Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ekonomi Syariah Tanpa Islam Kaffah, Bukti Nyata Indonesia Negara Sekuler Kapitalis


TintaSiyasi.com -- Ekonomi syariah diambil karena ada sisi kemanfaatannya. Anehnya Islam kaffah dianggap tidak layak diterapkan di negeri ini bahkan dianggap membahayakan negara. Hal ini menguatkan wajah sekuler kapitalis negeri ini. 

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan pengembangan ekonomi syariah merupakan kebutuhan pembangunan di Indonesia, selain sebagai manifestasi ajaran Islam. "Pemerintah ingin memposisikan Indonesia sebagai pelaku utama dan sekaligus hubungan ekonomi syariah, serta produsen pusat halal dunia," ujar Sri Mulyani dalam acara Anugerah Adinata Syari’ah 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta. Dengan demikian, pengembangan ekonomi syariah bisa menghadirkan sebuah sistem ekosistem perekonomian syariah yang bermakna kepada kemakmuran, keadilan, efisiensi, dan sesuai dengan kebutuhan zaman, sehingga bukan sebuah ekonomi yang tidak efisien dan memiliki berbagai persoalan dari sisi tata kelola keuangan syariah.

Untuk merawat pencapaian ini, Bendahara Negara tersebut menilai dibutuhkan sinergi, tidak hanya antar seluruh pelaku ekonomi dan pemangku kepentingan, namun juga antara pemerintah pusat dan daerah, salah satunya yaitu dengan pembentukan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS), terutama di tingkat provinsi. "Komite ini diharapkan dapat berperan dalam memastikan agar ekonomi syariah dapat tumbuh dan bermanfaat bagi pengembangan ekonomi daerah," tuturnya. (antaranews, 26/05/2023). 

Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi mengatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI merilis aset keuangan syariah di Indonesia tidak kurang dari Rp2.300 triliun. Menurutnya, kondisi ini mengisyarakatkan perekonomian syariah di Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan. Ditambah lagi, posisi Kaltim yang telah ditetapkan menjadi Ibu Kota Nusantara (IKN) sudah tentu akan berdampak meningkatnya perputaran uang. Wagub Hadi Mulyadi mengingatkan agar bank-bank syariah di Kaltim menangkap peluang ini dengan baik. (kaltimprov.id, 27/05/2023). 

Pengembangan ekonomi dan keuangan syariah terus bergulir dengan sejumlah capaian positif. Pangsa aktivitas usaha syariah tahun 2022 tercatat 45,66 persen terhadap perekonomian nasional atau meningkat 3,45 persen dari tahun 2021. Ke depan, program ekonomi syariah diharapkan dapat masuk dalam kerangka perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah.

Hal ini diungkapkan Wakil Presiden Ma'ruf Amin dalam sambutan pada acara Anugerah Adinata Syariah 2023, di Kantor Pusat Bank Syariah Indonesia (BSI), Jakarta Selatan, Jumat (26/5/2023). Dalam acara pemberian penghargaan kepada pemerintah daerah di Indonesia tersebut, Wapres menegaskan perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia tidak terlepas dari kontribusi berbagai unsur pemangku kepentingan yang ada di dalamnya. (kompas, 26/05/2023). 

Mampukah sistem ekonomi sekuler kapitalis mewujudkan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah tanpa sistem Islam kaffah?


Perbankan Adalah Jantung Ekonomi Kapitalisme

Sistem ekonomi kapitalisme menciptakan kesenjangan yang begitu tinggi antara si kaya dan si miskin. Ketimpangan ini terjadi lantaran ada ketidakadilan pasar. Faktor terbesar yang menciptakan ketidakadilan pasar adalah keberadaan jantung kapitalisme, yaitu perbankan dan pasar modal.

Perbankan telah menyedot dana dari masyrakat yang nantinya diperuntukkan kepada para pengusaha. Tentu, pembisnis besar yang telah memiliki perusahaan yang stabil akan sangat berpeluang untuk mendapatkan dana yang terhimpun, daripada pengusaha kecil yang baru merintis. Karena industri perbankan bukan lembaga sosial, tapi lembaga profit yang mengincar keuntungan. Tentu resiko kerugian dihindari seoptimal mungkin.

Selain itu, sistem ekonomi kapitalisme memiliki suku bunga sebagai pompa jantungnya. Suku bunga lah yang menjadikan dana yang dimiliki masyarakat mengalir menuju perbankan. Dengan iming-iming passive income, alias uang akan beranak pinak jika disimpan di Bank. Masyarakat berbondong-bondong menyimpan uangnya di bank. Padahal semua dana yang terkumpul akan digunakan pengusaha besar untuk semakin memperbesar usahanya dan mencaplok pengusaha kecil yang kalah bersaing.  

Pada gilirannya, hal demikian semakin memperkuat hegemoni para pemilik modal besar di tanah air. Inilah prinsip dasar operasional bank konvensional. Menjadikan suku Bunga sebagai pendorong masuknya uang, sehingga jika perbankan macet, akan menyebabkan perekonomian tidak sehat.


Hukum Bank Konvensional

Namun, seiring dengan dakwah Islam yang makin menggeliat. Masyarakat mulai mempertanyakan apakah suku bunga termasuk riba? Dan apakah riba itu haram? Maka jika kita merujuk pada nash syarak dan pendapat para ulama, kita akan menemukan bahwa tak ada khilafiah atas keharaman riba. Dalilnya sebagai berikut:

“Riba adalah setiap tambahan bagi salah satu pihak yang berakad dalam akad pertukaran, tanpa ada pengganti, atau riba adalah tambahan sebagai pengganti dari waktu.” (Abdul Aziz al-Khayyath, 2/168) .

Dari definisi riba menurut Abdul Aziz al-Khayyath, kita dapat memahami bahwa riba ada dua macam, yaitu: pertama, riba fadhal yaitu setiap tambahan bagi salah satu pihak yang berakad dalam akad pertukaran, tanpa ada pengganti. Kedua, riba nasi’ah yaitu tambahan yang diberikan sebagai pengganti waktu (tempo). Maka suku bunga termasuk riba nasi’ah, berarti hukumnya haram.

Setiap utang piutang yang menghasilkan manfaat adalah riba.” (HR. Baihaqi) .

“…Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (TQS Al-Baqarah: 279).

Oleh karena itu, bank konvensional yang menjadikan suku bunga sebagai penggerak masuknya dana, hukumnya haram. Fatwa MUI pun mengatakan bahwa bunga bank hukumnya haram, walau tidak mengikat. Ini pula lah yang membuat masyrakat semakin gandrung terhadap bank syariah. Karena bank syariah tidak menggunakan suku bunga.

Bank syariah yang mengubah suku bunga menjadi bagi hasil selain diminati karena tidak mengandung riba, juga karena terbukti lebih stabil dari bank konvensional. Lantas benarkah keberadaan bank syariah saat ini sudah syar’i?

Akad Penghimpunan Dana Bank Syariah

Pada bank konvensional, maka akan ditemukan akad penghimpunan dana seperti giro, tabungan dan deposito. Dan dalam bank syariah akad penghimpunan dana bisa berupa akad giro wadi’ah, tabungan mudharabah, tabungan wadi’ah dan deposito mudhorobah. Menurut pakar ekonomi islam Dwi Chondro Triono, Phd, akad yang terdapat dalam bank syariah pun masih banyak yang batil. Misalnya akad-akad yang ada pada penghimpunan dana, hampir seluruhnya akadnya batil. Penghimpunan dana bank syariah yang ternyata masih tak syar'i. Serta masih banyak lagi akad-akad batil lainnya bank syariah. Oleh karenanya, ghirah umat dalam mengamalkan syariat islam, harus juga dibarengi dengan ghiroh dalam mewujudkan negara Daulah Khilafah Islamiyah.

Karena khilafahlah yang akan menerapkan ekonomi syariah islam secara kaffah. Sehingga ekonomi syariah, termasuk di dalamnya perbankan syariah tidak lagi menjadi subordinasi ekonomi kapitalisme. Yang memelintir ayat-ayat Allah Swt agar sesuai dengan apa yang diinginkan penguasa dan pengusaha.
Islam adalah aturan yang sempurna dan komprehensif untuk mengatur kehidupan manusia. Penerapan Islam kaffah akan menyelesaikan berbagai problem dunia dan akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Oleh sebab itu, dunia membutuhkan solusi tuntas dari Zat yang Maha Kuasa, yakni dengan menerapkan Islam secara kaffah. Dengan penerapan Islam secara kaffah, ampunan dan keberkahan akan kembali dalam kehidupan kita. 


Sumber Ekonomi

Negara Khilafah, minimal mempunyai empat sumber ekonomi, yiatu pertanian, perdagangan, jasa, dan industri. Pertanian berbasis pada pengelolaan lahan pertanian, di mana tanah-tanah pertanian yang ada harus dikelola dengan baik dan maksimal untuk memenuhi hajat hidup rakyat. Ini yang dikenal dengan kebijakan intensifikasi. Jika kurang, negara bisa mendorong masyarakat menghidupkan tanah-tanah mati, sebagai hak milik mereka, atau dengan memberikan insentif berupa modal, dan sebagainya. Ini yang dikenal dengan kebijakan ekstensifikasi. Dengan dua kebijakan ini, negara akan mampu memenuhi kebutuhan pangan di dalam negerinya. 

Ditopang dengan perdagangan yang sehat, tidak ada monopoli, kartel, mafia, penipuan dan riba yang memang diharamkan dalam Islam, maka hasil pertanian akan terjaga. Produktivitas tetap tinggi, pada saat yang sama, harga terjangkau, sehingga negara bisa swasembada pangan.

Islam juga mengharamkan barang dan jasa yang haram untuk diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah masyarakat. Karena itu, hanya barang dan jasa yang halal saja yang boleh diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan. Dengan begitu, industri sebagai bentuk aktivitas produksi hanya akan memproduksi barang yang halal. Islam juga menjadikan hukum industri mengikuti hukum barang yang diproduksi. Jika barang yang diproduksi haram, maka industri tersebut hukumnya haram.

Begitu juga jasa. Karena Islam hanya membolehkan jasa yang halal, maka tidak boleh ada jasa yang haram diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah-tengah masyarakat. Upah sebagai kompensasi jasa pun dikembalikan halal dan haramnya kepada jasa yang diproduksi. Jika jasanya haram, maka upahnya pun haram. Hukum memproduksi, mengkonsumsi dan mendistribusikannya pun haram. Dengan begitu, individu, masyarakat dan negara pun sehat. Inilah empat sumber utama ekonomi negara khilafah. 


Politik Ekonomi dan Ekonomi Politik

Dengan empat sumber utama ekonomi di atas, ditopang dengan politik ekonomi (kebijakan ekonomi) negara khilafah yang memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok per individu, seperti sandang, papan, dan pangan, serta kebutuhan pokok masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan, maka khilafah bisa merebut hati rakyat dan menjaga stabilitas domestik.

Pada saat yang sama, ekonomi politik (sistem ekonomi) negara khilafah, yang dibangun dengan tiga pilarnya, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi, benar-benar bisa menjamin terwujudnya politik ekonomi di atas. Ini karena kepemilikan individu sepenuhnya menjadi hak individu, kepemilikan umum menjadi hak rakyat, yang dikelola oleh negara sebagai pemegang mandat rakyat, serta kepemilikan negara menjadi hak negara. Ketika ketiga kepemilikan tersebut dikelola oleh masing-masing pemiliknya dengan benar sesuai dengan hukum syara’, dan didistribusikan dengan baik dan benar, maka rakyat akan hidup sejahtera.
Pada saat yang sama, negara khilafah menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi dan kompetitif, dengan kebijakan moneter yang hanya menggunakan standar emas dan perak, sehingga inflasi nol persen. Negara juga memastikan mekanisme pasar berjalan dengan baik dan benar, ketika kondisi supplay and demand sehat. Dengan memastikan supplay and demand barang maupun jasa di pasar berjalan dengan baik dan benar. Selain mengharamkan penimbunan, mafia, kartel, penipuan, riba, negara juga tidak boleh menetapkan harga barang, dan upah jasa.

Semuanya ini untuk menjamin stabilitas daya beli dan daya guna masyarakat terhadap barang dan jasa. Dengan begitu, produktivitas, pemanfaatan, dan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat bisa tetap dipertahankan pada level yang tinggi dan kompetitif. Karena semua warga negara mempunyai hak dan akses yang sama.
Ini semua terkait dengan kebijakan makro negara khilafah. Dengan kebijakan makro seperti ini, daya tahan negara terhadap embargo atau serangan apapun akan tetap kuat.

Semuanya ini membutuhkan persatuan dan kesatuan umat Islam sebagai satu tubuh, bukan sebagai kelompok, mazhab atau bangsa. Dengan begitu, apapun tantangan yang dihadapi, dengan izin dan pertolongan Allah, dengan mudah akan bisa diatasi. Wallahu a’lam. []


Oleh: Elyarti
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments