TintaSiyasi.com -- Konflik Papua kembali menyita sorotan. Setelah terjadi penyanderaan pilot Susi Air beberapa bulan yang lalu. Kemudian TNI diminta untuk membentuk tim operasi khusus pembebasan pilot Susi Air yang disandera oleh KKB. Sampai saat ini pilot Susi Air tak kunjung dibebaskan, bukan hanya TNI yang menjadi korban juga masyarakat sipil ikut terdampak dari misi pembebasan tersebut.
Konflik kian memanas, Himpunan Mahasiswa Papua di Jakarta, Depok dan Bekasi (Jadebek) mendesak agar pemerinta bisa melakukan dialog damai terkait memanasnya situasi konflik bersenjata di Papua. “Negara segera melakukan dialog damai untuk menyelesaikan konflik Papua,” ujar Koordinator Himpunan Mahasiswa Papua Rudy Kogoya. Rudy juga mendesak agar pemerintah mengentikan pengiriman personel TNI ke tanah Papua agar konflik bersenjata bisa dihindari. “Hentikan mendropan moliter di tanah Papua, tarik militer organik dan non-organik dari wilayah konflik”, ujar dia. Di sisi lain, Rudy juga menyoroti isu terkait kriminalisasi yang dilakukan oleh militer kepada masyarakat sipil Papua. Dia menyebut, dampak pembebasan sandera pilot Susi Air Philip Marthen berimbas pada kriminalisasi masyarakat sipil di Papua (Kompas.com, 20/04/2023).
Negara Tidak Tegas Menangani Konflik Papua
Konflik di wilayah Papua antara personil TNI dengan KKB bukan kasus baru di Negeri ini. Konflik ini sudah tersistematis, berawal dari keinginan Belanda untuk membentuk Negara Papua Barat Terlepas dari Indonesia dan dilanjutkan oleh regenerasinya yaitu Organisasi Papua Merdeka.
Penanganan konflik Papua tidak tegas, dan tidak ada keseriusan, termasuk dalam penetapan KKB sebagai musuh Negara (teroris). Terbukti dari perkataan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, operasi temour di Papua merupakan perintah dari Presiden Joko Widodo ataupun persetujuan dari DPR-RI. “itu pertanyaan besar dari kita, kalau tidak ada perintah Presiden, kebijakan politiknya dan kemudian tidak disetujui DPD, maka ini bagian dari operasi militer ilegal,” ujar Isnur. Ia mengatakan, masyarakat sipil harusnya tidak diam saja ketika kekuatan militer negara digunakan secara ilegal. Pengggunaan kekuatan militer secara ilegal akan sangat membahayakan negara karena bisa menjadi alat represi masyarakat sipil di kemudian hari. “Bagaimaja mungkin kita mendiamkan alat kekuasaan negara ya? Tentara melakukan operasi dengan ilegal, itu berbahaya sekali" (Kompas.com, 20/04/2023).
Hal ini menunjukkan adanya kelemahan negara dalam mencegah disintegrasi wilayah. Negara harus tegas melawan teroris yang sebenarnya, Negara harus paham akar dari masalah Papua yaitu ketidakadilan dan kemiskinan dan Negara harus mengusir para penjajah dan para kapitalis.
Islam Menjamin Kesejahteraan dan Keamanan Rakyatnya
Perjuangan meraih keadilan dan menyuarakan disintegrasi atau Papua merdeka adalah sebuah kesalahan, karena cengkeraman kapitalis terus menerus di tanah Papua yaitu dengan cara menguasai sumber daya alamnya dan menghasut untuk terus menegakkan keadilan dengan cara ingin merdeka.
Solusi untuk Papua adalah mengusir para kapitalis dari tanah Papua sehingga tidak lagi terjajah. Pengusiran ini bukan hanya dengan mengerahkan TNI namun harus ada kekuatan yang sebanding yaitu dengan negara yang menerapkan sistem Islam.
Negara Islam akan menjadi negara super power dan negara adidaya yang akan mengatur semua aspek kehidupan termasuk kesejahteraan hidup dan keamanan rakyatnya juga mampu mengatur percaturan politik dunia. Islam juga melahirkan pemimpin yang sadar akan amanahnya dan pemimpin akan melakukan pengurusan secara maksimal kepada urusan rakyatnya karena dirinya sadar bahwa amanahnya sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Nurhayati, S.Ak.
Aktivis Muslimah
0 Comments