TintaSiyasi.com -- Mencuatnya polemik penambangan batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Direktur Pamong Institute Wahyudi al Maroky menganjurkan untuk menarik pelajaran dari kisah seorang Yahudi tua di Mesir yang terjadi masa Kekhilafahan Umar bin Khattab.
“Dari kisah tersebut (penyelesaian konflik Yahudi tua dan Wali – setingkat gubernur- Amr bin Ash pada masa Kekhilafahan Umar bin Khattab) dapat kita tarik beberapa pelajaran,” tuturnya kepada TintaSiyasi, Selasa (15/02/2022)
Pertama, tidak boleh sewenang-wenang dengan kewenangan yang dimiliki. “Setinggi apa pun jabatan dan pangkat, kelak akan mati dan hanya menjadi tulang belulang. Bahkan, sekadar masuk kubur pun masih perlu bantuan orang lain. Ketika dalam kubur pun masih perlu doa yang baik dari orang lain. Bagaimana jika yang datang itu doa keburukan dari orang-orang yang dizalimi?” ujar Wahyudi.
Kedua, tiap hak dikembalikan kepada yang berhak. Jangankan tanah milik warga desa, milik satu warga pun tetap harus dijaga haknya dan tak boleh dirampas. “Belajarlah pada sikap Khalifah Umar dan Gubernur Amr bin Ash yang memang hadir untuk melayani rakyat dengan tulus dan sangat takut kepada Allah Ta’ala jika tidak adil. Bukan sekadar pencitraan, tetapi zalim kepada rakyat,” lugasnya.
Ketiga, rakyat akan mudah berpartisipasi, bahkan menyumbangkan miliknya dengan murah hati, karena keteladanan para pemimpinnya yang baik hati. “Sebagaimana kisah si Yahudi yang akhirnya menyumbangkan tanahnya secara gratis karena keteladanan para pemimpin. Akankah sejarah berulang, seorang kepala negara mengirim sepenggal tulang pada gubernurnya?” tanyanya.
“Lalu, bagaimana semestinya pemerintah menghadapi sikap penolakan warga? Apakah boleh memaksa dengan dalih untuk kepentingan proyek tertentu?,” ucapnya.
Wahyudi mencoba membandingkan bagaimana sebuah proyek untuk kepentingan rakyat Mesir di masa dulu. “Kala itu proyeknya menggusur tanah milik seorang Yahudi tua. Si Yahudi itu kemudian mengadukan kepada Khalifah Umar. Bagaimanakah respons Khalifah Umar? Apakah menyatakan sudah sesuai prosedur dan tidak ada pelanggaran hukum? Kisah tersebut termuat dalam buku yang berjudul The Great of Two Umars,” tuturnya.
“Sejak menjadi Gubernur Mesir, Amr ibn al-Ash menempati sebuah istana megah yang di depannya terhampar sebidang tanah kosong dan terdapat gubuk milik seorang Yahudi tua. Gubernur Mesir kala itu langsung dibawah kepemimpinan Khalifah Umar. Jika disetarakan posisinya mirip dengan para sultan di Nusantara sebagai penguasa wilayah kala itu. Saat ini Mesir dipimpin oleh presiden,” kisahnya
Singkat cerita, Yahudi tua pemilik tanah tersebut dipanggil gubernur untuk menjelaskan rencananya membangun proyek sarana umum (masjid). Ia pun meminta Si Yahudi menjual tanah beserta gubuknya. Namun si Yahudi itu menolaknya. Ketika ditawarkan dengan bayaran tiga kali lipat, Yahudi itu tetap menolaknya. Bahkan, hingga lima kali lipat pun si Yahudi tetap tidak mau melepaskan tanahnya.
“Gubernur Amr bin Ash berdalih demi pembangunan masjid tetap melanjutkan pembangunan. Ia mengambil tanah tersebut dan membongkar gubuk Yahudi itu. Si Yahudi pemilik tanah, tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya menangis dan pergi ke Madinah untuk mengadukan Sang Gubernur Amr kepada atasannya, Khalifah Umar di Madinah,” ceritanya lebih lanjut.
Mendengar pengaduan Si Yahudi yang tanahnya dirampas itu, Khalifah Umar marah besar, “Amr ibn al-Ash sangat keterlaluan!” katanya. “Beliau kemudian menyuruh si Yahudi untuk mengambil sepotong tulang dari tempat sampah yang tak jauh dari tempat mereka. Tentu saja, si Yahudi menjadi bingung dengan perintah sang Khalifah yang tak ada hubungannya dengan pengaduannya,” bebernya.
“Bawalah tulang ini dan berikan kepada Gubernur Amr ibn al-Ash!” Si Yahudi bingung dan bertanya, “Maaf Tuan, aku masih tidak mengerti. Aku datang ke sini untuk meminta keadilan, bukan tulang tak berharga ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengisahkan, “Khalifah Umar berkata, ‘Wahai orang yang menuntut keadilan, pada tulang itulah terletak keadilan yang engkau inginkan.’ Si Yahudi itu pulang ke Mesir dan menyerahkan tulang pemberian sang Khalifah itu kepada Sang Gubernur. Begitu Gubernur Amr menerima tulang itu, mendadak tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat ketakutan. Si Yahudi itu bingung dibuatnya,” paparnya.
“Tiba-tiba sang gubernur membuat keputusan ajaib. Ia memerintahkan pada bawahannya untuk membongkar masjid yang ia bangun dan segera membangun kembali gubuk si Yahudi tersebut. Si Yahudi tambah bingung atas keputusan Gubernur itu. Ia pun minta agar masjidnya jangan dulu bongkar. Lalu si Yahudi itu menanyakan, kenapa sang gubernur sangat ketakutan dan langsung menyuruh membongkar masjid itu, ketika menerima sepotong tulang dari Khalifah Umar,” jelasnya.
Ia melanjutkan kisahnya, Amr bin Ash menjelaskan bahwa tulang itu memang hanya tulang biasa. Namun, karena dikirimkan oleh Khalifah, tulang itu menjadi peringatan keras baginya, “Hai Amr ibn al-Ash! Ingatlah, siapa pun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab, jika kamu tidak bertindak demikian pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!”
“Si Yahudi itu sangat terharu dan sangat kagum atas sikap khalifah yang tegas dan adil. Dia juga kagum atas sikapgGubernur yang patuh dan taat kepada Khalifahnya. Sungguh mulia dan mengagumkan. Akhirnya si Yahudi itu menyatakan memeluk Islam. Bahkan ia menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf. Tak perlu dibayar lima kali lipat bahkan diserahkan secara gratis. Indah bukan?” tanyanya retoris.
Wahyudi mengatakan, semua merindukan para pemimpin yang tulus melayani rakyatnya. Menjaga dan membantu rakyatnya sebagaimana ia menjaga anak dan isterinya. “Ia memberi tanpa minta diberi, bahkan sekadar minta dipublikasi. Semua dilakukan demi meraih ridha Ilahi dan mendapatkan balasan di akhirat nanti. Itulah karakter orang yang cerdas,” pungkasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Comments