Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Silaturahmi Bisnis di Balik Politik Identitas

 
TintaSiyasi.com-- Jelang pemilu, isu politik identitas kerap muncul. Pilihan politik tersebut sering dituding sebagai pemecah belah persatuan. Padahal, terkait dukung-mendukung calon pemimpin dengan lebih menonjolkan ciri khas suku, budaya, agama, dan etnis tertentu adalah sesuatu yang alamiah. Seiring berjalannya waktu, politik identitas lebih bermakna negatif. Bahkan, disalahgunakan untuk memuluskan black campaign dan menjatuhkan marwah lawan. 
 
Anis Baswedan termasuk salah satu tokoh yang sering dituding jualan politik identitas. Masih ingat kondisi politik saat Pilkada DKI Jakarta 2017?  Isu politik identitas Anis-Sandiaga vs Ahok-Djarot membara. Suasana kembali memanas saat Anis selaku Gubernur DKI Jakarta menfasilitasi Jakarta Internasional Stadium (JIS) untuk sholat Idul Fitri, Sabtu (2/5/2022). Padahal, umat Kristen juga pernah merayakan Natal di JIS, Sabtu (18/12/2021). Tudingan jualan politik identitas terhadap Anis belum juga lepas hingga menjelang Pilpres 2024.

PSMTI Dukung Pilihan Jokowi
 
Presiden Jokowi berulang kali menegaskan untuk tidak memberi ruang adanya ‘politik identitas’ pada Pilpres 2024. Sangat disayangkan jika ada kelompok pendukung pemerintah justru mengeksploitasi politik identitas di depan publik. Seperti yang dilakukan Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo terkait pernyataan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) akan mendukung capres pilihan Jokowi. Pernyataan tersebut  memanaskan suhu politik yang sementara menghangat. 

Berbagai kritik dialamatkan kepada Hary Tanoe. Ketua Dewan Penasihat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Jusuf Hamka meradang, dan menyebut Hary Tanoe (HT) bohong besar. Ia mewanti-wanti agar HT tidak membawa klaim sepihak warga Tionghoa untuk dikaitkan dengan dukung mendukung capres tertentu pada Pilpres 2024. Jusuf Hamka juga menyampaikan, masyarakat Tionghoa tidak pernah memberi kuasa kepada HT untuk mendukung capres tertentu (liputan6.com, 17/5/2023). 

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), Ardy Susanto  memberi klarifikasi bahwa pertemuan antara Jokowi dengan PSMTI tidak terkait masalah politik sama sekali. Pertemuan tersebut diakuinya sebagai ajang silaturahmi dan komitmen masyarakat Tionghoa mendukung kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf serta mempertanyakan keberlangsungan program Jokowi nantinya (tribunnews.com, 19/05/2023).

Sekilas, klarifikasi Ardy selaras dengan sikap HT yang memberi apresiasi atas pencapaian kinerja Jokowi. HT juga menegaskan perlunya keberlanjutan atas pencapaian Jokowi baik dari sisi ekonomi, politik, dan sosial. Pernyataan pers HT yang memancing kontroversi tersebut disampaikan usai pertemuan dengan Jokowi di Istana Kepresidenan, Senin (15/5/2023). Ketua Umum Partai Perindo didampingi Ketua Umum PSMTI, Wilianto Tanta. 

Silaturahmi Politik dan Bisnis?

Klaim tidak ada pembahasan politik atau bisnis antara Jokowi dan PSMTI mungkin bisa diterima sebagian orang. Pernyataan yang disampaikan HT seolah sekadar memberi dukungan moril atas kinerja pemerintah selama ini. Akan tetapi, jika diperhatikan lebih mendalam, sulit dipercaya bahwa pertemuan yang disebut agenda silaturahmi tersebut tidak memuat unsur politik dan atau bisnis. 

Dalam pernyataan pers tersebut, HT menegaskan perlunya kontinuitas atas pencapaian kinerja Jokowi. Sementara pencapaian kinerja pemerintah merupakan hasil dari berbagai kebijakan presiden dan legislatif. Rasanya, tidak ada kebijakan yang tidak terpengaruh oleh politik. Sehebat apapun seorang pengusaha, akan lebih mulus jalannya jika bisa mengendalikan kebijakan pemerintah untuk melakukan back-up. Selain itu, ada hal lain yang juga patut diperhatikan, antara lain:

Pertama, warga Tionghoa - disebut mencapai 7 juta orang lebih – kebanyakan adalah pengusaha. Memang, tidak semua pengusaha Tionghoa memiliki jiwa ‘merampok negeri’. Di antara mereka ada yang lahir, besar dan hidup membaur bersama warga pribumi. Di antara mereka pun banyak yang muslim. Namun, seperti diketahui bersama, penyebab terbesar karut marutnya negeri ini adalah karena pemerintahan telah dikuasai oligarki. Selama pemerintah tidak menganggap oligarki sebagai sumber malapetaka, masalah negeri ini akan sulit teratasi. 

PSMTI sendiri merupakan organisasi suku Tionghoa yang fokus kegiatannya pada bidang sosial, budaya, kemasyarakatan dan pendidikan. Organisasi yang berdiri sejak 28 September 1998 tersebut ‘turun gunung’ saat momen mendekati pemilu. Sangat sulit dipercaya kalau mereka tidak memiliki kepentingan keamanan bisnis dan stabilitas politik. Terpilihnya presiden berikut pastinya akan menentukan masa depan bisnis mereka.

