TintaSiyasi.com -- Pakar Pemetaan Tata Ruang Prof. Dr.-Ing H. Fahmi Amhar mengatakan ibu kota negara (IKN) yang baru berpotensi bisa melecut gelombang ketidakpuasan dan animo disintegrasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ini bisa melecut gelombang ketidakpuasan dan animo disintegrasi dari NKRI," tuturnya dalam Forum Group Discussion (FGD) ke-28 Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB), IKN: Analisis Kritis Multidisiplin, Sabtu (12/02/2022) di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.
Ia merasa khawatir, gelombang ketidakpuasan dan animo disintegrasi tersebut muncul dengan beberapa pertimbangan, terutama sisi biaya, di antaranya:
Pertama, biaya pembangunan IKN yang baru rawan membengkak. "Karena mengandalkan asumsi yang terlalu sederhana. Tentang air, airnya gampang. Nah, itu penyederhanaan yang ternyata keliru," jelasnya.
Kedua, proyeksi yang belum menyertakan biaya transisi dan biaya adaptasi yang harus ditanggung masyarakat. "Bayangkan bila penduduk Indonesia yang paling banyak di Jawa, tetapi ketika harus mengurus berbagai keperluan ke pemerintah pusat harus datang ke IKN di Kalimantan. 'Nah, itu biaya tinggi.'," terangnya.
Ketiga, kemungkinan pejabat dan ASN yang berkantor di IKN, namun tiap akhir pekan pulang ke Jakarta. "Ini biaya adaptasi yang bukan main-main ini," lanjutnya.
Ia mencontohkan, ketika Sofifi yang awalnya sebuah kecamatan berubah menjadi Provinsi Maluku Utara yang awalnya Ternate, hingga kini setelah sepuluh tahun berlalu orang-orang masih tidak mau pindah.
"Karena, Sofifi itu tadinya kecamatan. Kecamatan, kabupaten, provinsi itu tiga tingkatan. Nah, sekarang kalau IKN ini dari desa ke ibu kota negara, itu lima tingkatan. Dahsyat sekali, itu susah, dibayangkan itu susah," yakinnya.
Keempat, kemungkinan para ASN hanya tinggal sementara dan setelah pensiun harus pulang.
Kelima, masyarakat yang harus berurusan dengan pemerintah pusat di IKN harus ke Kalimantan. "Bayangkan, kemudian ada pengumuman sekarang lagi tutup, wah repot, sudah jauh-jauh ke IKN kantornya tutup, waduh," pungkasnya.[] Dewi Srimurtiningsih
0 Comments