Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Korban Pemerkosaan Parigi Terancam Angkat Rahim, Akankah Terbayar dalam Sistem Zalim?

TintaSiyasi.com -- Kasus kekerasan seksual seperti enggan surut dari negeri ini. Makin hari pelaku justru makin berani, aksinya pun makin ngeri. Seperti yang terjadi baru-baru ini di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Seorang anak berumur 15 tahun telah diperkosa oleh 11 pria. Mirisnya diantara pelaku ada yang menjabat sebagai kepala desa, polisi, hingga guru.

Pemerkosaan ini telah mengakibatkan infeksi akut pada alat reproduksi korban hingga rahimnya terancam diangkat. Puncaknya, kasus ini dikatakan merupakan "yang terberat" di tahun 2023 merujuk pada banyaknya pelaku dan dampak pada korban. (bbc.com, 31/05/2023)

Meski ke-11 tersangka telah diamankan, namun ternyata sanksi belum ditentukan. Ada perbedaan pendapat di antara aparat penegak hukum dalam memandang kasus ini. Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho menyampaikan bahwa kasus ini bukan sebuah pemerkosaan melainkan persetubuhan anak di bawah umur. Hal itu karena tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman dalam kasus tersebut.(rejogja.republika.co.id, 02/06/2023)

Pernyataan inipun langsung mendapat respon negatif dari Pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto. Dia merpertanyakan, apakah Kapolda sebagai pimpinan penegak hukum di wilayah Sulteng memahami Undang-undang (UU) 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS. (rejogja.republika.co.id, 02/06/2023)

Aturan Silih Berganti, Pelaku Makin Menjadi
Jika kita mencermati aturan yang ada di negeri ini, tidak sedikit aturan yang telah disahkan untuk mencegah kekerasan seksual. Salah satunya UU TPKS yang digunakan untuk mengadili kasus di Parigi kali ini. 

Dilansir dari www.dpr.go.id, UU ini telah disahkan sejak 12 April 2022, namun jika kita mencermati, sejak tanggal tersebut hingga saat ini, mengapa kasus kekerasan seksual ini tetap semakin menjadi-jadi? Meski data terkait jumlah total kekerasan seksual anak hingga tahun 2023 ini belum ada, namun coba kita tengok di berbagai media, begitu banyak berita terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak. 
Diantaranya, seorang anak umur 13 tahun diperkosa oleh 9 pria di Sampang pada November 2022 (cnnindonesia.com, 02/11/2022).

Selanjutnya di Luwu seorang anak umur 11 tahun diperkosa 9 pria pada Desember 2022 (kompas.com, 03/12/2022). 

Itulah sebagian kecil kasus dengan jumlah pelaku yang tidak kecil, itupun bukan berarti tiap pelaku hanya melakukan aksinya sekali. Ini tetap terjadi meski UU TPKS telah disahkan. Lalu, tidakkah patut untuk dipertanyakan kembali, akankah aturan saat ini memang mampu memberi solusi? 
Terlebih jika menengok penyelesaian kasus Parigi, ketika silang pandangan justru ada di pihak kepolisian. Padahal pada merekalah rakyat berharap keamanan dan keadilan. Dari sini, tidakkah pantas muncul keraguan, akankah penderitaan korban bisa terbayarkan dengan keadilan?

Keadilan Butuh Standar yang Benar

Keadilan adalah suatu keadaan yang diinginkan setiap orang. Namun untuk mendapatkan keadilan, tentu tolak ukur yang digunakan untuk menilai setiap hal itu harus benar. Maka merupakan hal yang niscaya, terjadi silang pandangan di negeri yang masih menjadikan pendapat manusia sebagai acuan aturan kehidupan, bahkan  hal itu terjadi di antara mereka sendiri pihak yang berwenang. .
Bagi mereka, akan beda vonis hukuman ketika itu merupakan persetubuhan anak di bawah umur dengan pemerkosaan. Akan beda penyelesaian bahkan stigma sosial ketika itu dilakukan suka sama suka atau dengan paksaan. Padahal dalam Islam keduanya jelas sama-sama perzinahan.
Allah SWT. berfirman, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)", [An-Nûr/24:2]. Dalam hadits, "..dikenakan seratus dera dan diasingkan setahun". [HR Muslim]. Dan bagi pelaku zina yang telah menikah, hukumannya yaitu dirazam hingga mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab.

Hukuman dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir), dan pencegah (jawazir). Dengan hukuman tegas semacam ini tentu setiap manusia yang memang dianugerahi naluri berkasih sayang (gharizah al-nau'), akan berfikir dan berhati-hati dalam memenuhi kebutuhan nalurinya. Minim keinginan untuk berzina, sebab berzina berarti siap untuk sakit, sekarat hingga mati.

Aturan Islam yang sempurna ini tidak hanya dalam hal pemberian sanksi, tapi juga ada di segala lini. Terkait sistem sosial misalnya, pintu-pintu zina telah ditutup melalui aturan tata cara berpakaian, larangan khalwat dan lain sebagainya. Ekonominya pun juga demikian menyejahterakan, sehingga tidak ada alasan mencari cuan dengan menjual kehormatan.
Demikianlah jika Islam diterapkan secara keseluruhan. Kegemilangan peradaban yang dulu pernah menaungi selama 13 abad lamanya  pasti mampu kembali kita rasakan. "Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan hal yang membuat jaya umat terdahulu." [Imam Malik].


Oleh: Noor Dewi Mudzalifah
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments