TintaSiyasi.com -- Persoalan kemiskinan adalah persoalan yang krusial yang saat ini masih menghantui negeri. Tingkat keekstreman kemiskinan dapat diibaratkan sebagai “kerak nasi” yang sangat menempel pada wadah nasi, dimana diperlukan daya ungkit yang lebih keras untuk membersihkannya. Maka dari itu pemerintah sangat ingin mengentaskan masalah tersebut dengan menargetkan angka kemiskinan ekstrem dapat turun menjadi 0% di tahun 2024, namun apakah ambisi tersebut dapat terwujud dalam sistem hari ini? atau hanya sebuah permainan ilusi yang saat sedang mereka mainkan? Tentu pertanyaan tersebut bisa muncul dalam benak, karena melihat fakta hari ini angka kemiskinan masih juga belum turun, yang ada justru meningkat.
Dikutip dari voaindonesia.com, Sabtu (10/06/2023), Bapak Presiden Joko Widodo ingin mengentaskan kemiskinan ekstrem ketika mengakhiri masa jabatannya di tahun depan. Namun optimisme tersebut justru bertabrak dengan realitas yang ada, karena angka kemelaratan di Tanah Air masih cukup tinggi ditahun ini. Pendapat itu disampaikan oleh peneliti dari SDGs Center, Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Arief Anshory Yusuf ketika berbincang dengan VOA. Para pakar juga mengatakan bahwa target mengentaskan kemiskinan tersebut terlampau ambisius sehingga dapat dipastikan hampir tidak mungkin tercapai.
Kemiskinan ekstrem yang dialami oleh masyarakat Indonesia hari ini merupakan salah satu pekerjaan rumah yang sangat membutuhkan solusi konkret untuk menyelesaikannya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan angka kemiskinan ekstrem di maret 2022 masih mencapai 2,04 persen dan presentase penduduk miskin pada September 2022 sebesar 9,57 persen, meningkat 0,03 persen poin terhadap Maret. Disamping itu presiden Indonesia terus menargetkan jika kemiskinan ekstrem bisa mencapai nol persen pada tahun 2024. Meskipun berbagai kalangan dan pakar masih menganggap bahwa hal tersebut mustahil untuk dilakukan. (Kumparan, 30/01/2023).
Masih tingginya angka kemiskinan yang melanda negeri termasuk kemiskinan ekstrem telah menunjukkan bahwa telah gagalnya para pemerintah atau penguasa negeri ini dalam menuntaskan problematika tersebut sampai ke akarnya. Pasalnya komitmen pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan hanya berpatokan pada angka dan data saja, namun penuntasan tersebut tidaklah dibarengi dengan kebijikan yang memudahkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan di tengah harga bahan pokok pangan yang terus melonjak.
Problematika kemiskinan yang terjadi hari ini juga tidak terlepas dari fenomena-fenomena seperti PHK dan lapangan pekerjaan minim yang mencetak banyak pengangguran, sehingga banyaklah masyarakat yang tidak bisa bekerja serta memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka dapat dipastikan pemerintah hanya ingin menuntaskannya hanya dari segi kuantitas namun kualitasnya diabaikan.
Perlu dipahami bahwa kemiskinan yang terjadi di negeri ini merupakan kemiskinan yang struktural, kemiskinan struktural dapat terjadi karena adanya penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini menjadikan distribusi kekayaan tidak adil, tidak merata dan bahkan tidak bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Kesenjangan antar masyarakat makin hari makin meluas, di mana akses kekayaan hanya bisa dinikmati oleh segelintir yaitu para cukong dan pemilik modal. Sebaliknya rakyat miskin yang tidak memiliki akses akan terus terjerembab ke dalam jurang kemiskinan. Kesenjangan semacam ini dapat terjadi akibat adanya liberalisasi ekonomi yang mengizinkan orang asing, baik itu individu atau kelompok untuk menguasai sumber daya alam yang sejatinya adalah milik rakyat. Oleh karenanya, dapat dipastikan bahwa pemilik modallah yang memiliki akses terhadap kekayaan tersebut, disamping itu negara juga membantu dari segi regulator yang memudahkan jalan bagi korporat yang menguasai aset-aset negara ini.
Dalam sistem ini, para pejabat dan penguasa diciptakan untuk menjadi tidak amanah dan sangat mudah untuk melakukan berbagai tindak kejahatan yang merugikan rakyat, seperti korupsi yang dilakukan secara berjamaah ditambah sanksi yang hadirkan tidaklah memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan tersebut. Para penguasa dengan sangat bebas menikmati uang negara yang diambil dari penerapan kebijakan pajak bagi masyarakat, rakyat menderita penguasa bergembira. Sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi yang diterapkan pada negeri ini akan terus menjadikan negeri ini berada dalam lingkaran kemiskinan yang makin menjerat.
Jika sistem buatan manusia tidak mampu mengatasi hal tersebut, maka sudah seharusnya kita kembali kepada satu-satunya solusi yang konkret yakni sistem Islam yang dengan nyata mampu mengakhiri lingkaran kemiskinan yang ekstrem saat ini. Dengan adanya sistem Islam kemiskinan dapat terealisasi melalui politik-ekonomi Islam yang dijalankan dan diterapkan oleh pemimpinnya (khalifah) dalam sebuah negara yang disebut dengan khilafah. Politik ekonomi Islam yang dijalankan haruslah berlandaskan syariat Islam, khalifah dalam hal ini haruslah mampu mengelola harta untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya, mulai dari harta bergerak hingga harta yang tidak bergerak yang diambil dari Baitul Mal.
Selanjutnya, khalifah juga harus mampu memenuhi kebutuhan mendesak dan jangka panjang bagi penerima subsidi. Departemen sosial dalam negara Islam wajib untuk membantu khalifah dalam mendata penduduk secara detail terkait pendapatan atau penghasilan rakyatnya yang kemudian dikategorikan dalam miskin dan tidak miskin. Bagi kategori miskin yang memiliki kemampuan dalam bekerja, seperti bertani, berdagang atau lainnya, maka khalifah wajib membantu dengan memberikan bantuan modal sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Dalam negara Islam, sistem keuangan negara yang diatur dalam Baitul Mal dengan pos-pos pendapatannya sesuai syariat Islam, tanpa adanya pajak ataupun utang ribawi. Negara juga akan membuka lowongan pekerjaan yang luas bagi masyarakatnya dan akan sangat melarang adanya privatisasi SDA oleh pihak swasta, dalam negara Islam SDA haram dikuasai oleh sebagian orang sebab dapat merugikan sebagian yang lain. Karenanya Islam mengatur pengelolaan kekayaan hanya ada di tangan negara dan seluruh hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk jaminan dasar, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan yang dapat dinikmati secara percuma. Begitupula kebutuhan lainnya yang sangat mudah didapatkan oleh rakyat dengan harga yang relatif murah dan terjangkau.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Sintia Wulandari, S.E.
Aktivis Muslimah
0 Comments