TintaSiyasi.com -- Seorang remaja perempuan berusia 16 tahun di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah menjadi korban pemerkosaan oleh sebelas orang mulai dari oknum kepala desa, guru, dan anggota brimob. Diduga, sebelum menjalankan aksi bejatnya, pelaku mencekoki korban terlebih dahulu dengan narkoba dan miras hingga mabuk.
Unit Pelaksana Teknis Dinas Pemberdaya Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) Sulawesi Tengah, Salma menuturkan aksi bejat ini bermula saat korban menjadi relawan banjir di Parigi Moutong tahun lalu. Korban kemudian berkenalan dengan pelaku dan di imingi sebuah pekerjaan oleh oknum guru.
Salma mengatakan, usai menjalankan tugas sebagai relawan banjir, korban tidak pulang ke rumah melainkan menginap di salah satu penginapan di Parigi Moutong. Mulai saat itu satu per satu dari sebelas pelaku mulai memperkosa korban dengan berbagai imbalan. Para oknum yang saling mengenal juga membarter korban dengan narkoba jenis sabu, termasuk mengancam korban dengan benda tajam. Terkuak, pemerkosaan tragis itu terjadi berulang kali sejak April 2022 hingga Januari 2023.
Akibat pemerkosaan tragis itu pihaknya membenarkan kondisi kesehatan korban terganggu. Berdasarkan pemeriksaan medis, korban mengalami gangguan reproduksi hingga disebut akan menjalani operasi tumor rahim. (DetikNews.com, 31-05-2023)
Kekerasan Seksual Anak Makin Parah
Fenomena tindakan keji tersebut, menunjukkan bukti nyata daruratnya kekerasan seksual anak makin parah. Jika dulu yang menjadi tersangka hanya orang-orang yang tidak memiliki amanah dalam memberikan perlindungan, kini tersangka kekerasan seksual anak telah merambat pada tingkatan orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan, namun justru melakukan tindakan bejat yang tak senonoh, oknum brimob, misalnya. Sungguh sangat menyayat hati !
Ironisnya, Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah, Kombes Joko Wienarto, menyatakan bahwa oknum brimob masih didalami dugaan keterlibatannya. Artinya, oknum brimob belum bisa ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus keji tersebut. Alasannya, keterlibatan oknum brimob dalam kasus itu baru berdasarkan keterangan korban, dan 6 saksi yang sudah diperiksa penyidik belum menerangkan keterlibatan oknum brimob, alias bukti yang dikeluarkan belum cukup kuat.
Menurut analisis, brimob merupakan pasukan penanggulangan kriminalitas berkadar tinggi dalam jajaran kesatuan POLRI. Sehingga bisa saja oknum brimob bersekongkol dengan anggota kepolisian Sulawesi Tengah terkait kasus pemerkosaan yang keji tersebut. Bukan tidak mungkin hal itu terjadi ! Mengingat bagaimana sistem hukum yang diterapkan di dalam negeri ini, sangat mudah dibeli dengan cuan.
Makin parahnya aksi kekerasan seksual anak ini, sejatinya juga menunjukkan ketidak berdayanya regulasi negeri ini dalam melindungi keselamatan anak dari kekerasan seksual, meski sudah terdapat beberapa regulasi, termasuk Undang-undang Perlindungan Anak yang telah direvisi hingga dua kali.
Di samping itu, lemahnya sistem pendidikan saat ini, hal itu tercermin dari pelaku kekerasan seksual anak yang merupakan orang-orang terdidik, yang sudah seharusnya menjadi pelindung dan penjamin masa depan anak, namun malah merusak masa depan anak, oknum kepala desa dan guru, misalnya.
Pun sangat disayangkan dengan kondisi korban yang mudah terpedaya dengan iming-imingan sehingga melakukan perbuatan terlarang. menampakkan potret generasi yang pemikirannya (al-fikru) belum terbentuk utuh. Akibatnya, salah dalam menentukan standar perbuatan, dari sisi jenis (baik dan buruk) dan sifat (terpuji dan tercela). Keadaan ini membuktikan sistem pendidikan di Indonesia gagal dalam membentuk kepribadian yang kuat, tidak mudah tergoda melakukan pelanggaran hukum syara', meski dengan iming-imingan yang manis.
Kapitalisme Sekulerisme
Tidak dipungkiri, terjadinya fenomena pemerkosaan tragis ini tidak lepas dari sistem saat ini yakni kapitalisme sekulerisme yang menjadi asas kehidupan manusia. Asas ini membuat manusia menjadikan kesenangan dunia sebagai tujuan, meski harus menghalalkan berbagai cara demi meraih kesenangan tersebut.
Mirisnya, kapitalisme sekulerisme tidak hanya diterapkan dalam level individu, akan tetapi negara juga menjadikannya sebagai asas dalam mengurus rakyatnya, termasuk pembuatan regulasi. Hal inilah yang menjadi penyebab tak berdayanya regulasi yang telah dilegalisasi oleh negara.
Akidah Islam Solusinya
Kekerasan seksual anak tidak akan terjadi selama akidah islam yang menjadi asas kehidupan, baik level individu maupun level negara. Ketika akidah Islam yang menjadi asas kehidupan setiap individu, tentu umat akan taat terhadap syariat Allah dan meninggalkan perilaku serta perbuatan yang akan menjerumuskannya pada kemaksiatan. Keimanan akan mencegahnya untuk memperdaya orang lain dengan kekuatan pengaruhnya ataupun dengan harta yang dimilikinya.
Ketika negara membuat regulasi yang bersumber dari aturan Allah, maka anak-anak akan terlindungi, sebab aturan Allah merupakan aturan terbaik bagi umat manusia. Sistem sanksi (uqubat) dalam Islam memiliki definisi yang jelas akan kekerasan seksual yang penetapannya berdasarkan syariat Islam. Definisi sanksi (uqubat) berdasarkan hukum syara' jelas akan memudahkan penetapan jenis pelanggaran dan juga sanksi apa yang harus diterima.
Begitupun sistem pendidikan Islam, kerusakan kepribadian (syakhshiyah) akan dapat dicegah. Adanya sistem pendidikan Islam, setiap individu akan beriman, bertakwa, berakhlak mulia, menghormati orang lain, dan saling mengingatkan agar senantiasa tetap dalam ketaatan kepada Allah. Dengan demikian masyarakat akan terjaga kehormatan dan kemuliaannya. Kehidupan yang tenang dan aman terwujud nyata dalam sistem yang menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan.
Wallahu'alam Bisshawab..
Oleh: Sartika
Tim Pena Ideologis Maros
0 Comments