Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ketika Kitab Suci Dibakar

Tintasiyasi.com -- Tiada hentinya penistaan terhadap Islam terjadi. Seperti halnya pembakaran Al-Quran. Kitab suci umat Islam ini telah dihinakan oleh seorang warga negara Swedia bernama Salwan Momika. Pria yang aslinya berasal dari Irak itu dengan lancangnya menginjak-injak dan membakar Al-Qur’an di depan Masjid Raya Soedarmalm, Stockholm pada Rabu (28/6) lalu. Parahnya, aksi ini ternyata mendapat izin dari pihak berwenang setempat (VOAIndonesia.com, 30/6/2023).

Peristiwa semacam ini bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya ada Rasmus Paludan, politikus sayap kanan Swedia-Denmark yang juga pernah melakukan aksi pembakaran Al-Qur’an. Penghinaan terhadap Al-Qur’an ini memang telah kerap kali terjadi. Kecaman dan protes pun menjadi reaksi. Bukan hanya dari dunia Islam, tetapi juga dari dunia Barat sendiri juga banyak yang tidak menyetujui tindakan tersebut. 

Penghinaan yang dilakukan Salwan dan orang-orang sebelum dia merupakan salah satu bentuk kebebasan yang kebablasan. Kebebasan berpendapat yang digembar-gemborkan Barat nyatanya menjadi dalih penghinaan dan penyerangan terhadap Islam. Bukan hanya AL-Qur’an yang dihinakan, tetapi juga umat Islam menjadi sasaran kebencian tak berdasar.

Pelarangan jilbab, cadar dan pakaian muslimah lainnya di tempat-tempat umum, menuduh Islam sebagai agama setan, mengajarkan kekerasan, tidak toleran, mengekang kaum perempuan dan berbagai tuduhan keji lainnya merupakan realitas yang dihadapi umat Islam hari ini.

Bersembunyi dibalik kebebasan berpendapat, para pembenci Islam dengan seenaknya melontarkan hinaan tanpa takut konsekuensinya. Mereka merasa bebas berkata buruk tentang Islam dan umatnya. Mereka berkata seakan paham Islam luar dan dalam. Padahal, sejatinya yang mereka ucapkan tak lain merupakan kebencian membabi buta. 

Barat dengan sekularisme telah menjauhkan agama dari kehidupan sehingga membuka pintu lebar bagi manusia untuk membuat aturannya sendiri. Manusia merasa bebas berbuat apa saja. Yang penting dirinya senang dan puas, orang lain tak dipedulikan. Meskipun melanggar agama lain pun tak dipersoalkan.

Dengan dalih kebebasan, pelecehan dan pelanggaran terhadap Islam terus bermunculan. Para penghina dan pembenci Islam itu seakan mendapatkan ruang untuk melampiaskan kebenciannya. Apalagi, aksi-aksi Islamofobia seperti itu justru dilegalkan atau setidaknya dibiarkan oleh negara. 

Marah, Tetapi Tak Berdaya

Umat Islam jelas marah. Bahkan harus marah jika memang mereka masih punya keimanan di dadanya. Bagaimana mungkin seorang muslim akan tenang-tenang saja ketika agamanya, kitab sucinya dihinakan? 

Umat hanya bisa marah, mengecam, protes, dan sejenisnya. Namun, umat tak berdaya. Umat tak punya kuasa untuk menerapkan sanksi terhadap penghina Al-Qur’an.

Menunjukkan kemarahan dan kecaman saja jelas tak cukup. Harus ada tindakan tegas untuk pelaku penghinaan Al-Qur’an. Para penghina itu harus dihukum sesuai dengan tindakannya. Hal ini tentu menjadi ranah penguasa atau pemimpin untuk melakukan upaya pemberian sanksi yang mampu memberi efek jera. 

Sayangnya, para pemimpin negeri Islam hari ini juga tak punya daya. Respon terhadap kasus pembakaran AL-Qur’an tersebut hanya di lisan semata atau paling banter dengan memanggil perwakilan Swedia. Tidak ada tindakan tegas setelahnya. Tidak ada penerapan sanksi atas penghina kitab suci.

Hal ini karena negeri-negeri muslim sedang terperangkap dalam sistem sekularisme yang diaruskan Barat. Para pemimpinnya hanya tunduk pada aturan yang dibuat oleh Barat sekuler. Syariat Islam yang harusnya menjadi panduan justru ditinggalkan. 

Di sisi lain, Umat Islam juga tercerai-berai dalam sekat-sekat kebangsaan. Jebakan nation state membuat mereka akhirnya hanya peduli dengan urusan masing-masing. Mau membantu pun juga rumit, bahkan dipersulit. Meskipun umat ini jumlahnya banyak, tetapi mereka tak ada yang mengomandoi untuk bergerak dalam satu kesatuan. Jadilah ketika ada kezaliman menimpa, mereka hanya bisa bersuara sesaat sebelum akhirnya pudar dan menghilang.

Tidak ada kepemimpinan tunggal yang menjadi tempat umat bernaung, berlindung, dan meminta penjagaan atas kehormatan dan kemuliaan atas diri dan agama mereka. Tak heran jika penistaan terhadap Islam terus berulang dan para pembenci Islam terus berulah.

Kepemimpinan Adalah Kunci

Untuk itulah, satu-satunya cara yang efektif dalam menghentikan penghinaan atas Islam adalah harus ada pemimpin umat Islam di seluruh dunia. Sebuah kepemimpinan tunggal yang mengayomi umat Islam di mana pun mereka berada. Pemimpin yang disebut dengan khalifah. Di mana ia akan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Termasuk ketika terjadi penghinaan terhadap Islam, seorang khalifah akan sigap dan tegas memberikan sanksi yang sepadan dan sesuai tuntunan syariat. 

Banyak contoh ketegasan seorang khalifah dalam menghadapi para penista agama. Salah satunya adalah bagaimana Khalifah Abdul Hamid merespons penghinaan terhadap Rasulullah SAW. Beliau segera memanggil duta besar Perancis kala itu untuk meminta penjelasan atas rencana gelaran teater yang melecehkan Rasulullah. Dengan tegas beliau berkata, “Akulah Khalifah umat Islam, Abdul Hamid! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukan tersebut!”

Ketegasan dan kewibawaan seorang pemimpin kaum muslim itulah yang membuat orang-orang kafir gentar dan mundur. Seperti itulah seharusnya pemimpin umat terbaik. Pemimpin yang berkomitmen dalam menjalankan amanahnya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt.

Dengan segenap kekuatannya, ia mampu menjaga kemuliaan agama-Nya. Tak akan ada yang berani menghina Al-Qur’an. Apalagi sampai berulang kali tanpa sanksi yang menjerakan.

Karena itu, betapa pentingnya penerapan syariat Islam kaffah untuk segera diwujudkan. Hanya dalam naungannya, Islam dan umatnya akan selalu mendapatkan penjagaan terbaik dan memiliki kehormatan yang hakiki. 
Wallahu a’lam bishshawwab.[]

Oleh: Nurcahyani
(Aktivis Muslimah)


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments