TintaSiyasi.com -- Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia supaya mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity. Menurut mereka, seharusnya garis kemiskinan di Indonesia diukur dengan paritas daya beli melalui besaran pendapatan sebesar US$ 3,20 per hari, bukan dengan ukuran yang pemerintah gunakan sejak 2011 sebesar US$ 1,9 per hari. Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi, ukuran garis kemiskinan yang disarankan Bank Dunia itu belum bisa menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia. Selain itu, jika ukuran garis kemiskinannya dinaikkan, akan menyebabkan 40% masyarakat tergolong orang miskin. Ia menganggap, ukuran yang dijadikan acuan Bank Dunia itu harus ditelaah lebih lanjut untuk menyesuaikan dengan kondisi perekonomian domestik. Apalagi, ukuran yang ditetapkan Bank Dunia itu diberlakukan secara global (CNBC Indonesia, 9/5/2023).
Terlepas dari standar ukuran garis kemiskinan yang akan diberlakukan, bagaimana kondisi masyarakat Indonesia saat ini? BPS melaporkan, jumlah penduduk miskin September 2022 perkotaan meningkat sebanyak 0,16 juta orang dibanding Maret 2022 (dari 11,82 juta orang pada Maret 2022 menjadi 11,98 juta orang pada September 2022). Sementara itu, pada periode yang sama jumlah penduduk miskin perdesaan meningkat sebanyak 0,04 juta orang (dari 14,34 juta orang pada Maret 2022 menjadi 14,38 juta orang pada September 2022) (bps.go.id, 16/1/2023). Faktanya, masyarakat Indonesia masih mengalami hidup serba susah, dengan kenaikan berbagai harga barang dan jasa. Adakah jalan keluar dari problem kemiskinan ini, tatkala solusi ala kapitalis saat ini tak mampu memberi perubahan yang berarti?
Islam hadir memberi solusi. Islam memandang persoalan kemiskinan sebagai persoalan manusia, bukan persoalan ekonomi atau yang lain. Sehingga, fokus penyelesaiannya adalah pada solusi persoalan kemiskinan, individu per individu dan Negara sebagai pihak sentral yang akan menyelesaikannya.
Definisi “miskin” di dalam Islam adalah seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya, yakni sandang, pangan, dan papan. Ukurannya tidak dipukul rata seperti halnya pengukuran garis kemiskinan saat ini. Islam memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memiliki perbedaan.
Sebagai pihak sentral, negara akan melakukan berbagai langkah untuk mengatasi kemiskinan, diantaranya menjamin pemenuhan kebutuhan primer dengan memastikan setiap laki-laki yang mampu bekerja tidak berstatus pengangguran. Sehingga, negara berkewajiban menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Jika laki-laki tersebut tidak sanggup bekerja; ataupun sanggup bekerja, tetapi tidak mampu menutupi kebutuhan primer diri dan keluarganya, baik karena cacat, sakit dll, Islam mewajibkan kerabatnya untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Jika kerabatnya tidak ada yang sanggup, negaralah yang akan menanganinya. Jika kas negara kosong, kewajiban menafkahi warga miskin jatuh kepada kaum muslim secara bersama-sama. Dengan demikian, kemiskinan dan ketimpangan akan segera terselesaikan.
Negara juga akan mengatur regulasi kepemilikan. Negara tidak akan membiarkan harta rakyat dikuasai asing sebab kepemilikan barang umum tidak boleh dikuasai oleh swasta, apalagi asing. Aturan ini akan menghasilkan pemasukan negara yang melimpah dari pengelolaan SDA sebab negara sendirilah yang mengelolanya.
Lapangan pekerjaan akan banyak tersedia sebab pengelolaan industri hulu oleh negara akan menciptakan lapangan kerja yang luas. Pembangunan infrastruktur pun dilakukan semata-mata untuk kemaslahatan umat dan keselamatan kerja, bukan sekadar menciptakan iklim investasi asing.
Oleh karena itu, paradigma ekonomi neoliberal yang direkomendasikan Bank Dunia, hanya akan semakin memperparah kondisi kemiskinan di tanah air. Sudah seharusnya kaum muslim memperjuangkan hadirnya Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk solusi problem kemiskinan. Hal ini akan terwujud jika Islam diterapkan dalam bingkai institusi negara, yakni Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Noor Hidayah
(Sahabat TintaSiyasi)
0 Comments