Kedua, para oligarki menanti capres yang akan memegang tongkat estafet kepemimpinan Jokowi. Setelah sebelumnya wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden gagal diwujudkan. Presiden terpilih nanti, akan menentukan arah kebijakan terkait proyek pemerintah era Jokowi. Akankah tetap berjalan ataukah justru terhenti? Salah satu proyek strategis yang diupayakan tetap berlanjut pastinya adalah mega proyek IKN Nusantara. Menjadi wajar jika penentuan capres-cawapres menjadi perhatian serius oligarki.

MNC Grup milik Hary Tanoe mempunyai tambang batu bara di Samarinda yang hampir habis. Mereka akan menangkap peluang bisnis properti karena lokasi tersebut hanya berjarak sekitar 30 km dari kawasan IKN Nusantara (market.bisnis.com, 7/4/2022).

Saat ini, MNC Grup tak hanya bergerak di bidang media, jasa keuangan, dan e-commerce & digital, tapi telah merambah ke tambang batu bara, migas, dan properti. PT MNC Land Tbk. juga sedang bersiap mengoperasikan tiga proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lido di Bogor, yaitu Lido Music Art Center (LMAC), Movieland, dan Trump International Lido Golf.  

Ketiga, HT menyatakan dukungannya terhadap capres pilihan Jokowi. Hal ini seolah menunjukkan presiden memiliki wewenang dan terlibat langsung dalam menentukan capres berikutnya. Jika benar demikian, maka perlu diwaspadai. Hal ini karena  potensi abuse of power atau penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan presiden dalam Pilpres 2024 sangat besar. Bahayanya, bisa berpotensi terjadi konflik vertikal dan horizontal atas ketidakpuasan rakyat terhadap proses pemilu. 

Keempat, ‘cawe-cawe’ presiden memporak-porandakan arah dan tujuan peta koalisi Pilpres 2024. Presiden Jokowi menyatakan harus ‘cawe-cawe’ dalam menentukan capres-cawapres pada Pemilu 2024. Pernyataan tersebut disampaikan dalam gelar pertemuan bersama pimpinan media dan sejumlah podcaster nasional di Istana Kepresidenan, Senin (29/5/2023). Penyataan tersebut semakin menguatkan kekhawatiran adanya abuse of power. Apapun alasannya, ‘cawe-cawe’ lebih bermakna negatif dan semakin memanaskan suhu politik.

Alhasil, pertemuan kedua antara Hary Tanoe dengan Presiden Jokowi bukan sekadar isu menggantikan Johnny G Plate sebagai Menkominfo. Sebelumnya, kedua tokoh tersebut melakukan ‘silaturahmi’ pertama setelah Idul Fitri 2023. Dengan membawa nama PSMTI, patut diduga ada perkara lebih besar dari posisi menteri, yaitu bagaimana kepentingan para oligarki bisa tetap bertahan di era pemerintahan berikutnya. Bagi para pengusaha, tak penting menjadi penguasa. Terpenting, bisa mengendalikan kebijakan di belakang panggung.

Mencari Akar Masalah  

Terlepas dari hal di atas, masalah utama negeri ini adalah tidak diterapkannya syariat Islam. Demokrasi yang merupakan ide cabang dari sekularisme memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada pemilik modal untuk menguasai, mengeruk, dan menghabiskan Sumber Daya Alam (SDA) demi perut sendiri. Memang, ada peran oligarki membangun negeri dalam bentuk pajak dan aktivitas sosial. Tapi, persentase penerimaan tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan hasil yang seharusnya diperoleh melalui pengelolaan dalam Islam. 

“Demi Tuhanmu, mereka hakikatnya tidak berman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang bereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya.” (TQS. An-Nisa’ : 65)

Islam memiliki solusi lengkap dan paripurna terkait pengelolaan SDA, dan karut marutnya kondisi negeri ini. Sayangnya, para pengambil kebijakan lebih memilih regulasi berdasar akal semata. Pada akhirnya, para polikus dan pejabat elit saat ini tercerai-berai karena hanya memikirkan perut sendiri. Di antara mereka tak tampak berjuang demi rakyat. Rakyat hanya dijadikan ‘atas nama’ untuk menutupi busuknya maksud dan tujuan mereka. Menjadi wajar jika semakin banyak masyarakat yang apatis dan skeptis terjadi perubahan melalui pemilu.
 
Para calon pemimpin ataupun calon legislatif sibuk mengambil hati rakyat saat mendekati pemilu. Namun, mereka yang berhasil duduk di kursi lebih suka mempertontonkan arogansi kekuasaan tanpa henti usai gelaran pesta demokrasi. Dalam benak mereka, hanya tampak bagaimana cara membayar utang budi oligarki yang telah turut memuluskan jalan meraih tampuk kekuasaan. Sejak proses pemilihan capres maupun caleg (calon legislatif) sudah membentuk lingkaran setan. Menjadi wajar jika urusan rakyat selalu menjadi taruhan.    

Tak berlebihan jika syarat calon penguasa dalam Islam tidak cukup laki-laki muslim, tapi juga harus baligh, berakal, adil, mampu, dan merdeka. Tidak ada syarat calon penguasa harus berasal dari suku atau etnis tertentu. Akan tetapi, penguasa harus memiliki kemampuan menjalankan urusan rakyat berdasarkan syariat Islam dan tidak dikendalikan oleh pihak manapun. Alhasil, kebijakan yang lahir adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat secara umum, bukan demi kepentingan kelompok tertentu, apalagi oligarki. Wallahu’alam bishshowab.

Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Pemerhati Sosial dan Politik
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments