TintaSiyasi.com -- Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada usia tersebut, seorang anak tentunya masih belum memiliki kematangan dalam berpikir maupun bertingkah laku. Sehingga rentan sekali mengalami tindak kejahatan dari orang-orang yang lebih dewasa.
Seperti halnya kasus yang menimpa seorang gadis berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Anak tersebut diduga mengalami kekerasan seksual hingga alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat. Hingga Selasa (30/05), Polda Sulawesi Tengah telah menahan lima tersangka dari 11 terduga pelaku dan memeriksa sejumlah saksi, dilansir bbc.com, Rabu (31/05/2023).
Hingga saat ini kondisi psikis korban masih sangat terguncang. Oleh karena itu Kepala Unit Dinas Pemberdayaan Perlindungan anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Tengah, Patricia Z Yabi dan pihaknya belum bisa menggali lebih jauh kronologi yang menimpa korban anak. Kendati demikian, pendamping korban dan Kepala Unit DP3A Provinsi Sulawesi Tengah minta kepolisian mengusut tuntas kasua tersebut dan menangkap semua pelakunya. "Kami akan pantau, apakah dalam penerapan pasal yang digunakan penyidik, juga menerapkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. UU ini akan menjawab mengenai pemulihan secara utuh pada korban dan restitusi atau ganti rugi yang sudah dialami korban pasca kejadian pemerkosaan," terang Salma.
Kasus kekerasan seksual pada anak sering terjadi, namun hanya sedikit yang muncul ke permukaan. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yakni 4.162 kasus. Menilik hal tersebut maka pantas saja jika Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak.
Perbedaan pendapat mengemuka berkaitan dengan definisi kasus kekerasan seksual di atas. Dimulai dari viralnya pernyataan seorang Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Irjen Agus Nugroho yang memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan. Hal ini beralasan karena tidak adanya unsur kekerasan, ancaman dalam kasus tersebut. Sontak saja pernyataan tersebut menuai tanggapan berbeda dari berbagai pihak. Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadyah Jakarta (UMI), Chairul Huda. Ia mengatakan bahwa Kapolda Sulteng keliru atas pernyataan yang disampaikannya. Karena menurut Chairul, persetubuhan terhadap anak itu termasuk kategori non-forcible rape (perkosaan tanpa paksaan), dilansir tempo.com, Minggu (4/6/2023). Bahkan menurut Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategies Studies (ISESS) Bambang Rukminto, pernyataan Kapolda Agus tidak sensitif gender. Oleh karena itu seharusnya Kapolri Jenderal Sigit Prabowo hendaknya mengevaluasi Kapolda yang tak sensitif terhadap kasus TPKS dan apa motif Kapolda membuat pernyataan yang mencoreng wajah Polri dengan tidak sensitif pada perlindungan anak dan TPKS tersebut.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Namun, sejauh ini upaya tersebut belum menampakkan hasilnya karena kenyataannya jumlah kasus tersebut dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa solusi yang dilakukan belum sampai menyentuh akar masalahnya. Sanksi yang diberikan hanya berupa kurungan penjara dan pemecatan dari instansi terkait jika pelaku adalah oknum pegawai pemerintahan. Tentu saja hal ini tidak akan berdampak dan menyelesaikan persoalan secara tuntas.
Di satu sisi pemerintah memang tampak memiliki keinginan untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual tapi di sisi lain disadari atau tidak pemerintah membuka jalan terjadinya kejahatan ini. Hal ini terbukti dengan bebasnya tayangan di media yang pada hakikatnya bisa memicu tindak kekerasan seksual. Seperti tayangan pornografi yang sangat mudah diakses berbagai kalangan hingga tontonan itu akan membangkitkan syahwat dan melampiaskannya secara sembarang. Ditambah sistem pergaulan yang bebas sangat memberikan peluang terjadinya kekerasan seksual seperti budaya pacaran, gaya berpakaian, dan semua hal yang datang dari luar syariat, memberikan dampak yang besar yang tak bisa diabaikan. Juga adanya kesimpangsiuran definisi dari kasus di atas antara pihak yang terkait hanya menambah pelik persoalan hingga berujung pada lamanya proses keadilan untuk korban. Semua hal di atas terjadi akibat masih diterapkannya sistem kapitalisme sekuler di negeri ini, sehingga apapun aturan yang diambil tidak akan mampu menghentikan bahkan menyelesaikan setiap persoalan sampai ke akarnya.
Lain hal dengan sistem Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam tentu saja memiliki aturan yang komprehensif terhadap seluruh persoalan, termasuk kasus kekerasan seksual. Islam memandang bahwa penyebab utama terjadinya kasus kekerasan seksual adalah sistem liberal yang tidak diatur oleh syariat. Karena itu dalam Islam tidak akan diberikan kebebasan terhadap masyarakat untuk berbuat sesuka hatinya. Islam akan melakukan dua upaya untuk menyelesaikan masalah ini yakni preventif dan kuratif.
Sebagai upaya preventif (pencegahan), Islam melarang melihat aurat lawan jenis, maka setiap fasilitas tontonan yang menampakkan aurat akan ditutup dan dilarang. Islam mewajibkan laki-laki dan perempuan menutup auratnya secara sempurna (lihat TQS. Al-Ahzab ayat 59). Selain itu Islam mewajibkan gadhul bashar (menundukkan pandangan) ketika melihat aurat lawan jenis, "Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki hendaklah mereka itu menundukkan sebagian pandangannya dan menjaga kemaluannya." (TQS. An-Nur ayat 30-31). Islam juga melarang antar lawan jenis yang bukan mahramnya untuk berkhalwat ( berdua-duaan) dan ikhtilat (campur baur) tanpa ada uzur syari di dalamnya. Semua aktivitas yang mendekati zina akan dilarang dengan tegas (lihat TQS. Al-Isra' ayat 32).
Sedangkan upaya kuratif, Islam memberikan sanksi tegas jika ada yang melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti sanksi untuk pelaku zina yaitu dengan 100 kali cambuk bagi yang belum menikah dan sanksi rajam sampai mati bagi yang sudah menikah (lihat TQS An-Nur: 2). Bagi kasus pemerkosaan, sanksi yang diberikan kepada pelakunya sebagaimana sanksi orang yang berzina. Sedangkan pihak korban tidak diberi sanksi. Jika melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan, terkena denda 1/3 dari 100 ekor unta atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina.
Dengan aturan-aturan yang bersifat preventif dan kuratif ini, maka orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan. Penerapan aturan secara utuh ini tentu akan menyelesaikan dengan tuntas masalah kekerasan seksual terhadap anak. Dan yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti ini hanyalah negara yang menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam semua aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Rita Yusnita
Aktivis Dakwah
0 Comments