Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mewujudkan Kedaulatan Pangan Hakiki

TintaSiyasi.com -- Ngawi menjadi top reference. Ini lantaran produktivitas padi di Ngawi yang tinggi sehingga menjadi sampel verifikasi sektor pertanian mewakili Jawa Timur. Hasil panen padi berada di rentang 8-10,5 ton per hektare. Penilaian tersebut sangat penting guna mewujudkan visi Jatim sebagai lumbung pangan nasional. (radarmadiun.jawapos.com, 11/5/2023)

Namun, fakta lain menjadi tantangan. Banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan non pertanian.  Bukan hanya di Jatim, tetapi juga di berbagai wilayah di Indonesia. Pembangunan telah membabat lahan pertanian hingga banyak menyusut.

Menurut hasil evaluasi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP), sebanyak 1.100 hektare lahan pertanian menyusut tiap tahunnya. Mentan, Syahrul Yasin Limpo, mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang membuat lahan pertanian makin berkurang adalah mudahnya perizinan menjadi lahan non pertanian. Mentan juga menyatakan bahwa ini adalah masalah yang serius karena memengaruhi produksi pangan nasional. (liputan6.com, 25/5/2023)

Dari kedua fakta di atas tampak ada kontradiksi. Terlihat bahwa antara visi dengan aksi tidaklah sejalan. Di satu sisi pemerintah ingin mewujudkan daerahnya sebagai lumbung pangan. Namun, di sisi lain terjadi alih fungsi lahan besar-besaran yang nyatanya atas seizin pihak berwenang.

Pembangunan Kapitalistik

Masifnya alih fungsi lahan pertanian memang tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah sendiri. Meskipun telah ada UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk menjaga luas lahan pertanian, tetapi tak mampu mencegahnya. Aturan ini tak berdaya di tengah laju industrialisasi dan pembangunan. 

Para pemangku kebijakan justru dengan mudahnya memberikan izin atas alih fungsi lahan. Pemerintah sering kali tunduk pada kepentingan korporasi. Lahan-lahan pertanian dibangun berbagai macam pabrik atau infrastruktur yang sebenarnya lebih menguntungkan para pemilik modal.

Seperti halnya Ngawi yang dipersiapkan untuk menjadi kawasan industri baru di Jatim bersama Madiun dan Nganjuk. Ini tentu akan mengalihfungsikan lahan. Lahan pertanian menghilang dan warga tergusur. 

Berkurangnya lahan pertanian juga membawa konsekuensi menurunnya produksi pangan. Ini memengaruhi harga pangan menjadi makin mahal. 

Kurangnya produksi pangan kemudian disolusikan dengan impor dari luar negeri. Keran impor dibuka lebar-lebar. Barang-barang dari luar pun membanjir di dalam negeri hingga menggeser produk lokal milik rakyat sendiri. Yang mendapat untung adalah importir besar yang notabene pemilik kapital. 

Lemahnya Pengurusan

Insentif untuk para petani juga makin turun seiring turunnya subsidi pupuk dari tahun ke tahun. Subsidi pupuk yang pada 2019 sebesar Rp34,3 triliun, angkanya turun menjadi Rp31 triliun pada 2020. Kemudian turun lagi menjadi Rp29,1 triliun pada 2021. Subsidi pupuk makin berkurang hingga menjadi Rp 25,3 triliun pada 2022 dan kini menjadi Rp24 triliun pada 2023. 

Adanya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022, pupuk bersubsidi yang semula terdiri atas 6 jenis tinggal hanya menjadi 2 jenis. Yaitu pupuk urea dan NPK (nitrogen, fosfor, dan kalium). Tanaman yang mendapatkan pupuk bersubsidi pun hanya tertentu seperti padi, jagung, kedelai, kopi, kakao, tebu, cabai, bawang merah, dan bawang putih. Tidak hanya itu. Petani yang mendapatkan pupuk bersubsidi hanya mereka yang tergabung dalam kelompok tani. 

Jika memang pemerintah menganggap penting sektor pertanian yang merupakan mendukung ketersediaan pangan nasional, harusnya subsidi makin ditambah. Selain juga dengan meningkatkan dukungan kepada para petani sehingga bisa makin produktif. Namun, yang ada justru anggaran dan subsidi malah terus berkurang.

Akibat lemahnya pengurusan negara terhadap sektor pertanian, pendapatan masyarakat dari sektor ini juga makin mengecil. Produk domestik bruto (PDB) di sektor pertanian pada era Jokowi berada kurang dari 4%. Bahkan, pada tahun 2022, angkanya di bawah 2,5%. 

Pentingnya Kedaulatan

Negara yang memiliki kemandirian pangan akan mampu bertahan dan terjauhkan dari intervensi negara lain. Sebaliknya, negara yang bergantung pada impor akan cenderung mudah didikte oleh asing. Ini yang harus menjadi perhatian.

Kebijakan yang kapitalistik membuat sektor pertanian tak mampu menopang ketersediaan pangan. Padahal sektor ini sangat penting karena menjadi kunci terwujudnya ketahanan dan kemandirian pangan yang notabene merupakan hal mutlak untuk mewujudkan kedaulatan negara.

Dalam paradigma kapitalisme sekularisme dengan neoliberalnya, ketananan pangan tak akan bisa terwujud. Apatah lagi kedaulatan pangan. Sektor pertanian telah dikuasai oleh para pemilik kapital demi meraup cuan. 

Islam Wujudkan Kedaulatan

Islam memandang bahwa pangan merupakan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Sangat penting hingga negara akan menjamin persediaan pangan dalam kondisi apa pun. Pangan yang tercukupi akan memengaruhi kualitas SDM.

Maka dari itu, negara akan bersungguh-sungguh mengelola sektor pertanian agar mampu mencukupi kebutuhan rakyat. Bukan hanya supaya ketahanan pangan terwujud, tetapi sekaligus memantapkan kedaulatan pangan rakyat. 

Dalam Islam, pangan tidak cukup hanya bertahan, tetapi juga harus berdaulat. Jika bertahan, maka akan mencukupkan diri sekadar mampu bertahan dalam suatu kondisi. Namun jika berdaulat, maka akan secara aktif positif bergerak membangun kemandirian dan menghilangkan ketergantungan pada pihak lain. 


Kebijakan pangan dalam Islam akan mewujudkan terciptanya kemandirian pangan. Sinergisitas sektor pertanian dengan industri, transportasi, infrastruktur, teknologi dan yang lainnya dibangun dengan paradigma kemandirian. Tidak bergantung pada asing, baik dari sisi ekonomi, politik, ataupun teknologi. 

Dengan paradigma seperti ini, negara bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Negara akan menentukan arah politik pangan dan mewujudkannya dalam bentuk kebijakan praktis sesuai panduan syariat. Tidak ada intervensi asing ataupun ketundukan pada korporasi.

Seluruh lembaga pemerintahan juga akan menjalankan fungsi sebagai pengurus rakyat. Prinsip melayani, bukan mencari untung. Perhatian yang besar pada sektor pertanian dan masalah pangan rakyat ini bukan untuk kepentingan tertentu, melainkan dilandasi motivasi menjalankan amanah sebagai pengatur urusan rakyat sebagaimana sabda Rasulullah: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Mindset yang benar akan membentuk komitmen yang kuat untuk bertindak tepat. Begitu pula dalam mewujudkan kedaulatan pangan dibutuhkan mindset yang benar sehingga teraplikasi dalam kebijakan yang tepat sehingga tidak merugikan rakyat. Mindset yang dilandasi dengan pemikiran Islam. Di mana rida Allah menjadi tujuannya. Sangat berbeda dengan mindset kapitalisme sekuler yang bermotivasi profit.
 
Semua itu hanya bisa terwujud ketika negara menerapkan Islam secara kaffah. Hanya inilah jalan yang tepat mampu mewujudkan kedaulatan pangan hakiki. Karena itu, memperjuangkannya agar kembali tegak adalah sebuah keharusan. 
Wallahu a’lam bishshawwab

Oleh: Dina Dwi Nurcahyani
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments