Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hipokrisi Prancis sebagai Penyeru HAM


TintaSiyasi.com -- Prancis tetiba membara. Kerusuhan besar terjadi di Kota Nanterre pinggiran Paris, Prancis, pada Sabtu (1/7/2023). Tragedi terjadi karena pembunuhan pemuda keturunan Aljazair Nahel Merzouk (17) ditangan polisi, yang berusaha menghentikannya, karena melanggar lalu lintas, pada Selasa, 27 Juni 2023. (Tempo, 4/7/2023).

Ketika diwawancara disalah satu stasiun TV Prancis France 5, ibunda Nahel, Mounia menuduh petugas polisi menembak anaknya karena keturunan Arab (cnbnindonesia.com, 2/7/2023). Anais, teman keluarga dan tetangga korban juga mengatakan, pemuda berkulit hitam di Prancis kerap mendapat perlakuan rasis. (BBC, 3/7/2023).

Penembakan terhadap Nahel bukan kali pertama. Kasus ini menambah panjang daftar diskriminasi karena rasialisme di negara tersebut. Hukum pidana Prancis yang diamandemen pada 2017, memberi wewenang lebih luas bagi polisi menggunakan senjata api. Aturan ini diambil karena meningkatnya kekerasan di Prancis. Setahun terakhir, tiga orang meninggal di tangan polisi, saat pemberhentian kendaraan. Tahun sebelumnya 13 orang meninggal dengan kasus sama. Menurut Reuters, kebanyakan korban meninggal orang kulit hitam atau keturunan Arab. (BBC, 3/7/2023).

 
Hipokrit

Prancis salah satu negara pengusung sekularisme, dari asas ini muncul liberalisme termasuk HAM. Negara ini selalu menjunjung tinggi kebebasan. Dikutip dari wikipedia.org, Prancis telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 1948, serta Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia pada 1960.

Ketika ada penghinaan Nabi SAW oleh Charlie Hebdo pada 2020, Presiden Macron tidak bisa mengekang dengan alasan kebebasan berekspresi. (www.cnbcindonesia.com, 28/10/2020). Namun, kebebasan yang digaungkan tidak berlaku bagi Islam. Prancis menjadi negara pertama di Eropa yang melarang niqab. Menteri Claude Gueant, mengatakan larangan niqab karena tidak sejalan "sekularisme dan kesetaraan gender (jatim.antaranews.com, 12/4/2011). Otoritas Prancis juga dituduh berupaya menyudutkan muslim. Banyak masjid dan ormas sipil ditutup. Presiden Macron menggambarkan Islam sebagai 'agama dalam krisis' dan memperkenalkan prinsip yang didefinisikan 'Islam di Prancis' (Republika, 18/2/2022). 

Prancis melakukan diskriminasi dan rasisme terhadap warga keturunan kulit hitam dan Arab. Prancis melakukan standar ganda, kebebasan dan hak asasi yang diusung bersifat hipokrit, tidak ada kebebasan untuk kaum muslim, dan semata-mata untuk memusuhi Islam.


Islam Anti Rasisme dan Diskriminasi

Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal, seperti firman Allah SWT dalam Surat Al-Hujarat 13 yang artinya, "Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa."

Rasulullah SAW dalam beberapa hadis menekankan bahwa kemuliaan bukan terletak pada warna kulit ataupun nasab. Kemuliaan hanya bergantung pada ketakwaan. Salah satunya hadis dari Imam Ahmad, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda kepadanya: 

"Perhatikanlah, sesungguhnya kebaikanmu bukan karena kamu dari kulit merah dan tidak pula dari kulit hitam, melainkan kamu beroleh keutamaan karena takwa kepada Allah."

Ketika haji wada', Baginda Nabi SAW berkhatbah menyampaikan pesan di antaranya, "Tuhan kalian adalah satu Yang Maha Esa, kakek Kalian juga satu, karena kalian berasal dari Adam dan Adam telah Allah ciptakan dari tanah. Orang yang paling baik atau mulia di antara kalian ialah yang paling bertakwa kepada Allah.  Tidak ada keistimewaan bagi orang Arab atau bangsa yang bukan Arab (Ajam), kecuali dengan takwa."

Perilaku sahabat yang ditegur Baginda Nabi SAW menggambarkan betapa Islam anti rasis dan diskriminasi.
.
Abu Dzar al-Ghifari dan Bilal bin Rabah, dua sahabat Nabi SAW, pernah berselisih paham. Saat itu Abu Dzar keceplosan mengucapkan, "Wahai, anak berkulit hitam" Mendengar ucapan itu, Bilal mengadu kepada Rasulullah SAW. Mendengar hal tersebut, rona wajah Rasulullah SAW berubah dan bergegas menghampiri dan menegur Abu Dzar, “Sungguh dalam dirimu masih terdapat Jahiliyah!”

Mendengar nasihat Rasulullah, Abu Dzar menangis dan memohon ampun kepada Allah SWT. Bilal bersegera mohon maaf kepada Bilal. Abu Dzar mendatangi Bilal lalu tersungkur dan menempelkan pipinya diatas tanah, berulangkali meminta Bilal menginjak wajahnya. Bilal tidak mau melakukan permintaan Abu Dzar. Ia tetap berdiri dan menangis melihat Abu Dzar seraya berkata, “Semoga Allah mengampunimu, Abu Dzar. Aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di muka yang penuh cahaya sujud pada Allah itu.” Keduanya menangis dan berpelukan.

Begitulah Islam memandang manusia sama sebagai hamba Allah, tidak membeda-bedakan suku, bangsa, warna kulit maupun bahasa. Satu yang membedakan, kemuliaan karena ketakwaannya pada Allah.


Khatimah

Sejarah mencatat Islam pernah menguasai hampir sepertiga dunia dalam satu wilayah, satu kepemimpinan. Menyatukan manusia dari berbagai suku dan bangsa, berbagai bahasa dan warna kulit yang berbeda. Bersatu dalam satu ikatan akidah, tidak melihat nasab dan ras yang berbeda. Hal tersebut pernah dan akan terwujud ketika Islam diterapkan secara kafah. Tidak ada diskriminasi, tidak ada rasisme. Manusia dihormati dan dimuliakan karena ketakwaannya.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Ida Nurchayati
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments