Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pengamat Ekonomi: Rajab Momentum Hijrah dari Ekonomi Kapitalisme Menuju Sistem Islam


TintaSiyasi.com -- Pengamat Ekonomi dan Intelektual Muslim Dr. Firman Menne, S.E., M.Si. menyebut, Rajab merupakan momentum hijrah dari ekonomi kapitalisme menuju sistem ekonomi Islam. 

"Momentum Rajab dalam kilasan sejarah merupakan momentum hijrahnya kaum Muslim dari Mekkah ke Madinah. Ini menjadi momentum bagi kita untuk hijrah dari sistem ekonomi kapitalisme yang rusak dan merusak menuju kepada sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan," sebutnya dalam acara Ekspo Rajab 1443 H Collaboration Talkshow bertajuk Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam yang tayang serentak di EkspoRajab.com, Ahad(27/02/22). 

Firman melanjutkan, sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang sesuai dengan kapasitas manusia sebagai manusia, sementara ekonomi kapitalisme bertentangan dengan fitrah manusia.

"Oleh karena itu, tentu selaku orang yang mengaku dirinya beriman, kemudian memahami kerusakan-kerusakan ekonomi kapitalisme, kita harusnya berhijrah dan menawarkan solusi terkait dengan sistem ekonomi yang sesuai dengan fitrah manusia dan diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Taala, yaitu sistem ekonomi Islam," sambungnya. 

Di dalam ekonomi Islam, menurut dia, konsep kepemilikan diatur dengan sangat indah dan baik, sebagaimana hadis Rasulullah Shalallahu ‘alayhi Wassalam. “Hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad menyebutkan, ‘Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.’,” kutipnya.

Kapitalisme Serakah

Pengamat ekonomi tersebut mengurai bahwa seharusnya hutan belantara, tempat-tempat gembalaan, sumber mata air yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan minyak bumi tidak boleh dikuasai individu secara serakah dan arogan. Harusnya dikuasai oleh negara untuk kemudian digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Bahkan founder negara sudah memahamkan kepada kita dan diamanatkan di dalam undang-undang, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," bebernya.

Tetapi faktanya, ujar Firman, kekayaan alam yang melimpah itu diserahkan kepada privatisasi atau kepada individu. Gunung dan pulau dimiliki oleh satu individu, sehingga pemberdayaan masyarakat tidak merata. Ada yang kaya, kaya sekali, ada yang miskin, miskin sekali.

"Ada seseorang yang sarapan paginya itu menunya seharga satu juta, itu pun dikonsumsi di pinggir kolam renang. Sementara, pada saat yang sama ada seseorang yang makannya itu tergantung dari hasil pemberian orang dengan meminta-minta, fakir miskin," cetusnya.

Menurutnya, kebebasan kepemilikan individu adalah karakter sistem ekonomi kapitalisme yang rusak. Pada gilirannya akan melahirkan alam bisnis seperti hukum rimba, yang kuat akan memangsa yang lemah.

"Kita bisa menjumpai bisnis-bisnis ritel modern yang dulu biasanya hanya ada di pusat pusat kota. Tetapi saat ini bisnis ritel tersebut masuk ke pelosok desa dan lorong-lorong kota, sehingga toko-toko kelontong yang dikelola oleh masyarakat akhirnya mati," tandasnya.

Firman menambahkan, kebebasan kepemilikan menurut Adam Smith. "Sistem ekonomi kapitalisme menjadi surga bagi orang-orang yang rakus dan serakah," ungkapnya.

Intelektual Muslim tersebut mengungkap bahwa sistem ekonomi kapitalisme memiliki konsep dalam mengukur pertumbuhan ekonominya dengan agregat atau rata-rata. Sehingga, sistem ekonomi kapitalisme gagal mengantarkan sebuah negara atau bangsa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang sejati. 

"Yang ada adalah pertumbuhan ekonomi yang semu. Pertumbuhan ekonomi yang hanya dikontribusi oleh segelintir orang. Di Amerika misalnya, 2 persen penduduk Amerika itu menguasai 85 persen sumber daya keuangan," jelasnya.

Rusak dan Merusak

Firman juga menyebut karakter ekonomi kapitalisme yang rusak dan merusak adalah pandangan ekonomi kapitalisme terhadap barang dan jasa sebagai sebuah produk ekonomi.

"Dalam pandangan ekonomi kapitalisme barang dan jasa itu tergantung kepada value (nilai) dan utility (kegunaan). Bermanfaat kepada masyarakat, kepada pengguna atau kepada konsumen. Jika bermanfaat, it's ok, silahkan jalan. Sekalipun menabrak kepada kepentingan-kepentingan atau mungkin kebutuhan secara fisik daripada manusia," paparnya.

Ia mencontohkan bisnis narkoba, ketika ada value dan utility juga ada orang yang ingin membeli, maka tetap jalan saja. Meskipun narkoba mempengaruhi secara negatif terhadap anatomi tubuh manusia jika dikonsumsi.

"Misalkan riba, secara analogi menyulitkan orang yang sudah dalam keadaan susah. Orang yang membutuhkan ketika dia meminjam lalu kemudian ditambah bunga, ditambah lagi dengan beban-beban lain yang semakin menyulitkan," pungkasnya.[] Heni Trinawati
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments