TintaSiyasi.com -- Seorang Kepala Desa Lontar, Kecematan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten menjadi tersangka korupsi dana desa dengan total kerugian negara mencapai Rp. 988 juta. Akiani yang menjabat periode 2015-2021 menghamburkan dana desa untuk kebutuhan pribadinya. Seperti pesta di tempat hiburan malam hingga poligami dengan 4 perempuan.
Uang yang dipergunakan Akiani dipakai untuk berfoya-foya. Dana tersebut diperuntukkan untuk kegiatan pembagunan infastruktur di Desa Lontar, rabat beton, gapura wisata dan tembok penahan tanah atau TPT. Kini Akiani ditahan untuk selanjutnya diadili di Pengadilan Negeri Serang. Atas tindakannya Akiani dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi dana desa dilakukan Akiani menambah daftar panjang kasus rusuah oleh kepala desa. Mengutip laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2022 ada 155 kasus rusuah yang terjadi di sektor ini dengan 252 tersangka sepanjang tahun. Angka korupsi dana desa setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada tahun 2022. Kemudian di susul korupsi sektor utilitas, pemerintahan, pendidikan, hingga sumber daya alam. Angkanya pun meningkat dibanding 2021 yang sebanyak 154 kasus korupsi di sektor desa.
Sungguh miris, korupsi dana desa sangat banyak terjadi di negeri ini, bahkan kejadian ini terus bertambah bukan hanya dari para petinggi-petinggi pejabat saja, tetapi para pejabat yang di bawahnya pun ikut andil melakukan tindak korupsi. Di samping itu, masa jabatannya yang diperpanjang, malah justru melakukan penyimpangan dengan menjadikan peluang untuk mengeruk dana desa yang jelas-jelas dana tersebut dialokasikan buat pembangunan dan mengetas kemiskinan di tengah masyarakat.
Di sisi lain adanya wacana revisi UU desa yang menetapkan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun. Masa jabatan ini yang justru beresiko meningkatnya kasus korupsi terhadap dana desa yang akan diselewengkan. Lebih lagi hukum yang diterapkan tidak mampu memberikan efek jera bagi pelakunya, maka akan memicu adanya tindakan korupsi yang baru makin meningkat. Pengelolaan anggaran dana desa yang harusnya dikembalikan kepada rakyat guna memberikan kenyamanan, kemajuan desa, memudahkan masyarakat dalam beraktivitas dan mengetaskan kemiskinan. Semua itu mustahil terwujud.
Penerapan sistem yang diterapkan di negeri ini, yang di mana hanya memuaskan nafsu belaka untuk kebahagian semata tanpa memikirkan dosa besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Melihat kekayaan para pejabat baik sebelum menjabat dan maupun setelah menjabat, rata-rata banyak ditemui kekekayaannya pun meningkat tajam. Motivasi menjadi pejabat publik untuk menjadi pelayan rakyat semua itu hanya sekedar mengejar kenikmatan dunia semata.
Lemahnya politik ditambah sistem hukum dan peradilannya yang lemah. Alhasil pemberantasan korupsi di negeri ini hanya tambal sulam. Orang-orang yang ditunjuk memberantas korupsi tak memiliki integritas. Bahkan mudah sekali dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Konsep pemahaman dalam sistem kapitalis-sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan baik dari segi amanah yang diembannya, maupun aktivitas yang dilakukannya. Maka wajar saja begitu banyak para pemimpin dan para pejabat yang menganggap amanah yang diembannya biasa saja tanpa memikirkan tanggungjawab yang diembannya dalam memimpin suatu negeri. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem Islam.
Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah dan tanggung jawab besar bukan hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat kelak. Sistem Islam yang didasarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Melainkan mencegah sedari dini manusia untuk memiliki niat korupsi. Islam memberikan solusi secara sistematis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.
Dalam sistem Islam, menjamin pemenuhan seluruh sarana dan prasarana dan operasionalnya sehingga kebutuhan dasar rakyat berjalan dengan baik. Termasuk di dalamnya mengelola sumber-sumber keuangan untuk kepentingan rakyatnya, menggerakkan ekonomi umat dengan stimulus yang langsung menyentuh kepada kebutuhan masyarakat dan lain-lainnya. Sehingga tidak ada penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabatnya.
Dalam sistem Islam, khalifah mengontrol para pejabat-pejabat dalam menjalankan amanahnya. Kekayaan para pejabat dibagi dua, penerapan sanksi ini diterapkan oleh khalifah sebagai bentuk kehati-hatian. Karena khalifah melihat harta yang dimiliki oleh para pejabat makin bertambah banyak. Dia khawatir jika kekayaan mereka didapatkan dari penyalah gunaan jabatannya.
Para pejabat yang harta kekayaannya dibagi dua seperti yang terjadi pada Abu Hurairah dan Amr bin Ash. Khalifah mencatat harta kekayaan para pejabat ketika diangkat dan saat membagi harta kekayaan mereka jika didapati lebih dari jumlah semula. Maka khalifah mengambil semua harta yang lebih tersebut tanpa menyisakan.
Selain itu sanksi dalam sistem Islam memberikan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera dan juga mencegah kasus serupa terulang kembali. Karena hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Upaya inilah yang dibutuhkan dengan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan diterapkan sesuai hukum syariah.
Dengan demikian kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyat dapat terwujud jika prinsip para pejabatnya yang hidupnya justru zuhud. Yang jauh dari gemerlapnya harta dunia yang menjadi syarat takwa sebagai ketentuan keimanan, sebagaimana para pejabat muslim terdahulu yang sangat miskin bahkan ada yang sampai masuk dalam daftar fakir miskin yang berhak mendapat harta zakat. Padahal dia adalah pejabat negara.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Andika Ramadani
(Aktivis Muslimah)
0 Comments