TintaSiyasi.com -- lMenanggapi kasus penangkapan terhadap Edy Mulyadi, Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroky mengatakan bahwa kasus tersebut jelas untuk membungkam suara kritis aktivis.
“Saya pikir ini jelas membungkam suara kritis. Kalau aktivis yang bicara kritis langsung ditangkap atau diamankan," ujarnya dalam Kabar Petang dengan tajuk Edy Mulyadi Dibidik? Sabtu (05/02/2022) di kanal YouTube Khilafah News.
Ia mengatakan bahwa hampir semua aktivis dan ulama merasakan dampak dari pembumgkaman suara kritis terutama yang kritis pada rezim. Akan dicari-cari masalahnya. Jadi tidak salah jika publik menilai bahwa rezim ini adalah rezim zalim.
Selain itu ia juga menyebutkan bahwa publik sudah bisa menilai bahwa rezim sekarang banyak membidik bahkan mengkriminalisai aktivis kritis, dan para ulama. Sebelum kasus Edy Mulyadi, ia mengungkapkan beberapa fakta yang sama seperti Syahdan Nainggolan, Habib Rizieq Shihab (HRS), Ali Baharsyah, juga Habib Bahar Smith. Katanya, pengakuan Indonesia sebagai negara demokrasi justru yang terjadi tidak demikian. Selain dibidik, kesalahan para aktivis kritis anti rezim sengaja dicari-cari.
Saat ditanya apakah penahanan Edy Mulyadi sudah terbukti kuat, Wahyudi Al-Maroky menjelaskan sesungguhnya untuk kasus penahanan memiliki alasan yang sangat subjektivitas dari penyidik POLRI.
“Sebenarnya syarat untuk menahan atau tidak itu subjektivitas penyidik POLRI. Artinya, bisa mengatakan ini ditahan, ini tidak. Kalau bicara bukti, cukup dua alat bukti untuk menahannya,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa sebenarnya banyak tersangka atau sudah dilaporkan tidak ditahan-tahan dan prosesnya lambat. Misalnya kasus Abu Janda, Ade Armando, atau lainnya. Seperti terlihat ada aktivis yang dikriminalisasi, ada yang kebal hukum atau bahkan dapat keistimewaan hukum.
Penahanan terhadap seseorang yang dilaporkan atau tersangka termasuk Edy Mulyadi menurut Direktur Pamong Institute tersebut memiliki tiga alasan dalam kacamata hukum yang ada.
“Alasan penahanan sebenarnya ada tiga. Pertama takut kabur, kedua takut menghilang, dan ketiga takut menghilangkan barang bukti. Nah, Edy Mulyadi apakah karena ditakuti akan kabur atau menghilangkan barang bukti atau sejenisnya? Kalau alasannya kabur, saya rasa justru lebih cocok pada koruptor yang suka kabur ke luar negeri. Kalau bang Edy mau kabur kemana? Seorang aktivis yang peduli negeri ini gak mungkinlah kabur,” sebut dia.
Wahyudi Al-Maroky menyebutkan bahwa alasan penahanan begitu subjektif. Contoh kasus saat Ahok jadi tersangka pelecehan agama tetapi tidak tahan. padahal menurutnya, bisa dipakai alasan takut mengulangi kesalahan yang sama. Juga katanya seperti tersangka kasus korupsi tidak ditahan padahal merugikan negara triliunan rupiah justru kabur seperti Harun Masiku.
Kasus Edy Mulyadi sebenarnya sangat sulit mempidakannya jika dengan alasan kalimat ideom jin buang anak. Menurutnya, lebih bijak jika Edy Mulyadi diproses dengan UU Jurnalistik.
“Karena diucapkannya kan saat acara pers bersama rekan-rekan jurnalis lainnya, dan bang Edy Mulyadi juga adalah seorang jurnalistik yang tercatat di PWI. Semestinya pendekatannya kesana. Repot kalau ideom dijadikan persoalan hukum pidana. Harusnya dilakukan pendekatan UU Pers bukan pidana umum,” terangnya.
Ia tidak lupa menyampaikan bahwa ada pelajaran yang dapat diambil dari kasus Edy Mulyadi untuk rakyat terutama umat Islam di Indonesia.
“Pertama, harus menjadikan masyarakat khususnya umat Islam berani terus menasehati penguasa tidak boleh diam. Sudah banyak kita disaksikan para ulama, aktivis bahka ajaaran Islam dikiriminalisasi. Bicara jihad, khilafah, jilbab misalnya. Kalau rezim berbuat zalim, dinasehati agar kezalimannya berhenti. Harus bicara. Dan yang terzalimi harus kita tolong, " ucapnya.
Kedua, ia sebutkan harus memperbaiki sistem yang ada dengan menciptakan dan mencari SDM pejabat yang bertakwa. Sehingga takut melaukan kezaliman, dan pertanggungjawabannya di hari akhirat. Pastinya kata dia, mereka akan mengantisipasi dirinya masing-masing.
Ia juga mengajak agar semua umat Islam harus terus bersatu menasehati penguasa untuk menghentikan kezalimannya. Karena menurutnya, kezaliman yang terus menerus terjadi adalah kezaliman yang diproduksi oleh kebijakan rezim.
“Kezaliman terus menerus terjadi karena sebenarnya kezaliman itu diproduksi. Bang Edy Mulyadi adalah contoh salah satu korban yang terzalimi karena ia kritis. Ia akhirnya jadi korban kezaliman yang diproduksi oleh kebijakan rezim. Sama seperti HRS, Ali Baharyah, Habib Bahar dan lainnya. Untuk itu, umat Islam harus terus bersatu menasehati penguasa untuk menghentikan kezalimannya,” pungkasnya.[] M. Siregar
0 Comments