TintaSiyasi.com -- Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua kian beringas, tak henti-hentinya mereka melakukan aksi teror di bumi Cendrawasih. Tanpa memandang bulu mereka tidak segan-segan membantai siapa pun, baik itu anak-anak, warga lokal dan juga prajurit TNI-Polri. Buktinya, Sabtu (15/4) KKB Papua kembali beraksi, dikabarkan enam orang prajurit TNI dinyatakan gugur, sembilan orang menjadi tawanan dan 21 anggota dari satuan Kostrad TNI belum diketahui nasibnya. (Republika, 16/4/2023)
Tidak puas dengan aksi tersebut, Jumat (28/4) sekitar pukul 15.10 WIT KKB Papua kembali beraksi dengan membakar lima rumah warga di Kampung Kago, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, tetapi yang perlu diketahui KKB Papua tidak akan berhenti menjalankan aksi terornya sebelum apa yang menjadi tujuannya tercapai, yaitu ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia menjadi Papua Merdeka. (Detik.com, 28/4/2023)
Dilansir dari detiknews, Polda Papua mencatat ada sekitar 90 kasus tindak kejahatan yang dilakukan oleh KKB Papua disepanjang 2022. Dari banyaknya kasus tersebut, 53 orang dinyatakan meninggal, terdiri dari warga sipil, TNI dan Polri. Jumlah ini mengalami peningkatan, di mana di tahun sebelumnya korban jiwa mencapai 33 orang. (28/12/2023)
Setiap tahunnya jumlah korban jiwa akibat kebengisan KKB Papua terus saja meningkat. Lantas, apakah yang menyebabkan KKB Papua sering melakukan aksi terornya?
Alasan Aksi Teror KKB Papua
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, KKB Papua tidak akan berhenti melakukan aksi terornya sebelum mencapai tujuannya, yaitu ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) menjadi Papua Merdeka. Inilah yang disebut dengan "Separatisme". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), separatisme adalah gerakan atau paham yang ingin memisahkan diri atau mendirikan negara sendiri. Lalu, apa yang menyebabkan munculnya paham separatisme di dalam suatu negara khususnya di Indonesia tepatnya di wilayah Papua?
Separatisme bisa saja muncul di dalam suatu negara jika terdapat konflik di dalamnya, baik itu konflik secara horizontal maupun vertikal. Konflik secara horizontal, yaitu konflik yang terjadi antara rakyat dengan rakyat, suku atau kelompok tertentu. Konflik secara vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara rakyat dengan pemimpin atau pemerintah.
Ada beberapa faktor penyebab mengapa kedua konflik ini bisa terjadi.
Pertama, faktor politik, para separatis merasa pemerintah bersifat tidak adil dan dunia politik yang begitu licik. Mulai dari banyaknya kasus pejabat yang korupsi, lebih mementingkan kepentingan para oligarki dan pribadi. Serta pembangunan infrastruktur yang tidak merata khususnya di daerah terpencil.
Kedua, faktor ekonomi, sudah menjadi rahasia umum bahwa bumi Cendrawasih adalah daerah yang kaya akan sumber daya mineralnya terutama emas. Tambang emas terbesar di Indonesia sendiri terletak di Papua. Kaya akan sumber daya mineral, menjadikan pertumbuhan ekonomi di Papua dan Maluku tertinggi di Indonesia pada 2022, yaitu mencapai 8,65 persen. Namun pada faktanya, di balik pencapaian ini ternyata Papua juga menyandang predikat sebagai wilayah dengan presentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia pada 2022, yaitu mencapai 26,80 persen. (cnbcindonesia, 17/01/2023)
Tentu sangat miris, bagaimana mungkin daerah dengan penghasil tambang emas terbesar di Indonesia dan kaya akan sumber daya mineral lainnya tetapi memiliki banyak warga miskin?
Ketiga, faktor sosial, adanya perbedaan baik suku, agama, ras dan antar golongan sering kali menimbulkan masalah diskriminasi dan intimidasi terhadap warga Papua, khususnya bagi warga Papua yang berada di luar daerah.
Keempat, faktor historis, adanya luka di masa lalu karena kekerasan negara terhadap warga Papua yang mendorong pelanggaran HAM yang tidak pernah ditindak lanjuti.
Berdasarkan beberapa faktor penyebab kedua konflik di atas, maka tidak heran jika bermunculan para separatis di Papua. Ketidakadilan pemerintah, adanya kepentingan politik tertentu dan luka di masa lalu menjadikan KKB Papua semakin membengis untuk mencapai tujuannya.
Lalu bagaimana pemerintah menyikapi KKB Papua ini?
Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Indonesia (Menkopolhukam) pada April 2021 telah menetapkan bahwa KKB Papua serta seluruh organisasi dan orang-orang yang tergabung di dalamnya adalah "Teroris". Lantas, sudah efektifkah pemerintah dalam menangani segala bentuk teror yang dilakukan KKB Papua? Sudah sejauh apa bentuk pemberantasan teroris di bumi Cendrawasih? Faktanya, kebengisan KKB Papua semakin tahun semakin brutal. Tidak sedikit kasus anak-anak atau warga sipil baik pendatang maupun lokal menjadi korban, mereka dibantai secara keji oleh KKB Papua. Tidak sedikit kasus para guru yang telah merelakan dirinya mengabdi di pedalaman Papua, pulang hanya tinggal nama. Begitu pun dengan anggota TNI-Polri, telah banyak dari mereka yang gugur di medan perang. Mereka semua siap mengabdi menjalankan tugasnya di Papua, tanpa adanya jaminan kesejahteraan apalagi keamanan.
