Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Begini Kecacatan Metode Berpikir Barat


TintaSiyasi.com -- K.H. Hafidz Abdurrahman, MA membeberkan kecacatan metode berpikir Barat. "Beginilah yang menjadi konsekuensi-konsekueni terkait dengan solusi yang dihasilkan dari kecacatan metode berpikir yang sangat kompleks ini," tutur Khadim Syarafaul Haramain ini dalam Kelas Eksekutif: Kritik Metode Berpikir Barat, Selasa, 22 Februari 2022 di EkspoRajab.com.

"Ketika mereka bicara nanti dalam konteks ekonomi, akhirnya yang mereka selesaikan hanyalah masalah-masalah yang sifatnya sementara dan tidak menyentuh akar masalah," tegas Ulama Aswaja ini.
 
Ia menjelaskan pentingnya mengkritik cara berpikir metode Barat. "Mengapa kita mengkritik cara berpikir metode Barat? Jadi, kapitalisme ini ideologi, ideologi dalam konteks kapitalisme adalah ide berpikir," katanya.
 
Menurut Kiai Hafidz, ketika hendak mengkritik kapitalisme, maka harus tahu bagaimana metode berpikirnya yang menghasilkan kapitalisme itu. "Maka kalau kita mengkritik kapitalisme tanpa mengkritik metode berpikirnya, itu artinya kita hanya mengkritik di permukaan tidak sampai pada akar masalah. (Padahal, metode berpikir itulah ) yang menjadi sumber lahirnya kapitalisme. Nah, itulah makanya, mengapa tema pada malam hari ini adalah penting," jelasnya.

Dalam acara yang diselenggarakan Ekspo Rajab 1443: Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam, Kiai Hafidz, sapaan akrabnya, menjelaskan, pertama, problemnya Barat belum mampu mendefinisikan akal.

"Problemnya kemudian begini mereka ini yang mengandalkan akal. Akal itu sendiri sebagaimana dikritik juga oleh Syekh Taqiyudin An-Nabhani bahwa akal itu sendiri belum berhasil mereka merumuskan, sebenarnya akal itu apa?"  ujarnya.

Kedua, terjadi dua kelompok antara rasionalisme dan empirisme. Akhirnya orang Barat ini, juga terjadi perdebatan di antara mereka sendiri, katanya. "Maka, kemudian muncul dua aliran besar itu rasionalisme dengan empirisme, yakni yang satu mengandalkan akal, tapi enggak jelas seperti apa, yang satu mengandalkan realitas (empirisme)," papar Kiai Hafidz.

Menurut Kiai Hafidz, hal tersebut berbeda nanti dengan Islam, karena Islam itu, dalam hal ini memiliki konsep yang jelas tentang akal.

Ketiga, kecacatan kelompok empirisme, menyamakan eksperimen benda mati dengan manusia. "Nah, dampak dari ketidakjelasan ini juga kemudian akan berdampak ketika orang Barat dalam hal ini, apa yang mereka sebut dalam menentukan metode ilmiah, yakni metode ilmiah ini lahir dari aliran empirisme," jelasnya.

Ia menjelaskan, dalam empirisme, semuanya mengandalkan pada eksperimen, tetapi ini juga akan menjadi problem, karena tidak semua perkara apalagi mengenai pemikiran itu bisa diuji melalui eksperimen.

"Oleh karena itu, Barat itu sendiri mengalami dilema yang luar biasa, di satu sisi mereka mendewakan dengan apa yang disebut metode ilmiah, namun metode ilmiah ini tidak berdaya ketika metode ilmiah ini digunakan untuk menguji pemikiran," bebernya.

Menurut Kiai Hafidz, metode ilmiah hanya digunakan untuk menguji benda mati. "Karena metode ilmiah itu kan metode yang digunakan untuk mengamati kemudian melakukan eksperimen kepada benda mati, sebenarnya bukan sesuatu yang hidup," jelasnya.

Keempat, Barat tidak bisa membedakan ilmu ekonomi dan sistem ekonomi. "Nah, kesalahan fatalnya kemudian ketika Barat menggunakan metode ilmiah untuk berbagai cabang ilmu pengetahuan, misalkan di bidang sosiologi, ilmu psikologi, dan banyak lagi termasuk ekonomi nanti dampaknya mereka tidak bisa memilah mana itu sistem ekonomi dengan ilmu ekonomi," jelasnya.

"Nah, itulah dampak-dampak yang mungkin terjadi dan kompleksitas-kompleksitas yang mereka alami," jelasnya menambahkan.

Menurut dia, itulah sebenarnya merupakan kesalahan dasar yang bisa dikatakan sangat fatal sekali, karena mereka pada dasarnya satu belum menemukan hakikat akal itu seperti apa.

"Sebenarnya karena itu mereka tidak bisa menemukan bagaimana metode-metode yang sesuai dengan akal itu tadi dalam bahasa lain adalah attoriqoh aqliyah sedangkan yang mereka gunakan itu adalah thoriqoh ilmiah (metode ilmiah)," bebernya Kiai yang mengelola pondok pesantren Syarafaul Haramain itu.

"Tetapi, celakanya metode ilmiah yang harusnya bisa digunakan untuk benda mati itu digunakan untuk mengkaji berbagai macam bentuk pemikiran," imbuhnya.

Menurutnya, hal itulah persoalan yang paling fundamental. "Ketika kita bicara dalam konteks kesalahan metode mereka, kemudian itu tadi berdampak panjang," tegasnya.

Ia mengatakan, berikutnya ketika mereka lebih mengandalkan tadi dengan menggunakan metode ilmiah pada sisi yang lain. "Mereka bertumpu kepada hal-hal yang sifatnya materi tadi. Nah, itu nanti ketika mereka mempunyai persoalan misalkan dalam kajian ekonomi maka dampak dari kesalahan ini mereka hanya akan melihat persoalan ekonomi dari segi materi," jelasnya.

Misalnya, ia mencontohkan, ketika mereka bicara soal kebutuhan dan alat pemuas kebutuhan, maka itu nanti sifatnya materi. "Dan ini nanti akan berdampak destruktif karena mereka tidak bisa melihat dari sisi lain, misalnya manusia itu memiliki kebutuhan lain selain kebutuhan materi, ada kebutuhan yang sifatnya spiritual. Ada kebutuhan maknawi mereka tidak akan pernah melihat itu sama sekali," katanya

Karena itulah, katanya, nanti tampaknya lebih serius lagi ketika Barat ini mengalami apa yang disebut dengan kekosongan spiritual. "Barat juga mengalami masalah-masalah kemanusiaan yang luar biasa dahsyatnya," tandasnya.[] Nabila Zidane dan Ika Mawarningtyas
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments