TintaSiyasi.com -- Viral video seorang mahasiswa diusir karena menjawab bukan laki-laki atau perempuan (nonbiner) saat ditanya dosen terkait gender dalam siaran zoom, viral di media sosial pada 22/8/2022 (Tribunnews, 23/8/2022). Pro kontra media membelah opini masyarakat atas merebaknya video viral mahasiswa Unhas tersebut. Sebagaimana LG8T yang juga menuai kontroversional dalam masyarakat, peristiwa ini juga banyak ditarik sebagai opini bias yang cenderung abu-abu sikapnya.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Muhammad Sultan, menyatakan akan memberikan pengawalan terhadap Muhammad Nabil Arif Adhitya, mahasiswa yang mengaku non-biner. BEM FH Unhas akan memastikan Nabil bisa tetap kuliah hingga selesai. Sultan ingin objektif melihat permasalahan dan tak ingin menghakimi terkait tudingan yang menyebut Nabil sebagai pecinta sesama jenis serta menyebutkan yang disampaikan Nabil bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi negara (DetikSulsel, 23/8/2022).
Beberapa media menjadikan pemberitaan Nabil ini sebagai berita pemantik informasi LGBT plus. Tentu saja keviralan tersebut dimanfaatkan media sebaik mungkin sebagai bahan berita mumpung hangat. Termasuk memberikan info seluas-luasnya terkait LGBT dan perkembangannya.
Menurut video yang viral tersebut, semua terungkap pada saat masa pengenalan kampus karena Nabil adalah mahasiswa baru Unhas. Dosen Unhas yang bertanya dan mendapatkan jawaban nonbiner ketika ditanya gender lalu meminta panitia mengusir Nabil. Kebijakan kampus sendiri sebenarnya sudah jelas. Hal ini senada dengan Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman menyampaikan pihak kampus harus bertindak tegas mengenai jika adanya indikasi LGBT agar tidak terulang di kemudian hari (Fajar.co.id, 21/8/2022).
Melihat perkembangan berita memang terjadi pro kontra, tetapi lebih banyak yang membela dan mendukung daripada menindak tegas sebagaimana yang Gubernur Sulsel katakan. Bahkan jika dicari pernyataan Gubernur Sulsel ini tidak diunggah berita mana pun dan cenderung ditenggelamkan. Seolah nonbiner adalah masalah yang bisa dianggap wajar dan dimaklumi. Padahal sebagaimana yang dikatakan Gubernur Sulsel bahwa paham dan kampanye Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) harus ditolak, tidak diberi ruang untuk disebarkan (Fajar.co.id, 21/8/2022).
Pemprov Sulsel bahkan menerbitkan Surat edaran Pemprov Sulsel bernomor 420/8437/Disdik tentang Pencegahan Penyebarluasan Paham, Pemikiran dan Sikap Perilaku yang Mendukung LGBT di Lingkungan Kampus, Sekolah dan Madrasah tersebut diteken Sekda Sulsel, Abdul Hayat Gani per 22 Agustus 2022 untuk menindaklanjuti kasus ini dari jenjang sebelum universitas (DetikSulsel, 22/8/2022).
Menanggapi hal tersebut, Rektor Unhas, Profesor Jamaluddin Jompa, menegaskan, jika pihaknya telah mempertemukan dan mendamaikan mahasiswa dan oknum dosen tersebut (SindoNews.com, 22/8/2022).
Namun, disayangkan tampaknya sikap rektor Unhas tidak sejalan dengan Pemprov dan Gubernur Sulsel menanggapi LGBT di kampusnya. Ketidaktegasan Sang rektor bisa dianalisa adanya kekhawatiran proses seleksi maba yang sudah terselenggara di Unhas.
Menilik pro kontra yang terjadi sungguh sangat menyesakkan. Meski Asrullah, Ketua Umum PP Lingkar Dakwah Mahasiswa (Lidmi) berpendapat negara hanya mengakui dua jenis kelamin tapi melindungi kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan itu juga tidak boleh melawan norma hukum, norma kesusilaan, norma sopan santun maupun norma agama (Liputan 6, 22/8/2022).
Bisa dilihat bahwa negeri ini tidak tegas dan cenderung memfasilitasi LGBT. Hal ini tidak lepas dari sistem yang diadopsi negeri ini yaitu kapitalisme liberal yang berdasarkan akidah sekuler.
Adanya sikap plin-plan negara terlihat ketika membolehkan meski melanggar norma agama. Identik dengan akidah sekuler yang mengakui agama tapi tidak menggunakannya dalam aturan kehidupan. Maka, wajar ketika ajaran kapitalisme sekuler masif digaungkan negara, media opini dan pelaku nonbiner semacamnya semakin berani menunjukkan diri. Padahal jelas bahwa nonbiner dan LGBT adalah penyimpangan akan kodrat dirinya. Rusaknya kapitalisme menjadikan suatu yang menyimpang ini malah dibela dan difasilitasi serta dilindungi dengan dalih kebebasan berekspresi dan HAM.
LGBT dan kroni-kroninya justru akan menimbulkan kerusakan generasi dan berhentinya kelahiran sebagaimana negeri pengusungnya, AS, kini. Sistem kapitalis sebenarnya adalah sistem sakit yang dipaksakan di negeri-negeri Islam. Padahal ide LGBT merupakan ide salah kaprah dan melawan kodrat. Maka, gelombang LGBT wajar jika menuai kontra dari berbagai kalangan. Negara, lucunya, tutup mata dengan analisa kerusakan karena silau dengan dana kampanye LGBT yang besar. Khas kapitalisme liberal yang mengagungkan materi.
Maka, layakkah nonbiner dan LGBT dibela dan difasilitasi? Tentu saja tidak. Mereka harus dipaksa kembali pada kodratnya dan memilih salah satu jenis kelamin. Lalu negara juga tegas mengatur dan menghukum pelakunya sebagai kriminal yang melanggar hukum. Sebagaimana aturan syariat Islam yang sudah nyata-nyata berhasil menjaga generasi ini dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah pada masa Rasul SAW, Khulafahurasyidin hingga Turki Utsmani beberapa abad silam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Rina Tresna Sari, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan
0 Comments