TintaSiyasi.com -- Merespons pernyataan bahwa menasihati penguasa harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia, Ulama Jakarta Gus Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy mengatakan bahwa pendapat itu ditengarai sengaja disebarkan untuk melanggengkan penjajahan kaum kafir di negeri Muslim.
“Pendapat ini (menasihati penguasa secara rahasia) ditengarai sengaja disebarkan untuk melanggengkan penjajahan kaum kafir di negeri-negeri kaum Muslim melalui tangan penguasa-penguasa boneka yang mengabdi untuk kepentingan kaum imperialis,” tulisnya dalam buku Revolusi Islam Jalan Tengah Menuju Perubahan.
Gus Syam, sapaan akrabnya, menilai pendapat semacam itu adalah pendapat batil dan bertentangan dengan realitas muhasabah al-hukkam (mengoreksi para penguasa) yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, para shahabat, dan generasi-generasi salafus shalih sesudah mereka.
“Hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat muktabar yang dipegang teguh generasi salafus shalih. Namun, sebagian orang bodoh dan ulama-ulama jahat yang mengabdikan dirinya kepada penguasa-penguasa fajir dan zalim justru menyebarkan pendapat, bahwa menasihati seorang penguasa harus dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi (rahasia),” lugasnya.
Ia mengatakan, masih menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasihati para penguasa dengan terang-terangan di depan umum, atau mengungkapkan kejahatan dan keburukan mereka di depan umum, karena ada dalil yang mengkhususkan.
“Pasalnya, pendapat tersebut bertentangan dengan dalil-dalil umum yang tidak menjelaskan secara rinci tata cara mengoreksi para penguasa yang melakukan penyimpangan. Nas-nas seperti ini jumlahnya sangat banyak,” tuturnya.
Gus Syam menyebutkan dalil-dalil umum itu di antaranya adalah surah Ali Imran ayat 110, At-Taubah ayat 71, An-Nahl ayat 36, dan Al-Maidah ayat 78 – 81. “Masih banyak ayat-ayat lain yang memiliki pengertian senada. Berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa kaum Muslim diperintahkan untuk menyampaikan kebenaran kepada siapa saja tanpa ada batasan, baik penguasa, rakyat, laki-laki maupun perempuan, baik dengan terang-terangan maupun sembunyi,” paparnya.
“Dalam As-Sunnah juga terdapat banyak hadis yang berbicara tentang amar makruf nahi mungkar dalam bentuk umum. Misalnya hadis riwayat Imam Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad, ‘إِنَّ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ, Seutama-utama jihad adalah kalimat haq yang disampaikan di depan penguasa fajir’,” tuturnya.
Lanjutnya, Imam Ibnu Majah menuturkan hadis dari Abu Al-Sya’tsaa tentang sifat-sifat kemunafikan, yakni tidak mengatakan kebenaran secara terus terang di hadapan para penguasa. “Ditanyakan kepada Ibnu 'Umar, ‘Jika kami mendatangi penguasa-penguasa kami, maka kami menyatakan suatu ucapan. Lalu, jika kami keluar, kami mengatakan ucapan yang berbeda (dengan ucapan yang telah kami ucapkan di depan penguasa).’ Ibnu 'Umar menyatakan, ‘Kami di masa Rasulullah ﷺ menghitung hal seperti itu sebagai sebuah kemunafikan.’ Hadis riwayat Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, Imam Baihaqiy, Imam An Nasaaiy, Imam Baihaqiy, dan lain-lain.” kutipnya.
“Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa'id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khutbah Jumatnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. Demikian ditulis oleh Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa' dalam Majalah Al Azhar pada Ramadhan 1371 H,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan bahwa mengoreksi penguasa hukum asalnya adalah dilakukan secara terang-terangan. Hanya saja, seseorang diberi pilihan untuk menasihati penguasa secara rahasia maupun terang-terangan. “Adapun kapan seorang Muslim menasihati penguasa secara terang-terangan dan kapan dengan cara sembunyi, hal itu tergantung dari keadaan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu,” urainya.
“Jika penyimpangan penguasa tersebut berkaitan dengan kebijakannya yang bisa mengakibatkan kesesatan, kesengsaraan, dan penderitaan umat, maka kejahatan itu harus diungkap secara terbuka, agar umat terhindar dari kebijakan jahat tersebut. Adapun jika penyimpangan penguasa itu berkaitan dengan kejahatan dan dosanya secara pribadi, maka menasihatinya lebih baik dilakukan dengan rahasia untuk menjaga kehormatan dirinya, kecuali jika sudah tidak malu-malu lagi dengan kemaksiatan dirinya,” tandasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Comments