TintaSiyasi.com -- Korupsi di negeri ini bagai jamur yang tidak pernah musnah, mulai dari pejabat tinggi sampai rakyat biasa pun tidak pernah lepas dari praktik haram ini. Sebagaimana diberitakan di berbagai media. Seperti yang terjadi baru-baru ini yang dilakukan oleh Direktur Utama Waskita Karya, Destiawan Soewardjono (DES).
Kejaksaan Agung RI telah menetapkan Direktur Utama PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (Persero) TBK, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Destiawan menjadi tersangka penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank oleh PT Waskita Karya dan PT Waskita Beton Precast Tbk.
Berdasarkan hitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), korupsi yang dilakukan Destiawan menimbulkan kerugian negara sebesar lebih dari Rp 2,5 triliun. (Koran tempo, Kamis, 4 Mei 2023).
Sungguh miris jika kita melihat kondisi saat ini, dimana korupsi kian hari semakin meningkat, maka tak heran kalau banyak menyebut korupsi telah menggurita dan sudah menjadi budaya di Indonesia. Korupsi begitu lekat dan hampir terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat mulai dari kelas atas maupun menengah korupsi masih terus terjadi di negeri ini, meski sudah ada badan khusus yang menyelesaikan dan menuntaskan kasus-kasus korupsi. Namun tampaknya, badan tersebut belum mampu mencegah dan menghentikan kasus korupsi.
Sejatinya permasalahan ini terjadi karena sistem kapitalisme yang diterapkannya dalam kehidupan saat ini. Alhasil, sistem ini merusak akal manusia sehingga haus dengan kekayaan. Tolak ukur perbuatan bukan lagi halal dan haram, bagi penganut sistem ini apa saja bisa dilakukan agar bisa mendapat keuntungan secara materi termasuk melakukan tindak korupsi.
Korupsi seolah sudah menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Pasalnya, penerapan demokrasi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Biaya politik dalam sistem politik ini sangat besar, tidak hanya biaya penyelenggaraannya tetapi juga biaya kampanye para calon pejabat. Dana kampanye berasal dari kantong pribadi dan paling banyak berasal dari sponsor yang tidak lain adalah para pemilik modal/ korporat. Alhasil, jika mereka telah menang dan berkuasa berlaku hukum balik modal dan persiapan modal untuk kampanye selanjutnya.
Dalam sistem demokrasi, kapitalisme, dan sekularisme, korupsi tidak akan mudah diberantas karena korupsi merupakan virus yang sulit dimusnahkan. Oleh sebab itu, jika orang yang sudah terpapar virus ini akan melakukan segala cara agar bisa memenuhi ambisi untuk berkuasa dan bergelimang harta. Tanpa merasa berdosa, mereka memperkaya diri sendiri meskipun dengan jalan yang haram dan merugikan banyak orang.
Inilah gambaran penguasa dalam sistem politik demokrasi. Ini menjadi bukti rusaknya moral individu negeri ini, sebab standar kebahagiaan dalam masyarakat kapitalis adalah materi. Sehingga mengejar harta sebanyak-banyaknya meski melalui jalan yang haram adalah hal yang mutlak sistem demokrasi ini. Dari sini nampak jelas bahwa korupsi adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Islam memiliki mekanisme yang jitu untuk mencegah dan memberantas korupsi hingga tuntas. Dalam Islam kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah tanggungjawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia tetapi juga di hadapan Allah Swt di akhirat kelak.
Sistem Islam memberikan solusi secara sistematis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Dalam Islam ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi diantaranya:
Pertama, penerapan ideologi Islam. Penerapan ini meniscayakan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam hal kepemimpinan. Karena itu dalam Islam pemimpin negara (khilafah) diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariah Islam.
Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud, dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas, ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela, ketakwaan akan menjadikan seseorang pejabat melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah. Para penguasa dalam sistem Islam paham betul bahwa menjadi pemimpin, hanyalah sarana untuk mewujudkan Izzul Islam wal Muslimin, bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i, dalam Islam politik adalah ri’ayah syar’iyyah yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syari’ah Islam, bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam sanksi tegas diberlakukan lebih memberikan efek jera dan juga mencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Dalam Islam keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng jauh lebih penting sistem itu adalah khilafah Islamiyah, yang berasaskan akidah Islam dan menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan. Wallahu a’lam bi shawwab.
Oleh: Hamsia
Aktivis Muslimah
0 Comments