Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Prof. Fahmi: Salah, jika Percaya Demokrasi Membawa kebaikan


TintaSiyasi.com -- Prof. Dr. -Ing. Fahmi Amhar, Pakar Peradaban dan Ahli Pemetaan Tata Ruang mengatakan bahwa mempercayai demokrasi pasti membawa kebaikan merupakan suatu kesalahan. 

"Percaya bahwa demokrasi pasti membawa kebaikan, itu sudah salah," ungkapnya dalam acara Focus Group Discussion ke-44: IKN dan Wadas Tanda Bobroknya Demokrasi Liberal dan Menguatnya Diskursus Khilafah, Sabtu (19/02/2022) di YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data. 

Prof. Fahmi menjelaskan, di negeri yang tampaknya demokrasi tidak membawa kezaliman, seperti di Jepang, Swiss, Finlandia, New Zealand, di mana nampak aman, tentram, damai, enggak ada gejolak. Bahkan, orang Islam yang ada di sana pun enggak merasakan ada masalah, sejatinya di sana punya masalah juga. 

"Masalah mereka misalnya, di negeri-negeri itu, orang khawatir bahwa beberapa dekade mendatang, mereka akan punya masalah, yaitu terlalu banyaknya lansia dan terlalu sedikitnya orang  berusia produktif. Angka kelahiran menyusut," paparnya. 

Ia memperkirakan, seabad lagi enggak ada orang Jepang, sudah habis. Demikian juga orang Finlandia, mungkin sudah habis. "Itu karena orang-orang mereka sudah malas untuk punya anak dan malas berkeluarga. Kenapa? Karena merasa sudah punya tabungan yang cukup. Negara juga memberikan jaminan sosial yang aman. Semua punya pensiun. Jadi, untuk apa punya anak? Ini menjadi persoalan laten di sana," imbuhnya.  

Diterangkannya, dalam pelaksanaannya, demokrasi  sangat dipengaruhi oleh siapa yang menjadi pemimpin di dalamnya, siapa yang punya hak bicara di dalamnya. "Ketika yang punya kemampuan bicara di dalamnya adalah orang-orang yang memiliki modal yang kuat, atau orang-orang yang punya posisi politik yang kuat, atau yang bisa menggabungkan keduanya, maka sebenarnya kita tidak lagi bicara demokrasi an sich. Maka kita bicara yang namanya demokrasi oligarki," terangnya. 

Lebih lanjut Prof. Fahmi menjelaskan, kadang-kadang demokrasi hasilnya bisa baik, atau bisa juga sangat buruk. Sangat tergantung dari orang-orangnya. "Jadi, sebuah sistem yang tidak memiliki apa ya namanya built in control," ujarnya. 

Menurutnya, bisa terjadi di suatu negara, ketika orang-orangnya punya kesadaran yang cukup baik, demokrasi tidak menimbulkan hal yang buruk. Misalnya di Jepang, Swiss,  New Zeland, Finlandia. Demokrasi di sana tidak terlalu buruk hasilnya. Tidak ada kezaliman di masyarakat. 

"Tapi ada juga, di Filipina atau Colombia, atau yang lain, demokrasi sangat buruk hasilnya. Karena tadi, terbentuk oligarki. Dan kita jangan lupa, di Amerika pun, negara biangnya demokrasi, di sana demokrasi berakibat sangat buruk," paparnya. 

Ia mencontohkan, di beberapa negara bagian di Amerika, hasil demokrasi sangat buruk. Ada beberapa orang yang terpinggirkan. Mereka tidak mendapatkan jaminan sosial dan jaminan kesehatan. Bahkan, ada puluhan juta orang di bawah garis kemiskinan, yang hanya bisa berobat sekali dalam setahun, yaitu ketika ada yayasan sosial mengadakan bakti sosial dan pengobatan gratis. 

"Belum lagi, kita bicara di Amerika pun demokrasi bisa melahirkan pemimpin seperti Donald Trump. Dia itu Covid denial, sehingga 1,5 juta rakyatnya mati karena covid. Sesuatu yang harusnya bisa dicegah di negara semaju itu," ujarnya. 

Ia melanjutkan, demokrasi di Amerika juga melahirkan pemimpin seperti George Bush yang membuat malapetaka di Irak dan Afghanistan dengan politik luar negerinya, yang disetujui juga secara demokratis, setelah dia terpilih ulang dalam dua kali masa jabatan presiden. "Oleh DPR-nya dikasih uang untuk perang itu. Ini kan contoh bahwa demokrasi bisa sangat buruk," pungkasnya.[] Binti Muzayyanah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments