TintaSiyasi.com -- Presiden Republik Indonesia (RI), Jokowi, memasang target akan mengentaskan kemiskinan ekstrem hingga Nol persen ketika mengakhiri masa jabatannya pada tahun depan. Presiden Jokowi memaparkan usia menghadiri Rakernas pada Selasa (06-06-2023). "Berkaitan dengan kemiskinan ekstrem ini, sebetulnya kita sudah rencanakan di periode ke-2 ini, agar di 2024 itu kita berada pada posisi nol. Kemiskinan ekstrem kita. Kita akan kerja keras dan mati-matian. Tapi kita terkendala di COVID-19 hampir 2,5 tahun. Tapi saya masih meyakini di 2024 itu akan turun drastis."
Namun, para pakar ekonomi merasa tidak yakin akan keberhasilan Jokowi dalam meraih target tersebut. Pasalnya, target tersebut dinilai terlalu ambisius sehingga diprediksi mustahil tercapai. Peneliti SDGs Center menyampaikan pendapatnya bahwa optimisme Jokowi terkait penghapusan kemiskinan ekstrem bertabrakan dengan realita, sebab angka kemelaratan di Indonesia masih cukup tinggi di 2023. Artinya, target tersebut jauh diatas target SDGs yaitu nol persen kemiskinan ekstrem di 2030. (VOA Indonesia, 10-06-2023).
Kemiskinan ekstrem dikategorikan dengan adanya kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity / PPP) hanya mencapai $1,9. Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, mengkategorikan kemiskinan ekstrem jika pengeluarannya ada di bawah Rp. 10.739 per orang per hari atau Rp. 322.170 per orang per bulan. Berdasarkan kategori ini, pada Maret 2021 ada 2,14 persen atau 5,8 juta jiwa masyarakat Indonesia yang terkategori miskin ekstrem.
Halusinasi Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem
Sejatinya kemiskinan ekstrem yang terjadi di Indonesia merupakan kemiskinan yang struktural, yakni kemiskinan yang dialami oleh suatu golongan masyarakat dikarenakan struktur sosial yang tidak bisa ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk dia. Alhasil, kemiskinan terjadi akibat salah urus oleh negara, dengan kata lain sistem yang diterapkan negara gagal merealisasikan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Di samping itu, penerapan sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan sumber daya alam dikapitalisasi dan dikuasai oleh para korporat atau pemilik modal sehingga kekayaan sumber daya alam hanya berputar pada segelintir elit saja. Dengan demikian, masyarakat miskin hanya tinggal gigit jari sambil meratapi kemiskinannya, disebabkan tidak mampu mengakses sumber daya alam yang melimpah.
Oleh karena itu, selama sistem kapitalisme masih diterapkan di Indonesia, kemiskinan serta kemiskinan terkategori ekstrem tidak akan pernah menemui solusi penyelesaian. Kebijakan bantuan sosial (Bansos) dengan penyaluran uang atau dana sebagai modal usaha tidak efektif mengentaskan kemiskinan ekstrem karena hanya merupakan kebijakan tambal sulam. Sedangkan, masalah dasarnya adalah ketimpangan ekonomi, yang tidak terselesaikan. Sehingga dikatakan mengentaskan kemiskinan ekstrem hingga nol persen dal sistem kapitalisme merupakan halusinasi.
Tuntaskan Kemiskinan Ekstrem dengan Islam
Sejatinya, kemiskinan merupakan bentuk tidak terpenuhinya kebutuhan primer manusia. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam tentunya jauh berbeda dengan kebijakan tambal sulam yang berasal dari sistem kapitalisme. Dalam karya Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, menggambarkan bahwa politik ekonomi islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer pada setiap individu secara menyeluruh dan membantu setiap individu diantara mereka dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya. Dengan begitu, jaminan pemenuhan kebutuhan primer merupakan dasar utama politik ekonomi Islam. Karena hakikatnya, politik dalam Islam adalah aktifitas riayah suunil ummah.
Kebutuhan primer dalam Islam terbagi menjadi dua bagian, pertama, kebutuhan primer bagi setiap individu yakni berupa sandang, pangan dan papan. Kedua, kebutuhan primer bagi masyarakat secara keseluruhan yakni berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Islam menjamin kebutuhan primer setiap individu dengan mewajibkan para laki-laki yang mampu untuk bekerja/mencari nafkah. Untuk memastikan terlaksananya kewajiban mencari nafkah, Khilafah akan menjamin tersedianya lapangan pekerjaan. Dengan posisi Khilafah sebagai negara industri, Khilafah bisa membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Selain itu, Khilafah juga akan mewujudkan iklim usaha yang kondusif dan produktif.
Dalam karya Syaikh Al 'Alamah Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Kepemilikan individu, setiap rakyat dibolehkan berusaha dan mempunyai kepemilikan individu. Sedangkan, kepemilikan umum, seperti, hutang, tambang, laut, sungai, gunung, dll merupakan hak seluruh manusia sehingga negara mengelolanya untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Kepemilikan umum ini tidak boleh dikuasai individu/swasta karena mengakibatkan penguasaan sumber daya alam yang berujung pada ketimpangan ekonomi, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Sedangkan kepemilikan negara, dikelola oleh negara dan hasilnya untuk keperluan negara.
Dengan pengaturan kepemilikan ini, tidak akan terjadi kapitalisasi, eksploitasi sumber daya alam yang hanya menguntungkan segelintir kapitalis, sehingga setiap individu merasakan kesejahteraan sebagai hasil pengelolaan sumber daya alam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Sartika
Tim Pena Ideologis Maros
0 Comments