Mau sampai kapan membiarkan nyawa rakyat berjatuhan di tangan KKB Papua? Harus seberapa banyak lagi prajurit yang perlu dipersiapkan dan diterjunkan ke Papua, namun pada akhirnya mereka harus menerima kenyataan siap gugur di medan perang. Mau sampai kapan membiarkan para kapitalis tertawa bahagia melihat konflik yang ada? Mereka bersenang-senang atas kekayaan alam bumi Cendrawasih, memanfaatkan kondisi yang ada untuk menguras habis kekayaan alam Papua. Lihatlah di tengah konflik yang terjadi di Papua saat ini, mereka justru tengah asyik membicarakan Perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia. Bukankah ini salah satu bentuk kezaliman bagi rakyat Indonesia, khususnya bagi warga Papua?
Lemahnya Ikatan Nasionalisme
Melihat fakta dan kondisi yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa pemerintah gagal menjaga dan melindungi keamanan rakyatnya. Buktinya, sejak dari 1965 hingga saat ini KKB Papua terus saja menggaungkan paham separatisme dengan melakukan aksi teror yang begitu keji, sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia. Tanpa mereka sadari hal-hal tersebut bukanlah solusi untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada di Papua, seperti kemiskinan, terpojokkan dari segala aspek baik pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Dari persoalan ini dapat dilihat bahwa, ikatan nasionalisme ataupun ikatan kesukuan bukanlah ikatan yang kuat dalam mempersatukan rakyat. Ikatan ini hanya sebatas ikatan yang bersifat emosional yang hanya bisa bersatu jika terdapat ancaman. Namun, ketika situasi sudah dalam kondisi aman atau tidak terdapat ancaman maka kekuatan ikatan ini pun ikut hilang atau tidak bersatu. Itulah mengapa ketika KKB Papua tidak melakukan aksi teror, pemerintah pun ikut bungkam seolah-olah masalah telah usai dan akan baik-baik saja. Padahal bisa saja di balik diamnya para separatis KKB Papua mereka sedang menyusun strategi baru untuk melakukan penyerangan.
Solusi Hakiki Ganti Sistemnya!
Banyaknya persoalan yang terjadi di negeri ini, baik itu persoalan dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial termasuk persoalan yang terjadi di Papua, memperlihatkan bagaimana bobroknya sistem pemerintahan saat ini. Negeri yang telah condong pada paham kapitalisme ini lebih memprioritaskan materi semata, lalu melupakan kondisi keamanan dan kesejahteraan warga negaranya. Sistem pemerintahan yang terbukti gagal menjaga nyawa masyarakatnya. Padahal dalam Islam, satu nyawa manusia begitu berharga, untuk itulah negeri ini membutuhkan sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan yang benar-benar akan mengurus dan memperhatikan urusan warganya, serta bersifat adil tanpa membeda-bedakan. Setiap warga negaranya pun harus mendapatkan hak yang sama tanpa memandang harkat dan martabatnya. Dengan demikian setiap masyarakat tidak akan merasakan yang namanya kekecewaan, ketidakadilan ataupun kecemburuan, karena mereka mendapatkan hak yang sama, kesejahteraan, keamanan serta kenyamanan.
Namun, satu-satunya sistem pemerintahan yang mampu melakukan itu semua adalah sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah. Satu-satunya sistem pemerintahan yang dirahmati oleh Allah Swt.. Khilafah tidak akan pernah membiarkan kekayaan alamnya dikuasai oleh pihak asing ataupun swasta, apalagi sampai dimiliki pribadi. Semua kekayaan alam akan dikelola sendiri oleh negara dan hasilnya pun akan dikembalikan kepada umat untuk kesejahteraan bersama.
Selain itu, Khilafah juga tidak memakai ikatan nasionalisme untuk mempersatukan umat, karena ikatan tersebut adalah Ikatan yang lemah. Khilafah bersama rakyat daulah hanya berpegang teguh pada ikatan akidah, yaitu akidah Islam. Ikatan yang menjadikan warga negaranya ummatan wahidatan atau umat yang satu. Rasulullah saw. bersabda, "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian juga satu. Sesungguhnya tidak ada kelebihan pada orang Arab atas orang bukan Arab, tidak pula orang bukan Arab atas Arab, orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit putih, kecuali karena ketakwaannya. (HR. Ahmad)
Sesungguhnya konflik yang terjadi di Papua saat ini membutuhkan solusi jitu, yaitu menerapkan Islam kaffah di negeri ini. Dengan demikian bibit-bibit separatis akan dicabut sampai ke akar-akarnya oleh Daulah Khilafah Islamiah. Warga daulah pun hidup aman, nyaman lagi sentosa dalam naungannya.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Oleh: Nur Hajrah M.S.
Aktivis Muslimah Morowali
0 Comments