Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bioetanol, BBM Baru Terbarukan Butuh Sistem Politik Terbarukan


TintaSiyasi.com -- Bulan Juni ini, Pertalite punya teman baru. Pertamina melaunching produk baru, Bioetanol. Menurut Direktur Utama (Dirut) Pertamina Nicke Widyawati, bahan bakar untuk kendaraan bermotor tersebut diklaim lebih ramah lingkungan karena menggunakan sumber energi baru dan terbarukan (EBT).

Dalam konferensi pers di Graha Pertamina pada Selasa, 6 Juni 2023 lalu, Nicke mengatakan bahwa BBM terbaru akan mulai dijual pada Juni 2023. Bioetanol sendiri merupakan bahan bakar campuran Pertamax (RON 95) dan 5 persen etanol. Peluncurannya ditujukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. (Tempo.co, 12/6/2023).

Meski memiliki sumber minyak bumi melimpah, Indonesia saat ini masih memiliki PR besar soal harga dan pendistrisibusiannya kepada masyarakat, termasuk BBM. VP Corporate Communication Fadjar Djoko Santoso mengatakan harga Bioetanol atau kelak disebut E5 diperkirakan di atas harga pertamax saat ini. Fadjar mengatakan alasannya adalah Research Octane Number (RON) bioetanol lebih tinggi. (cnnindonesia.com/8/6/2023). Dari sini saja masyarakat luas dipastikan jauh dari kata antusias. Yang ada tambah mumet. Terlebih kabarnya, Pertalite sudah mulai dibatasi. (kompas.com, 11/5/2023).

Masyarakat awam memang tidak semuanya mengerti soal komposisi, angka oktan, torsi dan daya mesin BBM yang selama ini mereka beli. Mereka lebih mengerti bagaimana membeli BBM dengan harga yang pas di kantong. Lebih jauh, meski pemerintah berbusa-busa mengatakan bioenergi ini diluncurkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, bla bla bla, masyarakat cuma menunggu berapa harganya dan bagaimana stoknya. Semata agar anggaran rumah tangga tidak syok.

Apa yang dinanti masyarakat adalah cerminan bahwa kondisi mereka memang demikian sulit secara ekonomi. Semangat pemerintah dalam melaunching BBM baru agaknya akan menjadi beban baru bagi rakyat jika harganya benar-benar membakar kantong. Dan masyarakat harus menyiapkan ‘energi’ baru untuk mengutak-atik anggaran belanja rumah tangganya.

Jika Pertamina memandang bahwa transisi energi itu bukan sekadar untuk menurunkan emisi, tetapi untuk mewujudkan kemandirian energi yang berbasis sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, semestinya soal harga bisa lebih ramah pada rakyat. Kuncinya ada pada niat (political will). Selama ini, niat pemerintah soal kemandirian energi hanya bisa di-translate dalam bahasa bisnis. Pemerintah menjual, rakyat yang membeli. 

Inilah gagasan nyata yang diadopsi pemerintah dari kebijakan global yang disetir kaum pemodal (korporat) transnasional. Agenda transisi energi ini tidak terlepas dari hegemoni kapitalisme. Kalau dicermati, solusi energi bersih melalui program energi baru terbarukan di negeri ini masih sebatas mimpi. Pemerintah menuding penyebab peningkatan jumlah produksi gas rumah kaca atau CO2 di negeri ini berasal dari penggunaan energi fosil. Apa iya? Atau jangan-jangan akibat perubahan tata guna lahan? Bukankah selama ini getol terjadi deforestasi untuk perkebunan sawit? Terjadilah pembakaran hutan besar-besaran untuk tujuan itu. Sebesar 60% dari hutan bakau dan 40% dari lahan gambut sudah menjadi tumbalnya.

Kondisi ini patut direnungkan. Dahulu, di era Islam juga pernah terjadi krisis energi. Tentunya dengan bentuk yang berbeda dengan hari ini. Prof. Fahmi Amhar dalam artikelnya di mediaumat.id (10/1/2018) menuliskan, Ketika tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan roda industri, mereka melirik tenaga air. Lahirlah mesin-mesin bertenaga air dari tangan para Muslim inventor mesin seperti Al-Jazari (1136 – 1206 M). Selain penemuan aneka mesin, dunia kimia juga meraih kemajuan yang pesat sejak misteri materi dipecahkan dengan metode ilmiah, bukan dengan filsafat spekulatif ataupun sihir mistis. Ini adalah jasa orang-orang seperti Jabir Al-Hayan (721-815 M) hingga Muhammad ibn Zakarīya ar-Rāzi (854–925 M) yang menemukan cara menghasilkan kerosene (minyak tanah) dari minyak mentah.

Ada perbedaan diametral yang bisa kita temukan. Kontribusi umat Islam untuk mewujudkan rahmatan lil’alamin pada masa dahulu di bidang energi, semata-mata untuk kemaslahatan publik, memudahkan aksesnya bagi rakyat, dan tentunya dibiayai oleh negara sehingga rakyat tidak perlu membayar harganya. Apapun temuan mereka, orientasinya adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi umat dan paling bisa membangkitkan umat.

Islam memandang energi adalah harta milik umum sehingga pengelolaannya harus dilakukan oleh negara dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat. Negara wajib berprinsip melayani, bukan berjual-beli.

Itu semua membutuhkan paradigma politik negara yang ‘terbarukan’, yakni mengganti paradigma bisnis ala kapitalisme menjadi paradigma riayatun asy-syu’unil ummah (melayani rakyat) sebagaimana yang Rasulullah SAW contohkan. Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).

Beliau SAW juga bersabda, "Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari).

Hari ini, kita tetap berharap kontribusi umat Islam untuk mewujudkan rahmatan lil’alamin di bidang energi itu kembali seperti yang telah terjadi di masa lalu. Kita berharap, bahan bakar yang baru itu akan memberikan ‘energi’ bagi rakyat untuk menjalani kehidupannya. Kita berharap para pembuat kebijakan bisa adil sesuai syariat dalam hal pengelolaannya. Semata agar mereka terhindar dari azab karena kebijakan zalim kepada rakyat yang justru menjadikan diri mereka sebagai bahan bakar neraka jahanam. Wallahu a'lam. []


Oleh: Pipit Agustin
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments