Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Makna Hakiki Merdeka


TintaSiyasi.com -- Evaluasi dan refleksi kemerdekaan mesti berfokus pada makna hakiki kemerdekaan. Indonesia mungkin telah merdeka secara fisik, namun cengkeraman negara-negara Barat sangatlah kuat, hingga kebijakan-kebijakan yang ada didominasi oleh kepentingan-kepentingan mereka. Perlu adanya evaluasi kembali, “Apakah Indonesia benar-benar telah merdeka?”

 Indonesia sedang dirundung pilu. Katanya sudah merdeka, tetapi realitasnya masih terpenjara. Tidak bebas dari kekufuran yang membelenggu rakyatnya. Tidak bisa menghamba dengan sebaik-baiknya ibadah pada Sang Pencipta. Perayaan pun digelar di setiap sudut kota dan desa, ditemani rakyatnya yang mayoritas sengsara.

Akibat kemiskinan, jutaan balita kurang gizi, kebutuhan hidup tidak terpenuhi, kebodohan menjangkiti generasi, kriminalitas merajalela, kesehatan hanya dimiliki oleh orang kaya, keamanan bak barang mewah yang sulit dirasakan warga. Dengan inilah paradoks negeri berlimpah sumber daya alam.

Memang benar kalau saat ini tidak ada senjata penjajah yang menghujam para jiwa di negeri ini, namun bukan berarti kita telah merdeka seutuhnya. Ketertundukan pada sistem kufur, penjajahan budaya, kelaparan, kemiskinan, kebodohan, dan setumpuk problematik yang diidap, semua itu tetap ada, bahkan keberadaannya semakin ter-mutajasad pada kehidupan masyarakat.

Kemerdekaan meliputi merdeka individu, masyarakat dan negara. Individu merdeka, berperilaku benar, sesuai keyakinannya (Islam), dan mandiri bukan karena tekanan atau sekadar mengikuti orang lain.

Dilihat dari sisi individu merdeka. Sejatinya, kemerdekaan hakiki adalah saat kita terlepas dari belenggu kekufuran. Individunya berperilaku benar sesuai keyakinannya, yaitu ajaran agama Islam. Masyarakatnya berpola pikir dan memiliki gaya hidup yang terlepas dari kungkungan budaya selain Islam. Negaranya terbebas dari penjajahan, baik fisik, politik, ekonomi, dan budaya. Juga menerapkan aturan Allah SWT secara kaffah dalam setiap kebijakannya.

Individu yang merdeka adalah yang terbebas dari belenggu kekufuran. Ia berperilaku benar sesuai syariat Islam tanpa ada tekanan ataupun arus yang secara sistem menyesatkan. Individu harus terbebas dari perbudakan modern, yaitu arus yang diciptakan Barat untuk menyeret umat ke dalam kehidupan yang sesuai dengan kepentingan kafir penjajah.

Individu yang merdeka adalah ia yang terbebas dari pemahaman kufur, seperti sekularisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, pluralisme, sinkretisme, dan lainnya. Ia seharusnya mampu berpikir mengenai asal usul kehidupan dan seluruh ciptaan-Nya yang seluruhnya itu akan mengantarkan pada keimanan yang kuat dan produktif.

Namun kenyataannya, rakyat masih terbelenggu dengan pemikiran kufur. Sekularisme masih menjadi ideologi yang diembannya. Liberalisme masih menjadi pijakannya dalam bertingkah laku. Pluralisme bahkan sinkretisme malah masif disebarkan. Bukankah ini semua menandakan individu belum merdeka?

Kemudian kita lihat dari sisi masyarakat merdeka. Masyarakat yang merdeka adalah masyarakat yang terbebas dari budaya kufur. Kehidupannya terpelihara dari nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Mereka pun memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama. Tujuan hidup mereka adalah semata menggapai ridha Allah SWT.

Mereka pun harus memiliki perasaan marah tatkala nilai-nilai Islam “teramputasi”. Pada saat yang sama, mereka merasa bahagia tatkala nilai-nilai Islam diterapkan. Tolok ukur perbuatan mereka adalah halal dan haram sehingga apapun maslahat yang didapat, jika semua itu tidak halal, tidak akan mereka lakukan. Sebaliknya, mereka akan melaksanakan syariat walaupun maslahat tidak tampak di hadapan mata seorang manusia.

