TintaSiyasi.com -- Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang dikeluarkan Presiden Jokowi menuai polemik. Diketahui dalam PP ini pemanfaatan hasil sedimentasi laut berupa pasir laut akan diekspor ke luar negeri. Hal ini tertuang dalam Pasal 9 Ayat (2) huruf D yang menyebutkan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi Pasal 9 ayat 2 huruf d sebagaimana dikutip dari JDIH Setneg.(www.cnnindonesia.com, Senin, 29/05/2023)
Berkaitan dengan ekspor dan penjualan pasir laut, beberapa Menteri Jokowi langsung merespons dukungannya, berikut penjelasan mereka seperti dikutip cnbcindonesia.com, kamis (2/6/2023). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan alasan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut, untuk menjaga alur pelayaran dan nilai ekonomi akibat sedimentasi tersebut. Dia menjelaskan sedimen yang terjadi di dasar laut, membuat pendangkalan alur pelayaran dan membahayakan bagi kapal yang melintas. Selain itu pasir laut juga memiliki nilai ekonomi bagi negara. Terlebih sedimen yang berupa lumpur itu juga menurutnya lebih baik dijual ke luar negeri ketimbang menumpuk di jalur pelayaran. Di sisi lain, Arifin menyebut negara seperti Singapura pasti membutuhkan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan alasan soal ekspor pasir laut. Menurut Trenggono, nantinya akan ada aturan turunan berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) PP Nomor 26 Tahun 2023. Di dalam aturan turunan tersebut, dibentuk Tim Kajian yang terdiri dari KKP, Kementerian ESDM, KLHK, hingga LSM Lingkungan seperti Walhi dan Greenpeace. Tim Kajian ini menurut Trenggono yang akan menentukan apakah hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut bisa diekspor atau tidak. Menurut Trenggono ekspor hasil sedimentasi laut sah-sah saja dilakukan termasuk diekspor ke Singapura untuk kebutuhan reklamasi mereka.
Disisi lain keputusan Presiden Jokowi dalam membuka keran pasir laut menuai kritikan. Banyak pihak yang menginginkan Jokowi membatalkan ekspornya. Diketahui dalam Pasal 6 beleid tersebut, Jokowi memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut. Pun Jokowi juga memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk membersihkannya.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melalui akun twiternya, berharap Presiden Joko Widodo membatalkan keputusannya dalam membuka keran ekspor pasir laut.
"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut," tulis Susi dalam akun resmi Twitternya, Senin (29/5).
Kritik serupa juga dilontarkan pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan izin ekspor pasir laut. Sebab kata dia, izin ekspor pasir laut berpotensi merusak lingkungan.
“Presiden Jokowi sebaiknya membatalkan izin ekspor pasir laut karena berpotensi merusak lingkungan dan ekologi, menyengsarakan rakyat pesisir laut, dan menenggelamkan pulau-pulau, yang mengerutkan wilayah daratan Indonesia,” kata Fahmy dalam keterangan tertulis, Rabu (31/5/2023).
Kritikan juga dilayangakan Ketua Umum DPP Partai Ummat, Ridho Rahmadi. Ia menyoalkan sikap Presiden Jokowi yang melegalkan penjualan pasir laut ke luar negeri. Menurutnya, kebijakan itu akan mempengaruhi kontur dasar laut, yang mempengaruhi arus dan gelombang laut. Selain itu, Ridho juga menyinggung dampak di beberapa daerah, seperti Kota Batam yang berpotensi tenggelam meski bisa diselamatkan dengan reklamasi. Kemudian, Kabupaten Karimun dan Pulau Kundur juga rusak akibat penambangan pasir darat. Ia juga menyinggung soal kondisi Pulau Sebaik yang kerap tenggelam saat laut pasang, dan penurunan penangkapan akibat pembukaan lahan untuk pelabuhan pendaratan pesisir. Ridho juga mempertanyakan suara siapa yang didengar oleh Jokowi sehingga menerbitkan aturan tersebut. Ia menyoalkan kepentingan dari penerbitan regulasi itu, padahal ekspor pasir laut bisa menggeser batas negara. (tirto.id, 01/06/2023)
Fakta penjualan pasir laut ke luar negri sesungguhnya makin menunjukan bahwa pemerintah tidak memikirkan dampak buruk kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat kebijakan ini. Alih alih dianggap ‘menguntungkan’ sesungguhnya penambangan pasir laut merugikan ekosistem laut yang pada akhirnya akan membahayakan kehidupan umat manusia. Hal yang pernah masyarakat rasakan adalah abrasi pesisir laut dan erosi pantai yang menyebabkan hilangnya pulau kecil, sebagaimana terjadi di Kepulauan Riau. Sesungguhnya kebijakan ini terjadi karena negri ini menerapkan sistem kapitalisme, sehingga tidak ada peluang bagi rakyat untuk bisa memilikinya dan menikmatinya. Negara yang menggunakan sistem ini, kebijakannya hanya fokus pada keuntungan korporasi dan mengabaikan persoalan rakyat. Oleh karenanya, wajar jika dalam sistem ini, SDA (Sumber Daya Alam) yang ada dijual ke asing.
Berbeda dengan cara pandang Islam terhadap Sumber Daya Alam. Dalam Islam, pasir laut adalah SDA milik umum sehingga tidak boleh dikuasai swasta apalagi dijual kepada asing. Pasir laut termasuk SDA yang ada di laut, kandungan pasir laut yang mayoritas adalah silikon oksida (SiO2) dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan manusia dan juga bermanfaat bagi kelangsungan ekosistem laut. Pemerintah dalam Islam (Khilafah) akan mengelolanya kemudian hasilnya, dikembalikan lagi kepada rakyat sebagai pemilik sahnya. Ini sebagaimana sabda Rasulullah ï·º, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Negara Khilafah hanya diperkenankan mengelola SDA untuk dikembalikan dalam kemanfaatannya untuk rakyat, bukan melalui prinsip bisnis, alih-alih demi keuntungan. Namun jika produksi pasir laut berlebih, maka bisa juga diekspor dengan mempertimbangkan aspek pertahanan dan keamanan negara serta politik luar negeri Khilafah. Jadi bukan sekadar mengejar keuntungan, apalagi ikut-ikutan kebijakan liberalisasi perdagangan. Oleh karena itu, SDA tidak boleh dimiliki atas nama individu, apalagi oleh korporasi maupun swasta lokal dan asing. Demikianlah yang dibutuhkan rakyat bukan sekadar larangan ekspor, tetapi kebijakan untuk mengembalikan seluruh SDA yang jumlahnya melimpah menjadi milik rakyat dan dinikmati oleh rakyat bukan untuk diekspor ke luar negeri.
Oleh: Rey Fitriyani
Aktivis Muslimah
0 Comments