menanyakan, apa boleh perbedaan bendera tersebut, tentu saja boleh, tapi semestinya ada satu bendera yang mengikat yang kita kenal dengan bendera Rasulullah Shalallahu 'alayhi Wassalam, yaitu al-liwa dan ar-raya.

"Kalau begitu, kemarin juga ada demo yang terkait Menteri Agama yang menganalogikan antara suara azan dengan gonggongan anjing itu yang kemudian menjadi kontroversi. Di demo itu, ada yang menbawa bendera al-liwa kemudian langsung muncul statement, 'Ah itu, berarti siapa yang dibalik demo itu sudah ketahuan, yaitu HTI.’,” katanya.

Ia menegaskan bahwa bendera Rasulullah Shalallahu 'alayhi Wassalam adalah bendera kaum Muslim. "Kalau perlu NU, Muhammadiyah juga bisa mengibarkan bendera al-liwa ar-raya. Seperti yang saya tanyakan tadi, jangankan ngomong nation state, ngomong kelompok-kelompok di dalam saja kita bercerai-berai dan bahkan saling menuduh. Satu hal yang mestinya tidak perlu dilakukan, itu yang ketiga" sesalnya.

Menuju pembahasan keempat, yaitu dari sisi kelembagaan hukum. Ia menuturkan, Hukum dengan hukum Islam sangat simpel berbeda dengan hukum nasional. 

"Kalau kita ini hukum nasionalnya itu rumitnya bukan main. Ada pengadilan tingkat pertama, ada kedua, ada ketiga. Satu kasus itu bisa 5 sampai 10 tahun baru kelar, apalagi masalah perdata," tuturnya.

Ia membandingkan, kalau mengikuti ajaran Islam, maka pengadilan cukup satu. "Kadang saya mikir juga, bagaimana kalau di Indonesia pengadilan juga cukup satu, tetapi berikan hakim yang betul-betul hebat. Hakim itu harus dididik betul-betul menjadi hakim yang ahli surga," pungkasnya.[] Nabila Zidane
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments