Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Desakralisasi Agama Kian Meluas, Bukti Sanksi Hukum Tidak Tegas


TintaSiyasi.com -- Kasus penembakan yang terjadi di gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) minggu lalu ternyata memunculkan fakta baru. Pelaku yang diketahui bernama Mustopa NR (60 Tahun) disebutkan pernah mendeklarasikan dirinya sebagai wakil nabi di hadapan penduduk di tempat tinggalnya yaitu Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Pasawaran, Lampung. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1997 silam, dikutip Wartaekonomi.com, Minggu (07/5). Menurut warga, sekitar 20 orang termasuk di dalamnya tokoh agama, tokoh masyarakat, dan Ustadz diundang untuk ikut meyakini deklarasi yang disampaikannya. Namun ternyata warga mengabaikannya bahkan memilih untuk membubarkan diri. Namun upaya Mustopa NR terus bergulir hingga mengirimkan surat pengakuan bahwa dirinya wakil nabi pada MUI.

Kasus "pengakuan" nabi di atas bukan kali ini saja terjadi. Mungkin masyarakat masih ingat dengan kasus Lia Eden. Sosok perempuan bernama asli Lia Aminuddin ini sempat dikenal dan kontroversial karena mengaku dirinya sudah bertemu dengan malaikat Jibril. Selain menganggap dirinya sebagai penyampai wahyu Tuhan, ia juga mengatakan bisa meramal kapan hari kiamat datang. Ia juga mengakui dirinya sebagai reinkarnasi dari Bunda Maria dan mengatakan bahwa anaknya bernama Ahmad Mukti adalah reinkarnasi dari nabi Isa. Akhirnya lia Eden dijebloskan ke penjara pada sebanyak dua kali yaitu Tahun 2006 dan 2009 lantaran kasus pelecehan agama, dilansir VIVA.com, Senin (13/6/2022).

Menilik beberapa kasus di atas, menandakkan bahwa berulangnya kasus penistaan terhadap agama dikarenakan tidak adanya sanksi hukum yang tegas terhadap pelaku. Kebanyakan dari mereka hanya diberikan hukuman kurungan penjara yang lama masa tahanannya tidak sebanding dengan perbuatannya. 

Fakta lain juga mengatakan bahwa sebanyak 56,7 persen pelaku penistaan terhadap agama Islam ternyata mempunyai KTP beragama Islam pula, hal ini berdasarkan data Direktori putusan Mahkamah Agung (MA) yang dicatat dalam salinan putusan, dikutip Kumparan.com, (27/8/2021). Hal ini jelas menunjukkan dangkalnya pemahaman umat terhadap agamanya sendiri.

Namun, fenomena seperti itu wajar terjadi dalam sistem yang memisahkan agama dari kehidupan (Sekuler). Sistem ini menganggap bahwa agama adalah urusan personal, yang hanya melingkupi ibadah mahdoh saja. Agama hanya rutinitas privat tanpa perlu dicampur baurkan dengan rutinitas lainnya. Maka jangan heran jika seseorang akan dengan mudah melakukan penistaan agama hingga berujung pada meremehkan agama (desakralisasi).

Berbeda dengan sistem Islam, seorang pemimpin akan mengambil sikap tegas dalam menghukum para penista agama. Islam menjadikan agama sebagai sesuatu hal yang wajib untuk dibela. Bahkan negara mempunyai mekanisme akan hal ini.

Hukum dalam sistem Islam tidak akan memberi ruang atau bersikap lunak kepada para pelaku, tidak peduli berasal dari kalangan mana. Mulai dari kalangan para pemegang kekuasaan atau pun kalangan masyarakat biasa. Begitu pun dengan agama yang mereka anut, seorang Muslim ataupun dari non-Muslim. Para penista agama yang mengakui dirinya sebagai nabi, maka hukumannya adalah mati atau diperangi. Seperti pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau sampai menggelar operasi militer di bawah pimpinan Khalid ibn al-Walid, Ikrimah ibn Abi Jahal, dan Syarahbil ibn Hasanah untuk menumpas Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku dirinya menerima wahyu dalam kegelapan.

Ini sebagai bentuk negara dalam menjaga kehormatan agama. Kasus penistaan agama tidak akan berulang jika Islam dijadikan asas negara yang mengatur semua aspek kehidupan. Begitupun sosok pemimpin dalam Islam, mereka akan bersungguh-sungguh menjalankan kewajibannya dan bertanggung jawab dalam setiap urusan, termasuk menjaga aqidah umatnya.

Ibnu umar ra, berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya, seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tangggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin akan ditanya (diminta pertangggung jawab) dari hal yang dipimpinnya." (HR Bukhari dan Muslim).


Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Rita Yusnita
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments