TintaSiyasi.com -- Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana, S.IP., M.Si. menilai letak geostrategis ibu kota negara (IKN) yang baru lebih rentan terhadap ancaman.
“Memang dalam pandangan saya, itu (IKN) lebih rentan terhadap ancaman dibandingkan dengan di ibu kota yang sekarang (Jakarta) begitu,” lugasnya dalam Kabar Petang: IKN dan Problem Geostrategi di YouTube Khilafah News, Kamis (27/01/2022).
Walaupun bentuk ancaman di masa depan tidak selalu dalam bentuk ancaman fisik (saling berhadapan), namun menurutnya, acaman bisa dengan meluncurkan rudal balistik misalkan, atau bahkan mungkin rudal tenaga nuklir misalkan. Dan semua itu sangat bisa menjangkau di manapun ibukota itu ditempatkan.
Budi mempertanyakan kemampuan artileri pertahanan udara Indonesia untuk bisa menghalau serangan dari jarak jauh. Ia mengungkapkan, tentang alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indonesia yang masih lemah.
Budi menepis ada kemungkinan terjadi perang terbuka di sekitar area IKN yang baru. Karena, lanjutnya, ia mengatakan itu masih wilayah kedaulatan Indonesia walaupun dari titiknya dekat dengan wilayah konflik negara-negara lain.
“Ada potensi terjadi perang terbuka di Laut Cina Selatan yang itu melibatkan negara-negara yang ada di sekeliling Indonesia. Indonesia itu kan negara yang berbatasan dengan 13 negara lain, karena besarnya dan karakteristik geografis Indonesia itu kan lautan. Sangat terbuka dari masuknya mobilitas pihak asing,” tambahnya.
“Kita masih mengadopsi minimum essential force, kekuatan minimum yang esensial. Padahal, dalam situasi perang tentu kita harus betul-betul bisa menjaga setiap aset negara, terutama simbol-simbol negara, ya ibu kota negara seperti itu,” tambahya.
Ia menegaskan, kekuatan utama militer Indonesia itu justru di darat, bukan di laut. Sekalipun disebut negara maritim, nenek moyangnya pelaut, tapi orientasi kemiliteran Indonesia masih darat.
Geografis
Budi mengatakan, ada pertimbangan-pertimbangan ideal untuk bisa menempatkan ibu kota negara itu ada di mana. Ada pertimbangan ekonomis, kemudahan akses, pertimbangan keamanan agar bisa terlindung dari dari ancaman, terutama dari luar, katanya.
“Jadi, sebelum masuk ke ibu kota, ya dia harus melewati daerah-daerah lain. Begitu ya sebelum dia datang. Dan ada pertimbangan sosiologis, yakni menjadi representasi dari keberagaman yang ada di Indonesia gitu,” katanya.
Menurutnya, ibu kota itu tidak harus di tengah-tengah dan tersembunyi. “Contohnya Ibu Kota Korea Selatan Seoul. Seoul itu justru menjadi di kota yang terdekat dengan perbatasan Korea Utara. Padahal mereka dalam situasi perang, kan sampai sekarang belum ada perjanjian damai antara Korea Utara-Korea Selatan. Artinya, Korea Selatan justru tidak memindahkan ibu kotanya supaya menjauh dari arena perang,” bebernya.
“Ibu Kota Amerika Serikat Washington justru di daerah pinggiran tepi timur Benua Amerika. Jadi tidak mesti ditempatkan di tengah-tengah yang jauh dari akses ancaman dari luar. Yang penting adalah bagaimana kemudian bisa menyiapkan ibu kota yang baru itu memiliki sistem pertahanan keamanan yang memadai,” sarannya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, harus dipikirkan bagaimana penempatan pasukan strategis itu dengan cepat di kisaran ibu kota. Misalkan, di Jakarta itu ada Angkatan Darat. Batalyon mekanis ditempatkan di seantero sekeliling ibu kota negara. Kalau ada kejadian tertentu, maka kemudian pergerakan pasukan itu harus bisa dilakukan secara cepat.
“Jakarta kan punya Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, kemudian dari akses laut ada Pangkalan Armada Laut Tanjung Priok. Semuanya ada di kisaran ibu kota. Ketika Indonesia memindahkan ibu kota di Kalimantan Timur, penyiapan kekuatan pertahanan ibu kotanya sudah dirumuskan. Walaupun mungkin untuk sementara ini kan bisa menggunakan tempat-tempat strategis yang terdekat, misalkan dari Penajam ke ke Balikpapan dan Samarinda. Mau tidak mau harus harus dipikirkan dengan matang,” terangnya.
Keamanan Laut
Budi juga mengingatkan untuk mengantisipasi keamanan laut. Dari sisi keamanan laut, Jakarta lebih aman dibandingkan dengan Selat karimata. “Jakarta itu laut dangkal hanya 200 meter, sedangkan Selat Karimata adalah selat dalam yang itu mudah diakses oleh kapal selam. Sejauh sepengetahuan saya, radar kapal selam Indonesia itu kan masih lemah,” bebernya.
“Lautan dalam itu di atas 2000-3000 meter kedalamannya, sehingga seringkali didapati kapal selam asing itu melewati tanpa memenuhi kaidah UNCLOS (United Nations Convention on The Law of the Sea) Hukum Internasional,” ungkapnya.
Ia menyayangkan, sekalipun boleh melewati Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) tanpa izin sebagai bagian dari right of innocent passage (hak lintas damai), tetapi ada aturan juga bahwa kapal selam tidak boleh menyelam, harus naik. Ha tersebut sering dilanggar oleh negara-negara yang punya kekuatan kapal selam tenaga nuklir.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Comments