Aturan pun harus terbebas dari campur tangan manusia sebab aturan yang pas untuk manusia hanyalah aturan dari Sang Pencipta. Manusia hanya mampu menggali hukum, bukan membuatnya. Kebahagiaan tertinggi mereka adalah ketika syariat Islam diterapkan dengan sempurna dalam satu institusi. Oleh sebab itu, mereka akan makin khusyuk dalam beribadah pada Allah SWT dan makin bersemangat mengerjakan amal kebaikan.

Namun, sekali lagi, kenyataannya masyarakat Indonesia masih terbelenggu dengan nilai-nilai kufur. Kebebasan tingkah laku, seperti LGBT, malah dipropagandakan. Sedangkan ceramah-ceramah Islam justru dibatasi. Citayam Fashion Week diapresiasi, sedangkan pengajian massal Malioboro dipersekusi. Bukankah masyarakat seperti ini belum merdeka?

Nah selanjutnya kita lihat dari sisi negara merdeka. Negara merdeka adalah yang terbebas dari penjajahan baik secara fisik, politik, ekonomi juga budaya. Negara yang bebas menerapkan aturannya dalam melindungi rakyatnya. Tidak lagi ada tekanan dari negara yang pernah menjajahnya atau lainnya. Dan bagi umat Islam tentu saja negara tersebut haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW yaitu sebuah negara yang menerapkan aturan Allah dalam berbagai kebijakannya. Negara yang terbebas dari penjajahan politik adalah negara yang bebas menentukan segala kebijakan, independen, dan tidak ada tekanan dari asing.

Sayangnya, demokrasi yang menjerat sistem politik negeri ini hanya akan menyisakan para penguasa komprador yang bekerja berdasarkan pesanan tuannya. Politik transaksional yang terjalin antara pengusaha dan penguasa melahirkan kebijakan yang tidak pernah memihak rakyat.

Kemudian, maksud dari terbebas dari penjajahan ekonomi adalah negara terlepas dari berbagai perjanjian dagang dan utang luar negeri. Ini karena sejatinya, kedua hal tersebut merupakan alat penjajahan negara makmur untuk makin menghegemoni negara miskin. 

Negara pun harus mandiri dalam mengelola SDA-nya agar kepemilikan aset tidak berpindah pada swasta asing. Namun nyatanya, kapitalisme telah menjerat negeri ini untuk masuk pada perjanjian dagang yang tidak pernah menguntungkan rakyatnya. Sistem ini pula yang menyebabkan utang kian membengkak tersebab “rentenir dunia” selalu menyodorkan “bantuan” yang tidak pernah gratis.

Selain itu, kebebasan kepemilikan yang diatur dalam sejumlah regulasi juga menjadikan mayoritas SDA dikuasai swasta asing. Jadilah negara tidak memiliki dana untuk menjalankan negara dan proses pembangunannya. Satu-satunya solusi dalam menambal defisit negara adalah utang dan pajak. Bukankah ini artinya negara tersebut belum merdeka?

Wahai kaum Muslim, mari kita renungkan untuk kesekian kalinya mengenai hakikat kemerdekaan. Janganlah memejamkan mata dan menutup telinga terhadap yang menimpa negaramu dan orang-orang di sekitarmu. Sungguh, tidak ada yang tersisa kecuali kemalangan yang amat besar. Persoalan demi persoalan tidak kunjung usai. Di tengah kefakiran mereka, kekufuran makin bersemayam.

Terkait misi kemerdekaan, Rasulullah SAW pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:

«… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ …»

"Amma badu. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)" (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, V/553).

Sungguh, Rasulullah telah memerinci apa saja yang harus dilakukan dalam berjuang mengembalikan kehidupan Islam. Sebagaimana Rasulullah SAW berdakwah hingga kehidupan kufur di Makkah berubah menjadi kehidupan Islam yang ditandai dengan penegakan satu institusi yang menerapkan Islam kaffah di Madinah. Kemudian para sahabat melanjutkan perjuangan beliau dengan menegakkan khilafah hingga mampu menguasai 2/3 bagian dunia.

Inilah kemerdekaan hakiki, yakni saat manusia terbebas dari kekufuran. Kehidupan masyarakatnya terbebas dari nilai-nilai selain Islam dan negaranya terbebas dari dikte pihak luar. Inilah yang akan mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan dan ketinggian peradabannya. Dan itulah makna kemerdekaan hakiki Indonesia? Sungguh kita belum merdeka dalam makna sebenarnya, kecuali hanya lepas dari penjajahan fisik.

 Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Elyarti
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments